Riana tersenyum sinis pada bayangannya sendiri, mencibir takdir yang seakan selalu menempatkannya dalam pilihan yang berlawanan dengan harga diri.“Inilah ternyata hidup,” gumamnya lirih, “saat terpaksa memilih jalan yang bertolak belakang dengan derajat yang kuinginkan.” Ia menarik napas panjang, berusaha mengusir perih yang menyesak di dadanya.Suara lembut Satya tiba-tiba memecah lamunannya. “Kenapa melamun?”Riana terperanjat dan menoleh, mendapati tatapan Satya yang penuh perhatian. “Saya ingin pulang, Kak,” ucapnya lirih, hampir seperti bisikan yang rapuh.“Pulang? Kenapa?” Tanya Satya dengan nada prihatin, matanya memperlihatkan ketulusan yang membuat Riana semakin merasa dihargai.“Eeuh... saya nggak enak badan. Kayaknya meriang. Maaf, ya, Kak.”“Oh, ya sudah kalau begitu. Aku antar pulang.” Satya bersikeras, tangannya terulur hendak membantunya berdiri.“Tidak usah, Kak. Saya bisa pesan taksi saja. Nggak enak, Kakak ninggalin tamunya.”Satya tersenyum tenang, seolah tak tergo
Terakhir Diperbarui : 2024-11-07 Baca selengkapnya