Pria itu lantas mengendus kesal, hembusan napasnya terdengar berat, seolah membawa kabut keraguan yang terus menggumpal di udara. “Belum tentu Citra akan kembali dalam waktu dekat ini.”Riana tersenyum tipis, sebuah senyum yang menyimpan seribu luka yang telah membatu. Ia mengangguk perlahan, seperti memaklumi luka yang tak akan pernah sembuh di antara mereka.“Baiklah. Tidak masalah juga kalau kamu harus meninggalkanku, Fandy. Toh ... kamu tidak akan bisa membuatku hamil. Karena pikiranmu terus tertuju pada Citra.”Bibirnya mengulas senyum setengah manis setengah pahit, seperti sepotong racun yang ia tawarkan dengan hati lapang—sungguh, senyumnya bagai malaikat yang berdansa di tepi jurang api.“Makan malam sudah siap. Silakan makan sendiri, karena aku sudah makan lima menit yang lalu. Aku tak mampu lagi menunggu, sementara perutku meronta minta diisi.” Ucapannya dingin, sejuk seperti angin malam yang menusuk tulang.Tanpa menunggu balasan, ia pun berlalu, meninggalkan Fandy dalam su
Riana menghela napas dengan kasar, dadanya sedikit bergejolak mendengar komentar itu. Dalam hatinya, ia bergumam, ‘Andai kalian tahu kalau aku adalah istrinya Fandy. Sekali aku melapor pada Papa, kalian sudah akan diberi surat pemecatan karena membuatku tak nyaman.’ Sambil menahan diri, Riana mengembungkan pipinya, berusaha menelan amarah yang rasanya mendidih.“Sudahlah, Riana. Jangan didengarkan. Namanya juga iri. Mereka pasti akan selalu menyindir, sengaja bicara keras agar kau dengar,” kata Maya, mencoba menenangkan Riana dengan suara lembut, seperti melodi hujan yang menenangkan gundah.Riana menganggukkan kepalanya, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang lebih mirip setengah ejekan. “Ya, seharusnya mereka takut padaku. Kalau memang mereka berpikir aku pacarnya Pak Satya, bukankah mudah bagiku untuk melaporkan mereka? Aku tinggal minta Pak Satya memecat mereka.” Ucapannya terdengar setenang badai yang menahan diri, namun tetap memancarkan ketegasan yang tak terbantahkan.Maya
"Kamu memang perempuan baik hati, Riana. Terima kasih, karena tidak marah padaku.""Tidak ada yang harus dibuat marah, Dimas. Meskipun tidak semua orang kaya memiliki sifat seperti itu, tapi kamu sudah mengingatkan aku tentang itu. Pak Satya orangnya baik.“Kalau memang dia memiliki sifat jahat seperti yang kamu pikirkan, mungkin malam itu aku sudah dieksekusi olehnya. Memangnya kamu sudah pernah lihat, Pak Satya datang bersama perempuan dan tidur di sini?" tanyanya, mengerlingkan mata penuh selidik pada Dimas.Dimas menggeleng pelan, wajahnya terlihat seperti riak air yang bergelombang oleh angin malam. "Tidak pernah, Riana. Tapi, kalau melihat Pak Fandy membawa kekasihnya ke sini, sering.""Tidur dalam satu kamar?" tanya Riana sekali lagi, nada suaranya terbenam dalam renungan yang gelisah.Dimas mengangkat bahu seolah-olah seluruh jawaban itu hanyalah serpihan rahasia yang tak penting baginya."Tidak tahu pasti. Tapi, kalau pergi malam, pulang pagi... sudah pasti tidur bersama dan
Tentu saja, gumamnya tetap berdiam dalam hati. Ia belum ingin mengungkapkan bahwa Fandy adalah suaminya kepada Dimas. Meskipun Dimas adalah teman dekat, bukan berarti ia berhak mengetahui seluruh rahasia hatinya, rahasia yang terlilit rapi dalam kepedihan.“Pak Fandy terlihat lebih kalem dari Pak Satya. Tapi, kelakuannya ternyata lebih jahat. Kenapa dia merusak perempuan,” ucap Riana, kata-katanya seperti angin malam yang menggoyangkan dedaunan, penuh ketidakpercayaan dan kepahitan.Dimas terkekeh pelan, suara tawanya ringan seperti senandung angin. “Kalau sama-sama suka, kenapa nggak? Lagi pula, mereka sudah menikah. Sudah tidak lagi melakukan hubungan intim di luar pernikahan.”Riana menoleh ke arah Dimas, tatapannya menyiratkan kebimbangan dan ketidakpastian. “Kamu pernah melihat wajah Citra?”Dimas mengangguk, tatapannya mengabur ke masa lalu yang samar-samar. “Tentu saja. Pak Fandy sering memamerkan pacarnya kepada kami. Dia memang pendiam, tapi kalau soal pasangan... paling seti
Riana mengerutkan keningnya, wajahnya berubah sedikit kesal. “Memangnya kenapa? Ini bukan hotel, Pak. Tapi, tempat umum!” katanya, suaranya tak bergetar, namun ada api kecil yang menyala di balik setiap katanya.Dimas segera menepuk lengan Riana, isyarat halus untuk menahan diri. “Jangan bicara seperti itu,” bisiknya, suaranya rendah namun penuh ketegasan. “Meskipun ini bukan di hotel, beliau tetap bos kita,” tambahnya, berusaha memperingatkan Riana dengan lirikan tajam dan penuh kekhawatiran.Riana mendesah pelan, lalu memperhatikan Dimas yang kini bangkit dari tempat duduknya dan berhadapan dengan Fandy. Fandy berdiri di sana dengan wajah datar, tatapannya tajam namun tanpa emosi, seperti patung pualam yang dingin dan tak bisa disentuh.“Kami minta maaf, Pak. Tapi, betul apa yang dikatakan oleh Riana. Ini bukan di hotel, dan Anda jangan salah paham karena kami tidak memiliki hubungan apa pun,” ucap Dimas, suaranya mantap dan tenang. “Saya masih ingat dengan aturan di hotel, Pak Fa
“Aah … ini.” Riana membuka kotak tersebut, dan gaun berwarna gading dengan detail brukat yang halus di bagian tengah terlipat rapi di dalamnya, berkilau lembut di bawah lampu.Ia membelai permukaannya, merasakan tekstur lembut brukat yang seolah menuturkan sentuhan klasik dan elegan.Potongan gaun itu jatuh di bawah lutut, sederhana namun anggun, seperti ucapan tanpa kata dari mertuanya—perhatian kecil yang membuat Riana tersenyum tipis, nyaris tak tersentuh."Bagus juga," gumamnya. "Mertua yang pengertian. Kemarin, Kak Satya yang bawakan aku baju. Sekarang, mertuaku sendiri. Memang keluarga baik hati semua. Hanya si Fandy gila itu yang belum berubah." Ia tersenyum sinis sambil melipat gaun tersebut dan menyimpannya di atas tempat tidur.Setelah itu, Riana memutuskan untuk mandi. Waktu sudah menunjukkan angka tujuh, dan meski ia masih datang bulan, ia santai tanpa terburu untuk sembahyang. Dua puluh menit berlalu, dan saat ia sedang merias wajahnya, terdengar suara ketukan di pintu ka
Namun, Yuni hanya memberikan senyum samar, senyum yang menyimpan berjuta rahasia yang hanya ia ketahui, sebelum melangkah pergi, kembali bergabung dengan kerumunan tamu.Riana hanya bisa menatap punggung sang mertua yang menjauh, hingga sosoknya menghilang di antara gemerlap cahaya dan obrolan hangat di sekelilingnya. Ia menghela napas panjang, perasaan gelisah merayap di hatinya."Kenapa menatap Mama seperti itu?" Suara datar Fandy memecah lamunannya.Riana hanya menoleh sejenak, matanya mengerling dengan malas ke arah suaminya itu, lalu menggeleng pelan, menutupi perasaannya yang berkecamuk.Saat itu, Herman mulai melakukan panggilan video dengan anak sulungnya, Satya, yang berada jauh di negeri lain. “Halo, Satya. Apa kabar kamu, Nak?” Suara Herman terdengar penuh cinta dan kerinduan, seperti seorang ayah yang tak sabar mendengar suara putranya.Di layar ponsel, wajah Satya muncul, tersenyum hangat kepada ayahnya. “Selamat ulang tahun ya, Pa. Hadiahnya sudah aku kirimkan, semoga Pa
Fandy menatap ibunya, perasaan marah, bingung, dan cemburu bercampur menjadi satu di dadanya. Meski ia tahu Yuni tidak berniat membuatnya marah, namun kenyataan bahwa Riana kini menjadi pusat cinta kedua orang tuanya terasa seperti duri di hatinya.Pandangannya kembali kepada Riana yang duduk dengan senyum tenang, tampak bersinar dalam hangatnya keluarga yang kini seolah sepenuhnya menerima dirinya—dan dalam hati kecilnya, Fandy merasa bahwa jarak antara ia dan Riana kini semakin tak terjangkau.“Oh, iya. Tadi Mama mau bicara apa?” tanya Riana, dengan senyum yang dipaksakan, sambil memandang Yuni. Ingatan kecilnya tentang percakapan yang terputus tadi akhirnya kembali.“Oh, itu. Kamu... sudah pernah cek kesuburan belum? Papa kamu sudah tidak sabar ingin punya cucu katanya.” Yuni tersenyum hangat, dengan antusiasme yang terpancar dari matanya.Namun bagi Riana, ucapan itu datang seperti desir dingin yang menyeruak ke dalam dirinya, melawan keinginannya sendiri yang tersembunyi.Riana m
Waktu sudah menunjuk angka satu pagi. Riana sudah memasuki bukaan lengkap. Dokter Mery dan juga tiga perawat sudah berada di sana hendak membantu proses persalinan Riana."Tarik napasnya dalam-dalam, lalu keluarkan. Oke! Satu ... dua ... tiga ...."Riana menarik napasnya dan mengeluarkannya kembali. Mengejan dengan sekuat tenaga dengan tangan memegang erat tangan Satya.Lelaki itu benar-benar tak pernah meninggalkan Riana sejak mereka tiba di rumah sakit."Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa," ucap Satya sembari mengusapi kening Riana yang sudah bercucuran keringat."Eeuurrnghhh ...." Dengan sekuat tenaga ia mengejan agar bayinya segera keluar.Riana mengatur napasnya yang sudah tersengal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tubuhnya sudah sangat lemas. Namun, bayinya belum juga ingin keluar dari sana."Ayo, Bu. Tarik lagi, yuk! Tarik napasnya, kemudian keluarkan." Dokter Mery memberikan interupsi lagi kepada Riana.Perempuan itu kembali mengejan. Tangannya sudah semakin erat memegang tang
Sembilan bulan sudah, usia kandungan Riana. Perkiraan Riana akan melahirkan sekitar dua sampai tiga harian lagi."Kamu sudah cuti, Kak?" tanya Riana menghampiri Satya yang baru saja selesai mandi."Iya, Sayang. Waktu lahir Fabian dulu, kamu lahiran lebih cepat dari perkiraan. Aku tidak ingin hal yang dulu terjadi, terjadi lagi untuk saat ini. Aku mau stay di rumah dan menemani kamu."Riana menerbitkan senyumnya. "Manis banget. Suaminya siapa sih, ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan kemudian menggeleng pelan. "Aku anggapnya kamu teman hidupku. Forever."Satya mencubit gemas hidung istrinya itu. "Bisa aja. Mau sarapan apa? Mau aku buatkan lagi?""Boleh. Roti bakar selai strawbery, yaa.""Siap! Tunggu sebentar, yaa. Fabian udah bangun?""Udah. Mulai hari ini kan, Fabian udah sekolah. Lupa?""Oh, iyaa. Aku udah janji ke Fabian akan antar dia ke sekolah hari ini. Astaga! Untung kamu ingetin."Satya segera keluar dari kamarnya dan menghampiri Fabian. Riana yang melihatnya h
Riana mengerucutkan bibirnya. Satya kemudian menarik tangan Riana hingga kini perempuan itu duduk di sampingnya.Bibirnya menyapu bibir mungil perempuan itu dengan lembut. Tangannya melingkar di ceruk leher Riana merasakan sensasi ciuman yang semakin nikmat mereka rasakan.Lelaki itu sudah tidak sabar lagi. Ia lantas membuka celana dan juga kaus yang ia kenakan dan mengambil majalah yang ada di tangan Riana.Meraup bibir Riana lagi dengan ganas seraya meremas dada Riana dengan gemas. Suara desahan dari mulut Riana sudah mulai terdengar. Begitu jelas dan membuat Satya semakin ingin menghujam lebih dalam ciumannya itu.“Mmmpphh …,” desah Riana merasakan ciumannya itu. Lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya dengan tangan satunya membuka tali dress yang ia kenakan.Hingga kini, hanya celana dalam yang ia kenakan. Bagian atasnya sudah tereskpos dan tangan kekar itu kembali meremas gundukan kenyal dan indah milik istrinya itu
Satya menghela napasnya dengan panjang. "Nggak banyak, hanya segilintir saja. Lagian kan, jam tiga nanti baru berangkat. Jadi ini kan, alasan kamu nggak mau ikut karena lagi hamil?"Riana mengangguk. "Iya. Kalau lagi nggak hamil sih, aku pasti ikut. Kapan-kapan aja, yaa. Itu pun kalau nggak malas sih.""Babymoon?""Eum! Boleh deh."Satya kemudian mencium punggung tangan istrinya itu dan menatapnya sekali lagi. Membuat Riana yang melihatnya lantas salah tingkah karena ulah suaminya itu."Udah, aah. Aku mau ke dapur dulu. Mau minum susu hamil.""Biar aku saja. Kamu tunggu di sini, sambil nunggu Fabian bangun." Satya beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke luar untuk membuatkan susu hamil untuk sang istri.Kali ini, ia benar-benar menikmati peran sebagai suami yang harus standby untuk istrinya yang tengah hamil bayinya itu.Lima menit kemudian, Satya masuk lagi ke dalam dan memberikan satu gelas susu hamil kepada sang istri.
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak