“Aah … ini.” Riana membuka kotak tersebut, dan gaun berwarna gading dengan detail brukat yang halus di bagian tengah terlipat rapi di dalamnya, berkilau lembut di bawah lampu.Ia membelai permukaannya, merasakan tekstur lembut brukat yang seolah menuturkan sentuhan klasik dan elegan.Potongan gaun itu jatuh di bawah lutut, sederhana namun anggun, seperti ucapan tanpa kata dari mertuanya—perhatian kecil yang membuat Riana tersenyum tipis, nyaris tak tersentuh."Bagus juga," gumamnya. "Mertua yang pengertian. Kemarin, Kak Satya yang bawakan aku baju. Sekarang, mertuaku sendiri. Memang keluarga baik hati semua. Hanya si Fandy gila itu yang belum berubah." Ia tersenyum sinis sambil melipat gaun tersebut dan menyimpannya di atas tempat tidur.Setelah itu, Riana memutuskan untuk mandi. Waktu sudah menunjukkan angka tujuh, dan meski ia masih datang bulan, ia santai tanpa terburu untuk sembahyang. Dua puluh menit berlalu, dan saat ia sedang merias wajahnya, terdengar suara ketukan di pintu ka
Namun, Yuni hanya memberikan senyum samar, senyum yang menyimpan berjuta rahasia yang hanya ia ketahui, sebelum melangkah pergi, kembali bergabung dengan kerumunan tamu.Riana hanya bisa menatap punggung sang mertua yang menjauh, hingga sosoknya menghilang di antara gemerlap cahaya dan obrolan hangat di sekelilingnya. Ia menghela napas panjang, perasaan gelisah merayap di hatinya."Kenapa menatap Mama seperti itu?" Suara datar Fandy memecah lamunannya.Riana hanya menoleh sejenak, matanya mengerling dengan malas ke arah suaminya itu, lalu menggeleng pelan, menutupi perasaannya yang berkecamuk.Saat itu, Herman mulai melakukan panggilan video dengan anak sulungnya, Satya, yang berada jauh di negeri lain. “Halo, Satya. Apa kabar kamu, Nak?” Suara Herman terdengar penuh cinta dan kerinduan, seperti seorang ayah yang tak sabar mendengar suara putranya.Di layar ponsel, wajah Satya muncul, tersenyum hangat kepada ayahnya. “Selamat ulang tahun ya, Pa. Hadiahnya sudah aku kirimkan, semoga Pa
Fandy menatap ibunya, perasaan marah, bingung, dan cemburu bercampur menjadi satu di dadanya. Meski ia tahu Yuni tidak berniat membuatnya marah, namun kenyataan bahwa Riana kini menjadi pusat cinta kedua orang tuanya terasa seperti duri di hatinya.Pandangannya kembali kepada Riana yang duduk dengan senyum tenang, tampak bersinar dalam hangatnya keluarga yang kini seolah sepenuhnya menerima dirinya—dan dalam hati kecilnya, Fandy merasa bahwa jarak antara ia dan Riana kini semakin tak terjangkau.“Oh, iya. Tadi Mama mau bicara apa?” tanya Riana, dengan senyum yang dipaksakan, sambil memandang Yuni. Ingatan kecilnya tentang percakapan yang terputus tadi akhirnya kembali.“Oh, itu. Kamu... sudah pernah cek kesuburan belum? Papa kamu sudah tidak sabar ingin punya cucu katanya.” Yuni tersenyum hangat, dengan antusiasme yang terpancar dari matanya.Namun bagi Riana, ucapan itu datang seperti desir dingin yang menyeruak ke dalam dirinya, melawan keinginannya sendiri yang tersembunyi.Riana m
Riana menunduk sejenak, mengembuskan napas panjang, sebelum mengangkat wajahnya kembali. “Ya. Seperti yang Mama dan Papa pikirkan. Dia masih terbayang-bayang wajah Citra. Bahkan, saat kami berdua bersama pun, yang dia sebut hanya nama Citra.” Riana tersenyum pahit, menelan pil getir yang harus ia ungkapkan. “Bukankah itu suatu penghinaan yang cukup menyakitkan hati?”Yuni tercengang, matanya melebar dalam campuran kesedihan dan kemarahan yang tak bisa ia sembunyikan.“Kenapa kamu baru bicara sekarang, Sayang?” suaranya serak penuh emosi, terhanyut dalam rasa sakit yang tak terduga saat mendengar pengakuan Riana tentang perlakuan Fandy.Riana menggeleng pelan. “Saya minta maaf, Ma, Pa. Seharusnya hal ini tidak perlu saya ceritakan. Tapi bagaimana lagi saya bisa bertahan? Bagaimana bisa saya berharap mencintainya juga, kalau dia tak pernah membuka hatinya untuk saya?” Riana berbicara dengan pasrah, perasaannya yang selama ini ia tekan pecah menjadi kalimat yang lirih namun penuh luka.Y
Pagi baru saja menyapa dengan sinar mentari yang lembut, namun hati Riana sudah terasa kelabu. Di dapur yang senyap, ia berdiri menyiapkan sarapan sederhana dengan gerakan pelan, sementara pikirannya terus bergemuruh. Kilasan raut wajah Yuni yang tampak lesu terngiang-ngiang dalam ingatannya, membuatnya merasa bersalah yang tak terucapkan. 'Apakah aku sudah keterlaluan? Ucapanku … sudah membuat Mama terluka?' gumamnya dalam hati, getir.Keheningan dapur itu terganggu oleh suara Fandy yang tiba-tiba muncul dari balik punggungnya, suaranya penuh nada selidik. “Apa yang sedang kamu lakukan, Riana?”Tanpa berbalik, Riana menatap ke arah masakan di hadapannya, wajahnya datar namun matanya berkilat dingin. “Masak. Kamu pikir aku sedang apa? Main monopoli?” jawabnya dengan nada ketus, memotong sapaan dingin Fandy tanpa basa-basi.Fandy mendengus pelan, berusaha menahan kesal. “Tidak perlu masak untuk hari ini. Aku belum lapar.”Riana tersenyum samar, namun ada kilau sinis dalam senyumnya.
Fandy menahan diri, kepalan tangannya bergetar menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. “Ma! Bukan keinginannya dia jadi begitu!” pekiknya dengan nada protes, membela Citra meskipun tahu kemarahan Yuni sulit dipadamkan.“Oh! Masih membela perempuan itu? Masih ingin menunggu perempuan yang sudah membuat keluarga kamu malu? Iya?” Suara Yuni semakin nyaring, bergetar penuh emosi. Matanya yang tajam memandang anaknya seolah tak mengenali siapa dirinya.“Apa kamu buta? Dia membuat kita malu, dia membuat Mama terhina di depan semua orang, dan kamu… kamu masih saja berdiri di pihaknya?” Yuni menggeleng-gelengkan kepala, memandang Fandy dengan tatapan kecewa.Fandy menatap ibunya dalam-dalam, tatapannya penuh rasa sakit yang terpendam. “Bukan membelanya, Ma… hanya saja…” ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya, “ucapan Mama terlalu sarkas, terlalu keras, seolah Citra sengaja membatalkan pernikahan itu. Mama sangat kecewa, aku tahu itu. Tapi, apakah kita harus terus-mene
Fandy, dengan amarah yang membara, menatapnya dengan tajam. “Kamu yang apa-apaan! Selalu saja memberi tahu pada Mama. Kenapa mulutmu itu tidak bisa mengunci apa yang sudah kamu lihat dan jangan pernah memberi tahu Mama tentang semuanya?” Suaranya seperti petir yang menggelegar, menggetarkan dinding hati Riana dengan kekuatan yang tak terduga.Riana, meski kesakitan, hanya bisa tersenyum miris. Senyum itu, lebih kepada keputusasaan. Ia melepaskan tangannya dari pipinya yang masih terasa panas, lalu menghela napas panjang. Rasa berat di dadanya semakin mengungkung, namun ia berusaha untuk tetap berdiri tegak."Lalu, aku harus bagaimana? Aku harus diam saja dan menahan sendirian dengan batin yang sangat membuat aku tersiksa? Seharusnya kamu yang mikir, Fandy." Suaranya mulai kehilangan kesabaran, namun tetap mengalir begitu dalam, penuh luka yang terpendam. "Kamu sudah punya istri. Statusmu sudah menjadi suami, bukan pria lajang yang bisa mencari pasangan dan dikenalkan kepada orang tua
Fandy menelan salivanya dengan pelan, sebuah tanda bahwa kata-kata Riana mulai menembus hatinya yang keras. Namun, ia masih belum mampu mengungkapkan apapun.“Jangan mentang-mentang kamu punya segalanya, kamu pikir akan membuat aku takut. Tidak. Aku hanya takut pada Tuhan yang telah menciptakan aku. Sekaya apa pun kamu, kalau hatimu busuk, hanya mengedepankan ego, tidak ada harganya di mata manusia apalagi Tuhan!” Riana melanjutkan dengan penuh keyakinan, seolah mengutuk segala kekosongan yang ada dalam diri Fandy.Matanya kembali menatap tajam ke arah Fandy yang masih terdiam, wajahnya datar, tidak ada reaksi apapun yang muncul dari bibir lelaki itu. Ia merasa seolah berbicara pada dinding yang tak bisa merespon. “Aku minta maaf, Riana. Bukan itu yang aku maksud.” Suaranya terdengar lemah, tidak meyakinkan, seperti kata-kata itu hanya keluar begitu saja tanpa makna. “Seharusnya kamu tidak perlu memberi tahu semuanya dengan jelas pada Mama. Karena belum tentu semuanya benar.”Riana t
Waktu sudah menunjuk angka satu pagi. Riana sudah memasuki bukaan lengkap. Dokter Mery dan juga tiga perawat sudah berada di sana hendak membantu proses persalinan Riana."Tarik napasnya dalam-dalam, lalu keluarkan. Oke! Satu ... dua ... tiga ...."Riana menarik napasnya dan mengeluarkannya kembali. Mengejan dengan sekuat tenaga dengan tangan memegang erat tangan Satya.Lelaki itu benar-benar tak pernah meninggalkan Riana sejak mereka tiba di rumah sakit."Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa," ucap Satya sembari mengusapi kening Riana yang sudah bercucuran keringat."Eeuurrnghhh ...." Dengan sekuat tenaga ia mengejan agar bayinya segera keluar.Riana mengatur napasnya yang sudah tersengal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tubuhnya sudah sangat lemas. Namun, bayinya belum juga ingin keluar dari sana."Ayo, Bu. Tarik lagi, yuk! Tarik napasnya, kemudian keluarkan." Dokter Mery memberikan interupsi lagi kepada Riana.Perempuan itu kembali mengejan. Tangannya sudah semakin erat memegang tang
Sembilan bulan sudah, usia kandungan Riana. Perkiraan Riana akan melahirkan sekitar dua sampai tiga harian lagi."Kamu sudah cuti, Kak?" tanya Riana menghampiri Satya yang baru saja selesai mandi."Iya, Sayang. Waktu lahir Fabian dulu, kamu lahiran lebih cepat dari perkiraan. Aku tidak ingin hal yang dulu terjadi, terjadi lagi untuk saat ini. Aku mau stay di rumah dan menemani kamu."Riana menerbitkan senyumnya. "Manis banget. Suaminya siapa sih, ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan kemudian menggeleng pelan. "Aku anggapnya kamu teman hidupku. Forever."Satya mencubit gemas hidung istrinya itu. "Bisa aja. Mau sarapan apa? Mau aku buatkan lagi?""Boleh. Roti bakar selai strawbery, yaa.""Siap! Tunggu sebentar, yaa. Fabian udah bangun?""Udah. Mulai hari ini kan, Fabian udah sekolah. Lupa?""Oh, iyaa. Aku udah janji ke Fabian akan antar dia ke sekolah hari ini. Astaga! Untung kamu ingetin."Satya segera keluar dari kamarnya dan menghampiri Fabian. Riana yang melihatnya h
Riana mengerucutkan bibirnya. Satya kemudian menarik tangan Riana hingga kini perempuan itu duduk di sampingnya.Bibirnya menyapu bibir mungil perempuan itu dengan lembut. Tangannya melingkar di ceruk leher Riana merasakan sensasi ciuman yang semakin nikmat mereka rasakan.Lelaki itu sudah tidak sabar lagi. Ia lantas membuka celana dan juga kaus yang ia kenakan dan mengambil majalah yang ada di tangan Riana.Meraup bibir Riana lagi dengan ganas seraya meremas dada Riana dengan gemas. Suara desahan dari mulut Riana sudah mulai terdengar. Begitu jelas dan membuat Satya semakin ingin menghujam lebih dalam ciumannya itu.“Mmmpphh …,” desah Riana merasakan ciumannya itu. Lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya dengan tangan satunya membuka tali dress yang ia kenakan.Hingga kini, hanya celana dalam yang ia kenakan. Bagian atasnya sudah tereskpos dan tangan kekar itu kembali meremas gundukan kenyal dan indah milik istrinya itu
Satya menghela napasnya dengan panjang. "Nggak banyak, hanya segilintir saja. Lagian kan, jam tiga nanti baru berangkat. Jadi ini kan, alasan kamu nggak mau ikut karena lagi hamil?"Riana mengangguk. "Iya. Kalau lagi nggak hamil sih, aku pasti ikut. Kapan-kapan aja, yaa. Itu pun kalau nggak malas sih.""Babymoon?""Eum! Boleh deh."Satya kemudian mencium punggung tangan istrinya itu dan menatapnya sekali lagi. Membuat Riana yang melihatnya lantas salah tingkah karena ulah suaminya itu."Udah, aah. Aku mau ke dapur dulu. Mau minum susu hamil.""Biar aku saja. Kamu tunggu di sini, sambil nunggu Fabian bangun." Satya beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke luar untuk membuatkan susu hamil untuk sang istri.Kali ini, ia benar-benar menikmati peran sebagai suami yang harus standby untuk istrinya yang tengah hamil bayinya itu.Lima menit kemudian, Satya masuk lagi ke dalam dan memberikan satu gelas susu hamil kepada sang istri.
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak