Share

Bab 3

Aku tertegun mendengar permintaan tidak masuk akal ini.

Erina mendorongku, lalu menjambak rambut putra bungsuku dengan tidak sabar dan menyodorkan wajah pucatnya ke hadapanku.

"Jangan terlalu lama, waktumu hampir habis."

Hatiku remuk redam.

Di sekelilingku ada pria-pria kekar yang dibawa kakak Erina, menatapku dengan penuh nafsu. Mata mereka yang menjijikkan terpaku pada dadaku.

Aku memegangi kancing atas bajuku erat-erat, menggelengkan kepala sambil berlinang air mata.

Erina mencibir, "Aku nggak terburu-buru. Tapi entahlah anak sialan ini punya waktu atau nggak menunggumu lepas baju selambat itu."

Tangisku berderai.

Ilham pernah menceritakan Erina kepadaku sebelumnya. Katanya, dia adalah gadis yang baik hati.

Aku menatap wanita berwajah garang di depanku, dan tanpa sadar tubuhku gemetar.

Para pria berbadan besar di sisi ruangan menatap dengan penuh semangat.

"Lepas saja. Kamu memang sudah murahan, malu buat apa?"

"Apa yang kamu sembunyikan di dada membusungmu itu? Buka bajumu, biar kita lihat!"

Erina mengeluarkan ponselnya dan merekam wajahku serta mengancam.

"Bisa ular biasanya menjalar dalam waktu satu jam. Hitung sendiri saja kamu masih bisa menunda-nunda berapa lama."

Demi anakku, aku akan berjuang.

Aku memejamkan mata dan mulai melepas atasanku.

Kakak Erina bersiul. "Wah, pelacur, badanmu lumayan juga."

Aku dibesarkan dengan aturan keluarga yang ketat, menikah dan memiliki anak sesuai aturan, dan tidak pernah mengalami penghinaan seperti ini.

Aku menggigit bibirku sampai muncul rasa amis di lidahku.

"Bisakah kamu menyelamatkan anak aku sekarang?"

Erina masih belum puas. Kameranya membidik dari atas ke bawah. Aku memalingkan muka untuk menghindar.

Tapi dia memegang rahang bawahku agar seluruh wajahku tersorot kamera.

"Kenapa buru-buru sekali? Yang dilepas baru baju luar saja. Pakaian dalamnya belum."

"Kamu nggak ngerti bahasa manusia? Aku bilang, kamu harus telanjang dan teriak ke kamera kalau kamu pelacur dan selingkuhan."

"Sekarang ini baru hidangan pembuka."

Kakak Erina menimpali dengan tertawaan. "Benar, lepas, cepat lepas!"

Erina menyeringai. "Nggak mau? Atau kamu mau tunggu ..."

"Aku lepas sekarang!"

Aku langsung menyela, takut dia melanjutkan kata-katanya.

Tanganku gemetaran, meraih ke belakang untuk membuka kait ....

Di bawah tatapan mata Erina yang berapi-api, aku melihat ke kamera dan perlahan membuka mulut.

"Aku wanita selingkuhan, aku pelacur. Tolong selamatkan anakku ...."

Plak!

Erina menampar kepalaku ke samping.

"Siapa yang suruh kamu tambah satu kalimat lagi? Aku cuma mau membeberkan kejahatanmu, jangan bicara yang lain-lain."

Aku berlutut dan memohon di kakinya. "Dia benar-benar bukan anak haram, dia adik kandung Ilham. Selamatkan dia dulu. Apa pun aku nggak peduli asalkan kamu menyelamatkannya."

Erina tertawa sinis dan menyilangkan lengannya. "Apa pun?"

"Pelacur, kamu nggak berhak minta apa-apa di sini."

"Sudah membodohi orang lain, membodohi diri sendiri juga."

Sambil bicara, dia menjambak rambutku dan membenturkan kepalaku ke dinding.

"Kamu cuma selingkuhan yang hina. Aku ingin muntah lihat wajahmu yang sok itu!"

Seolah belum cukup melampiaskan amarahnya, dia berteriak kepada orang-orang di belakangnya, "Kenapa kalian diam saja? Rekam juga pakai ponsel kalian!"

Lampu kilat membidik kepadaku dari segala arah.

Aku tidak bisa sembunyi sama sekali.

Dalam kepanikan dan keinginan kuat untuk melarikan diri, aku menabrak ranjang putraku.

Aku spontan ingin menggenggam tangan putra bungsuku untuk menenangkannya.

Tapi ....

Jantungku berdegup kencang seketika.

Kenapa tangan putra bungsuku sangat dingin?

Firasat buruk menjalar dalam hatiku. Aku berusaha meyakinkan diri bawa firasat itu salah dan tidak mungkin terjadi. Tapi aku tidak bisa menghentikan jari-jariku yang bergerak menuju ujung hidungnya.

Tidak ada embusan napas.

Kenapa tidak ada embusan napas?

Aku mengguncang putra bungsuku seperti orang gila. Tapi tubuhnya tetap lemas sekeras apa pun aku mengguncangnya, lunglai seakan tidak bertulang.

Putra bungsuku meninggal!

Menyadari kebenaran ini membuat pikiranku dipenuhi kemarahan.

Aku telah merendahkan diri serendah-rendahnya, membiarkan Erina mempermalukanku. Semua agar putra bungsuku bisa dibawa ke ruang gawat darurat lebih cepat. Tapi sekarang, putra bungsuku sudah meninggal.

Jadi, aku tidak perlu menahan diri lagi.

Aku perlahan menjauh dari ranjang rumah sakit, menatap dengan penuh kebencian pada pembunuh di depanku.

Erina tanpa sadar mundur beberapa langkah. "A-apa .... Mau apa kamu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status