Ilham masuk dan sedikit terkejut melihat Erina sendirian memegang pisau bedah."Kamu perawat, apa kamu berhak melakukan operasi?"Erina tidak menjawab. Sebaliknya, wajahnya seperti mencari pujian. "Ilham, aku menyelesaikan masalah terbesar dalam hatiku, aku hebat 'kan?""Masalah apa?"Erina menunjuk ke arahku dan menyeringai. "Wanita ini ingin merayumu, tapi jangan khawatir, aku sudah membuat pencegahan."Ilham seketika tertegun. "Apa?"Erina memegang tangan Ilham dengan lembut. "Kamu nggak akan marah lagi 'kan? Meskipun dia cinta pertamamu, pacarmu sekarang itu aku. Kamu nggak boleh berpihak padanya.""Kalau nggak, aku nggak akan memaafkanmu seumur hidupku."Hawa di sekitar Ilham berubah dingin. Nada suaranya terdengar tidak sabar. "Aku sudah bilang cinta pertamaku itu kamu. Kenapa kamu nggak percaya kata-kataku?"Erina cemberut dan berkata sedih, "Bohong. Umurmu sudah hampir 30 tahun, mana mungkin kamu belum pernah jatuh cinta sebelumnya?"Apa yang dikatakan putra sulungku itu memang
"Ibu?"Dia memanggilku dengan suara ragu-ragu.Aku tidak kuasa membuka mulutku, hanya mengangguk padanya dengan air mata berlinang.Tangisnya pecah seketika dan emosinya lepas kendali. "Bu, siapa menyiksamu seperti ini?"Suaranya bergetar seperti anak kecil yang tak berdaya.Tubuhnya tiba-tiba menegang dan dia menyadari bahwa selingkuhan yang dibicarakan Erina adalah aku.Tapi dia segera menenangkan diri dan mengambil peralatan bedah. "Ibu jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja. Aku akan merawatmu."Dia mulai memeriksa lukaku sambil bicara. Seiring pemeriksaan berjalan, tubuhnya gemetar semakin hebat.Dia berkata dengan suara gentar, "Bu, Erina yang membuatmu terluka seperti ini? Termasuk jahitan di tubuh bagian bawahmu?"Aku memejamkan mata dan terdiam.Sikapku jelas mengiakan tanpa kata. Ilham sangat marah dan ingin langsung keluar menghajar Erina, tapi Dokter Chandra menghentikannya."Yang terpenting sekarang merawat luka-lukanya dulu."Putra sulungku yang malang. Dia anak ya
Kemarahan Ilham sudah tidak terbendung.Dia memberi isyarat kepada dua pengawalnya agar segera menarik tangan Erina untuk mengekangnya di tempat.Wajah Ilham semakin kelam. "Aku tanya sekali lagi, di mana adikku?""Mati."Plak!Satu tamparan lagi. Sudut bibir Erina langsung mengeluarkan darah.Erina semakin menjadi-jadi. "Ilham, apa kamu bukan laki-laki? Umurmu 30 tahun. Anak laki-laki itu masih tujuh atau delapan tahun, mana mungkin dia adikmu.""Betapa jahatnya kamu ingin menipuku.""Bodoh!"Ilham geram dan menendang Erina ke lantai.Dia mengeluarkan ponselnya dan membuka foto keluarga."Lihat baik-baik. Ini ibuku, dan dia adikku."Foto tersebut berisi aku, suamiku yang penuh kasih sayang, putra pertamaku yang rupawan, serta putra terkecilku yang menggemaskan.Saat itulah rasa takut mulai muncul di mata Erina.Para pengawal melepaskannya yang kini telah gemetaran hebat.Dia berteriak, "Ilham, aku salah, maafkan aku!""Maafkan aku, aku nggak tahu dia ibumu.""Tante, aku tahu aku salah
Anak bungsuku yang bandel bermain-main dengan ular dan akhirnya tergigit.Suamiku sedang dinas ke luar kota dan putra sulungku sedang shift malam di rumah sakit.Aku tidak menunda-nunda dan segera naik taksi menuju rumah sakit tempat putra sulungku berada.Seorang perawat cantik berlari menghampiriku, menanyakan kondisi putra bungsuku, lalu mengatur tempat tidur untuk dikirim ke ruang gawat darurat.Aku menjelaskan sebab dan akibatnya dengan tangisan tercekat dan memohon padanya untuk menyelamatkan anakku.Dia menatap alat di tangannya dan tidak berhenti bicara dengan orang di sampingnya.Tapi saat hampir tiba di ruang gawat darurat, tempat tidurnya tiba-tiba berhenti.Aku tidak mengerti apa yang terjadi dan bertanya ada masalah apa.Tatapan perawat itu kelam, entah kenapa. Dia menatap wajah anakku dengan saksama, bertanya, "Kamu kenal Ilham Ranuwijaya?"Aku mengangguk. "Tentu saja kenal, dia ...."Sebelum sempat mengucapkan kata "anakku", aku merasakan sebuah tamparan tepat di wajahku
Batu delima ini memang pusaka keluarga kami.Jumlahnya ada dua buah.Satu buah aku berikan kepada Ilham untuk diberikan kepada gadis pilihannya.Satunya lagi tadinya akan kuberikan kepada putra bungsuku, tapi karena dia masih terlalu kecil, aku menyimpannya untuk saat ini.Erina jelas salah paham.Dia merenggut kalung batu delima di leherku dan tertawa histeris."Ilham, kamu pembohong. Kamu janji hanya akan mencintaiku, tapi akhirnya kamu selingkuh dengan perempuan tua ini.""Aku membencimu. Aku sangat membencimu.""Hatiku sangat sakit, tapi aku tetap ingin mencintaimu."Dia bergumam pada dirinya sendiri, dan setelah menggila beberapa saat, matanya tiba-tiba suram dan mengerikan."Asal mereka mati, nggak akan ada lagi rintangan di antara kita.""Benar! Itu jawabannya!"Erina mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. Setelah berdering sebentar, aku mendengarnya berkata, "Kak, kamu harus membantuku mempertahankan hubunganku!"Tapi aku tidak punya waktu untuk menyaksikan kegilaannya
Aku tertegun mendengar permintaan tidak masuk akal ini.Erina mendorongku, lalu menjambak rambut putra bungsuku dengan tidak sabar dan menyodorkan wajah pucatnya ke hadapanku."Jangan terlalu lama, waktumu hampir habis."Hatiku remuk redam.Di sekelilingku ada pria-pria kekar yang dibawa kakak Erina, menatapku dengan penuh nafsu. Mata mereka yang menjijikkan terpaku pada dadaku.Aku memegangi kancing atas bajuku erat-erat, menggelengkan kepala sambil berlinang air mata.Erina mencibir, "Aku nggak terburu-buru. Tapi entahlah anak sialan ini punya waktu atau nggak menunggumu lepas baju selambat itu."Tangisku berderai.Ilham pernah menceritakan Erina kepadaku sebelumnya. Katanya, dia adalah gadis yang baik hati.Aku menatap wanita berwajah garang di depanku, dan tanpa sadar tubuhku gemetar.Para pria berbadan besar di sisi ruangan menatap dengan penuh semangat."Lepas saja. Kamu memang sudah murahan, malu buat apa?""Apa yang kamu sembunyikan di dada membusungmu itu? Buka bajumu, biar ki
Aku berjalan mendekati Erina selangkah demi selangkah. "Anakku sudah mati."Aku menangis dan tertawa, seperti orang gila kerasukan hantu."Kamu harus membayar nyawanya!"Aku menerjang ke arah Erina, tapi saat hendak menyentuhnya, aku merasakan sakit di bagian belakang kepalaku.Aku terjatuh ke lantai.Kakak Erina memegang tongkat baseball di tangannya dan bertanya dengan penuh perhatian, "Erina, kamu nggak apa-apa?"Erina terkejut, menepuk dadanya ketakutan, dan menggelengkan kepalanya.Sesaat kemudian, dia menginjak wajahku."Perempuan murahan, beraninya kamu menyerangku?""Aku akan memberimu pelajaran, biar kamu paham kalau aku nggak gampang dipermainkan."Kepalaku sakit dan kesadaranku perlahan-lahan kabur.Sebelum benar-benar pingsan, aku mendengar pemuda berambut pirang tadi bertanya, "Erina, anaknya beneran mati. Apa nggak masalah?"Erina mendengus. "Kita di ruang gawat darurat rumah sakit, berapa banyak orang yang meninggal setiap harinya? Anak ini bahkan terlambat dilarikan, ng