Aku berjalan mendekati Erina selangkah demi selangkah. "Anakku sudah mati."Aku menangis dan tertawa, seperti orang gila kerasukan hantu."Kamu harus membayar nyawanya!"Aku menerjang ke arah Erina, tapi saat hendak menyentuhnya, aku merasakan sakit di bagian belakang kepalaku.Aku terjatuh ke lantai.Kakak Erina memegang tongkat baseball di tangannya dan bertanya dengan penuh perhatian, "Erina, kamu nggak apa-apa?"Erina terkejut, menepuk dadanya ketakutan, dan menggelengkan kepalanya.Sesaat kemudian, dia menginjak wajahku."Perempuan murahan, beraninya kamu menyerangku?""Aku akan memberimu pelajaran, biar kamu paham kalau aku nggak gampang dipermainkan."Kepalaku sakit dan kesadaranku perlahan-lahan kabur.Sebelum benar-benar pingsan, aku mendengar pemuda berambut pirang tadi bertanya, "Erina, anaknya beneran mati. Apa nggak masalah?"Erina mendengus. "Kita di ruang gawat darurat rumah sakit, berapa banyak orang yang meninggal setiap harinya? Anak ini bahkan terlambat dilarikan, ng
Baca selengkapnya