Home / Rumah Tangga / Istri Pengganti CEO Arrogant / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Istri Pengganti CEO Arrogant: Chapter 41 - Chapter 50

137 Chapters

Bab 42: Setidaknya bisa Melupakan Sejenak

Maya menghela napas panjang, seperti sedang menimbang sesuatu yang berat sebelum akhirnya menjawab. “Kamu sendiri, kalau ada di posisi itu, bagaimana? Kalau aku sih, mungkin bakal nunggu sampai dia jatuh cinta padaku. Caranya?“Dengan sikap lembut, pelayanan yang baik, dan selalu patuh padanya. Tapi, kalau lebih dari dua atau tiga bulan sifatnya masih seperti itu, mau nggak mau yaa pisah,” ucapnya, suaranya tenang, namun tegas.Riana manggut-manggut perlahan, seolah mencoba mencerna kalimat itu kata demi kata. “Jedanya segitu, ya?” tanyanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Maya mengangguk, tatapannya melembut. “Ya. Banyak kok, cerita yang seperti itu. Dan banyak pula yang akhirnya bersatu karena suaminya sadar. Sadar kalau istrinya jauh lebih baik dari perempuan yang sudah meninggalkannya. Kadang laki-laki itu buta oleh cinta, Riana. Apalagi kalau masih terjebak dalam bayangan masa lalu, teringat mantan yang sudah pergi jauh.“Dia begitu karena belum tahu—belum paham—bahwa
last updateLast Updated : 2024-11-16
Read more

Bab 42: Kado untuk Riana

Namun, seolah dunia tak ingin memberinya jeda, suara ponselnya tiba-tiba berdering. Nama “Herman” muncul di layar, membuat Riana sedikit kaku. Maya yang duduk di seberangnya melirik sekilas, alisnya kembali terangkat.“Papa mertua? Mertua siapa tuh? Kok ... fotonya kayak pernah lihat?” tanya Maya dengan nada setengah bercanda, tetapi tatapannya penuh selidik.“Na—nanti aku jelaskan,” ucap Riana, suaranya nyaris seperti bisikan. Panik melintas di matanya. Ia buru-buru berdiri dan menjauh dari meja untuk menjawab panggilan itu.“Halo, Pa?” ucapnya pelan setelah menerima panggilan tersebut.“Kamu di mana, Nak? Bisa ke ruangan Papa? Ada paket dari Satya nih, untuk kamu katanya,” suara Herman di seberang terdengar ramah, namun cukup untuk membuat dada Riana berdebar lebih kencang.Ia tersenyum tipis, matanya sedikit berkaca. ‘Satya?’ pikirnya, sejenak merasakan kehangatan kecil yang telah lama hilang. Dengan tangan menutupi mulutnya, ia mencoba menahan senyum yang mulai meluas.“Saya ke sa
last updateLast Updated : 2024-11-16
Read more

Bab 43: Menyayanginya seperti Adik Kandung Sendiri

“Besar banget,” ucap Riana sambil memandangi paket besar itu dengan mata yang sedikit melebar. Jemarinya yang lentik perlahan menyentuh permukaan bungkusannya, seolah takut merusak apa yang tersembunyi di dalamnya.Herman tersenyum hangat, sorot matanya lembut, seolah hendak meyakinkan Riana. “Isinya juga pasti banyak. Biasanya Satya kalau sudah kasih hadiah nggak tanggung-tanggung. Semuanya akan diberikan. Semoga kamu suka, Riana.”Riana membalas senyuman itu, meski di hatinya ada campuran rasa haru dan bingung. Dengan hati-hati, ia membuka paket itu. Suara robekan kertas kado terdengar seperti nada sumbang di tengah ruangan yang tenang. Jantungnya berdebar, tak sabar ingin tahu hadiah apa yang kakak iparnya berikan.“Dalam rangka apa, Kak Satya kasih saya hadiah, Pa?” tanyanya sambil melirik Herman dengan penasaran, rasa ingin tahu terlihat jelas di wajahnya.Herman menghela napas panjang, seolah sedang mempersiapkan diri untuk sebuah pengakuan. “Mama kamu, Riana … Dia mengadu pada
last updateLast Updated : 2024-11-17
Read more

Bab 44: Bukan Urusanmu!

“Silakan, Riana. Kamu mau tanya apa?” jawab Herman dengan senyum tenang, jemarinya menyusuri tepian cangkir kopi yang ada di hadapannya. Ia tampak santai, namun ada kilatan rasa ingin tahu di matanya.Riana menghela napas panjang, seperti sedang menyiapkan hatinya untuk sebuah percakapan yang mungkin akan membuka luka atau misteri. “Mereka, Kak Satya dan Mas Fandy … adik-kakak kandung, kan?”Herman tertawa kecil, suara tawanya bergema lembut di ruang yang terasa hangat. “Ya iyalah, Riana. Satya anak pertama kami. Satu bulan setelah kami menikah, Yuni hamil. Sembilan bulan kemudian melahirkan, dan kami beri nama Satya Pramudia. Tiga tahun kemudian, lahirlah Fandy Pramudia, yang sekarang menjadi suamimu. Kenapa kamu tanya itu, heum?”Riana tersenyum kecil, lebih kepada dirinya sendiri. Ia meringis pelan, seolah malu dengan pertanyaan yang ia lontarkan. “Hanya ingin tahu saja, Pa. Dan aneh saja, karena sifat mereka beda.”“Ah, tidak terlalu beda sebenarnya,” Herman menjawab sambil bersan
last updateLast Updated : 2024-11-17
Read more

Bab 45: Tidak Semudah itu!

Waktu sudah menunjuk angka lima sore, saat mentari mulai tenggelam perlahan, meninggalkan langit dengan guratan jingga yang seperti luka tak tersembuhkan.Riana melangkahkan kaki ke dalam rumah, kelelahan setelah delapan jam yang terasa seperti seratus di hotel tempatnya bekerja. Sesaat ia berdiri di depan pintu kamarnya, menarik napas panjang seolah hendak menelan segala penat dunia.Di sana, di sudut yang hening, sebuah paket berbungkus kertas cokelat lembut menanti, kiriman dari Satya.Ia duduk di sofa, tempat Herman dengan rapi menata hadiah-hadiah itu, mencoba mencari kehangatan di tengah dinginnya percakapan-percakapan yang seringkali menyakitkan.Lalu, ting! ponselnya berbunyi, memecah kesunyian dengan ketukan halus yang terasa seperti jentikan takdir.Pesan masuk.Satya:Sudah pulang? Jangan lupa dibaca suratnya, jangan lupa dimakan camilannya, jangan lupa tuliskan semua yang kamu lewati di buku harian yang aku berikan. Jangan lupa pakai pakaian yang aku berikan. Sepatu untukm
last updateLast Updated : 2024-11-18
Read more

Bab 46: Memberitahu Maya

Dua hari berlalu...Pagi itu, suasana rumah sedikit lengang. Riana sudah rapi dengan pakaian santainya, tengah menyiapkan diri untuk pergi bersama Maya, sahabatnya. Namun, langkahnya dihentikan oleh pertanyaan Fandy.“Kamu mau ke mana? Bukannya hari ini libur?” tanya Fandy, dengan nada sedikit curiga.“Oh, iya, lupa. Aku kan sudah punya suami. Harusnya minta izin dulu sama suami kalau mau pergi,” jawab Riana, matanya melirik Fandy dengan tatapan menggoda namun penuh sarkasme.Fandy mendengus kesal, seperti orang yang baru saja kalah dalam adu argumen. “Mau ke mana? Supaya nanti kalau Mama dan Papa nanya kamu ada di mana, gampang buat jawabnya,” tanyanya lagi, mencoba terdengar tegas.“Mau hangout sebentar sama Maya. Hari ini kan lagi libur. Kapan lagi bisa refreshing kalau bukan hari ini. Dan, aku sudah minta izin sama Mama dan Papa. Jadi, nggak usah ketakutan kalau nanti mereka nanya di mana aku berada!” jawab Riana, sambil tersenyum tipis, senyum yang membuat Fandy semakin merasa te
last updateLast Updated : 2024-11-18
Read more

Bab 47: Berharap Membuka Mata dan Hatinya

Riana mengangguk pelan, menunduk seolah ingin menghindari mata Maya yang masih melotot. “Tapi sampai saat ini, Fandy belum bisa melepaskan apalagi melupakan Citra. Dia bilang akan kembali pada Citra begitu perempuan itu kembali ke Indonesia dan dinyatakan sembuh dari penyakitnya.”Maya mendecak kesal, tangannya mengepal di atas meja kayu. “Penyakit kayak gitu susah sembuhnya, Riana. Pak Fandy-nya aja yang gila. Masih berharap sama orang yang kondisinya kayak gitu!”Riana tersenyum getir, lalu berkata dengan nada pelan namun penuh luka, “Aku juga kalau bukan karena sudah diperkosa Fandy, mana mau nikah sama pria yang nggak bisa move on dari mantannya. Belum jadi mantan malah. Yang memutuskan pembatalan pernikahan itu orang tuanya Citra.”Maya tak tahan mendengar itu. Ia mengulurkan tangan, mengusap punggung Riana dengan lembut. “Yang sabar ya, Riana. Mungkin butuh waktu yang lama buat Pak Fandy melupakan Citra. Kamu berdoa aja semoga Citra cepat mati.”Plak!Riana memukul paha Maya, me
last updateLast Updated : 2024-11-19
Read more

Bab 48: Sangat Berisik

Riana tersenyum pasi mendengar doa Maya, namun matanya menyimpan sorot kelelahan yang tak mampu ia sembunyikan. “Manusia hanya bisa berharap, Maya. Pada akhirnya, tetap Tuhan yang menentukan,” ucapnya pelan, suaranya seakan terbang terbawa angin pantai yang berembus lembut.Maya mengusap punggung Riana dengan gerakan pelan, seperti mencoba menyuntikkan semangat ke dalam jiwa sahabatnya yang rapuh. “Semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan, Riana. Aku yakin, kamu akan menemukan bahagia. Tapi jujur, kamu sendiri berharap kekal sama Pak Fandy atau… tetap mengharapkan orang yang nggak bisa kamu gapai itu?”Riana hanya mengangkat bahu, senyuman kecil tersungging di bibirnya. “Kita ke sini untuk liburan, May. Bukan untuk bahas hal-hal yang bikin aku tambah galau. Udah deh, mending pesen makan aja, ya?”Tiba-tiba, bunyi notifikasi memecah suasana. Ponsel Riana bergetar, memberitahu ada pesan yang masuk. Ia menghela napas sebelum melirik layarnya. Pesan dari Fandy.Fandy: [Jangan lama
last updateLast Updated : 2024-11-19
Read more

Bab 49: Perubahan Sikap Fandy

“Kamu belum memaafkan aku,” jawab Fandy pelan, seperti embun yang jatuh dari ujung dedaunan. Tatapannya lesu, penuh rasa bersalah yang ia tak mampu sembunyikan.Riana mendengus, matanya berputar ke atas dengan ekspresi jengah. “Kenapa masih membahas itu? Aku sudah memaa—““Tapi tidak ikhlas,” potong Fandy cepat. “Kamu tidak ikhlas memaafkan aku.” Ucapannya sederhana, tapi nadanya seperti percikan api yang menyambar ranting kering.Perempuan itu kemudian melipat tangan di dadanya, berdiri tegak seperti tembok kokoh yang sulit digoyahkan. “Ada sesuatu yang membuat kamu merasa terancam, kalau belum aku maafkan? Yang akan membuat kamu tidak bisa tenang hidupnya?” tantangnya, suaranya rendah tapi penuh sindiran.Fandy menggeleng pelan, seperti angin lembut yang nyaris tak terasa. “Karena memang aku merasa bersalah, dan aku tidak ingin punya musuh dengan siapa pun. Apalagi kamu adalah istriku. Tidak baik kalau bermusuhan dengan istri sendiri.”Jawaban itu, yang terdengar tulus sekaligus men
last updateLast Updated : 2024-11-20
Read more

Bab 50: Sebaiknya jangan Tanyakan Hal itu

Ia menghela napas panjang lagi, kali ini terdengar lebih berat, seperti daun yang akhirnya menyerah kepada gravitasi. “Bodo, aahh,” katanya dengan nada setengah tertawa, namun lebih menyerupai ejekan terhadap dirinya sendiri.“Paling juga hanya sebentar. Nanti balik lagi kumatnya. Marah-marah nggak jelas. Aku udah hafal sama kamu, Fandy.”Riana memutar bola matanya, sebuah gerakan kecil tetapi penuh dengan kelelahan yang mendalam. Tubuhnya kemudian ia hempaskan ke atas tempat tidur dengan gerakan yang seperti melodi kesendirian.Kasur menyambutnya dengan kelembutan, seperti pelukan sunyi yang mengerti semua rasa lelah yang ia simpan. Ia menarik selimutnya setengah hati, membiarkan sebagian tubuhnya tetap terpapar udara pagi yang sejuk.Matanya perlahan-lahan tertutup, mencoba meraih ketenangan yang sudah lama hilang. Dalam kesunyian kamarnya, waktu seperti melambat.Suara detak jarum jam terdengar lebih keras, mengiringi napasnya yang semakin dalam. Namun, pikirannya tetap berputar, m
last updateLast Updated : 2024-11-20
Read more
PREV
1
...
34567
...
14
DMCA.com Protection Status