Fandy, dengan amarah yang membara, menatapnya dengan tajam. “Kamu yang apa-apaan! Selalu saja memberi tahu pada Mama. Kenapa mulutmu itu tidak bisa mengunci apa yang sudah kamu lihat dan jangan pernah memberi tahu Mama tentang semuanya?” Suaranya seperti petir yang menggelegar, menggetarkan dinding hati Riana dengan kekuatan yang tak terduga.Riana, meski kesakitan, hanya bisa tersenyum miris. Senyum itu, lebih kepada keputusasaan. Ia melepaskan tangannya dari pipinya yang masih terasa panas, lalu menghela napas panjang. Rasa berat di dadanya semakin mengungkung, namun ia berusaha untuk tetap berdiri tegak."Lalu, aku harus bagaimana? Aku harus diam saja dan menahan sendirian dengan batin yang sangat membuat aku tersiksa? Seharusnya kamu yang mikir, Fandy." Suaranya mulai kehilangan kesabaran, namun tetap mengalir begitu dalam, penuh luka yang terpendam. "Kamu sudah punya istri. Statusmu sudah menjadi suami, bukan pria lajang yang bisa mencari pasangan dan dikenalkan kepada orang tua
Fandy menelan salivanya dengan pelan, sebuah tanda bahwa kata-kata Riana mulai menembus hatinya yang keras. Namun, ia masih belum mampu mengungkapkan apapun.“Jangan mentang-mentang kamu punya segalanya, kamu pikir akan membuat aku takut. Tidak. Aku hanya takut pada Tuhan yang telah menciptakan aku. Sekaya apa pun kamu, kalau hatimu busuk, hanya mengedepankan ego, tidak ada harganya di mata manusia apalagi Tuhan!” Riana melanjutkan dengan penuh keyakinan, seolah mengutuk segala kekosongan yang ada dalam diri Fandy.Matanya kembali menatap tajam ke arah Fandy yang masih terdiam, wajahnya datar, tidak ada reaksi apapun yang muncul dari bibir lelaki itu. Ia merasa seolah berbicara pada dinding yang tak bisa merespon. “Aku minta maaf, Riana. Bukan itu yang aku maksud.” Suaranya terdengar lemah, tidak meyakinkan, seperti kata-kata itu hanya keluar begitu saja tanpa makna. “Seharusnya kamu tidak perlu memberi tahu semuanya dengan jelas pada Mama. Karena belum tentu semuanya benar.”Riana t
Maya menghela napas panjang, seperti sedang menimbang sesuatu yang berat sebelum akhirnya menjawab. “Kamu sendiri, kalau ada di posisi itu, bagaimana? Kalau aku sih, mungkin bakal nunggu sampai dia jatuh cinta padaku. Caranya?“Dengan sikap lembut, pelayanan yang baik, dan selalu patuh padanya. Tapi, kalau lebih dari dua atau tiga bulan sifatnya masih seperti itu, mau nggak mau yaa pisah,” ucapnya, suaranya tenang, namun tegas.Riana manggut-manggut perlahan, seolah mencoba mencerna kalimat itu kata demi kata. “Jedanya segitu, ya?” tanyanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Maya mengangguk, tatapannya melembut. “Ya. Banyak kok, cerita yang seperti itu. Dan banyak pula yang akhirnya bersatu karena suaminya sadar. Sadar kalau istrinya jauh lebih baik dari perempuan yang sudah meninggalkannya. Kadang laki-laki itu buta oleh cinta, Riana. Apalagi kalau masih terjebak dalam bayangan masa lalu, teringat mantan yang sudah pergi jauh.“Dia begitu karena belum tahu—belum paham—bahwa
Namun, seolah dunia tak ingin memberinya jeda, suara ponselnya tiba-tiba berdering. Nama “Herman” muncul di layar, membuat Riana sedikit kaku. Maya yang duduk di seberangnya melirik sekilas, alisnya kembali terangkat.“Papa mertua? Mertua siapa tuh? Kok ... fotonya kayak pernah lihat?” tanya Maya dengan nada setengah bercanda, tetapi tatapannya penuh selidik.“Na—nanti aku jelaskan,” ucap Riana, suaranya nyaris seperti bisikan. Panik melintas di matanya. Ia buru-buru berdiri dan menjauh dari meja untuk menjawab panggilan itu.“Halo, Pa?” ucapnya pelan setelah menerima panggilan tersebut.“Kamu di mana, Nak? Bisa ke ruangan Papa? Ada paket dari Satya nih, untuk kamu katanya,” suara Herman di seberang terdengar ramah, namun cukup untuk membuat dada Riana berdebar lebih kencang.Ia tersenyum tipis, matanya sedikit berkaca. ‘Satya?’ pikirnya, sejenak merasakan kehangatan kecil yang telah lama hilang. Dengan tangan menutupi mulutnya, ia mencoba menahan senyum yang mulai meluas.“Saya ke sa
“Besar banget,” ucap Riana sambil memandangi paket besar itu dengan mata yang sedikit melebar. Jemarinya yang lentik perlahan menyentuh permukaan bungkusannya, seolah takut merusak apa yang tersembunyi di dalamnya.Herman tersenyum hangat, sorot matanya lembut, seolah hendak meyakinkan Riana. “Isinya juga pasti banyak. Biasanya Satya kalau sudah kasih hadiah nggak tanggung-tanggung. Semuanya akan diberikan. Semoga kamu suka, Riana.”Riana membalas senyuman itu, meski di hatinya ada campuran rasa haru dan bingung. Dengan hati-hati, ia membuka paket itu. Suara robekan kertas kado terdengar seperti nada sumbang di tengah ruangan yang tenang. Jantungnya berdebar, tak sabar ingin tahu hadiah apa yang kakak iparnya berikan.“Dalam rangka apa, Kak Satya kasih saya hadiah, Pa?” tanyanya sambil melirik Herman dengan penasaran, rasa ingin tahu terlihat jelas di wajahnya.Herman menghela napas panjang, seolah sedang mempersiapkan diri untuk sebuah pengakuan. “Mama kamu, Riana … Dia mengadu pada
“Silakan, Riana. Kamu mau tanya apa?” jawab Herman dengan senyum tenang, jemarinya menyusuri tepian cangkir kopi yang ada di hadapannya. Ia tampak santai, namun ada kilatan rasa ingin tahu di matanya.Riana menghela napas panjang, seperti sedang menyiapkan hatinya untuk sebuah percakapan yang mungkin akan membuka luka atau misteri. “Mereka, Kak Satya dan Mas Fandy … adik-kakak kandung, kan?”Herman tertawa kecil, suara tawanya bergema lembut di ruang yang terasa hangat. “Ya iyalah, Riana. Satya anak pertama kami. Satu bulan setelah kami menikah, Yuni hamil. Sembilan bulan kemudian melahirkan, dan kami beri nama Satya Pramudia. Tiga tahun kemudian, lahirlah Fandy Pramudia, yang sekarang menjadi suamimu. Kenapa kamu tanya itu, heum?”Riana tersenyum kecil, lebih kepada dirinya sendiri. Ia meringis pelan, seolah malu dengan pertanyaan yang ia lontarkan. “Hanya ingin tahu saja, Pa. Dan aneh saja, karena sifat mereka beda.”“Ah, tidak terlalu beda sebenarnya,” Herman menjawab sambil bersan
Waktu sudah menunjuk angka lima sore, saat mentari mulai tenggelam perlahan, meninggalkan langit dengan guratan jingga yang seperti luka tak tersembuhkan.Riana melangkahkan kaki ke dalam rumah, kelelahan setelah delapan jam yang terasa seperti seratus di hotel tempatnya bekerja. Sesaat ia berdiri di depan pintu kamarnya, menarik napas panjang seolah hendak menelan segala penat dunia.Di sana, di sudut yang hening, sebuah paket berbungkus kertas cokelat lembut menanti, kiriman dari Satya.Ia duduk di sofa, tempat Herman dengan rapi menata hadiah-hadiah itu, mencoba mencari kehangatan di tengah dinginnya percakapan-percakapan yang seringkali menyakitkan.Lalu, ting! ponselnya berbunyi, memecah kesunyian dengan ketukan halus yang terasa seperti jentikan takdir.Pesan masuk.Satya:Sudah pulang? Jangan lupa dibaca suratnya, jangan lupa dimakan camilannya, jangan lupa tuliskan semua yang kamu lewati di buku harian yang aku berikan. Jangan lupa pakai pakaian yang aku berikan. Sepatu untukm
Dua hari berlalu...Pagi itu, suasana rumah sedikit lengang. Riana sudah rapi dengan pakaian santainya, tengah menyiapkan diri untuk pergi bersama Maya, sahabatnya. Namun, langkahnya dihentikan oleh pertanyaan Fandy.“Kamu mau ke mana? Bukannya hari ini libur?” tanya Fandy, dengan nada sedikit curiga.“Oh, iya, lupa. Aku kan sudah punya suami. Harusnya minta izin dulu sama suami kalau mau pergi,” jawab Riana, matanya melirik Fandy dengan tatapan menggoda namun penuh sarkasme.Fandy mendengus kesal, seperti orang yang baru saja kalah dalam adu argumen. “Mau ke mana? Supaya nanti kalau Mama dan Papa nanya kamu ada di mana, gampang buat jawabnya,” tanyanya lagi, mencoba terdengar tegas.“Mau hangout sebentar sama Maya. Hari ini kan lagi libur. Kapan lagi bisa refreshing kalau bukan hari ini. Dan, aku sudah minta izin sama Mama dan Papa. Jadi, nggak usah ketakutan kalau nanti mereka nanya di mana aku berada!” jawab Riana, sambil tersenyum tipis, senyum yang membuat Fandy semakin merasa te
Waktu sudah menunjuk angka satu pagi. Riana sudah memasuki bukaan lengkap. Dokter Mery dan juga tiga perawat sudah berada di sana hendak membantu proses persalinan Riana."Tarik napasnya dalam-dalam, lalu keluarkan. Oke! Satu ... dua ... tiga ...."Riana menarik napasnya dan mengeluarkannya kembali. Mengejan dengan sekuat tenaga dengan tangan memegang erat tangan Satya.Lelaki itu benar-benar tak pernah meninggalkan Riana sejak mereka tiba di rumah sakit."Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa," ucap Satya sembari mengusapi kening Riana yang sudah bercucuran keringat."Eeuurrnghhh ...." Dengan sekuat tenaga ia mengejan agar bayinya segera keluar.Riana mengatur napasnya yang sudah tersengal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tubuhnya sudah sangat lemas. Namun, bayinya belum juga ingin keluar dari sana."Ayo, Bu. Tarik lagi, yuk! Tarik napasnya, kemudian keluarkan." Dokter Mery memberikan interupsi lagi kepada Riana.Perempuan itu kembali mengejan. Tangannya sudah semakin erat memegang tang
Sembilan bulan sudah, usia kandungan Riana. Perkiraan Riana akan melahirkan sekitar dua sampai tiga harian lagi."Kamu sudah cuti, Kak?" tanya Riana menghampiri Satya yang baru saja selesai mandi."Iya, Sayang. Waktu lahir Fabian dulu, kamu lahiran lebih cepat dari perkiraan. Aku tidak ingin hal yang dulu terjadi, terjadi lagi untuk saat ini. Aku mau stay di rumah dan menemani kamu."Riana menerbitkan senyumnya. "Manis banget. Suaminya siapa sih, ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan kemudian menggeleng pelan. "Aku anggapnya kamu teman hidupku. Forever."Satya mencubit gemas hidung istrinya itu. "Bisa aja. Mau sarapan apa? Mau aku buatkan lagi?""Boleh. Roti bakar selai strawbery, yaa.""Siap! Tunggu sebentar, yaa. Fabian udah bangun?""Udah. Mulai hari ini kan, Fabian udah sekolah. Lupa?""Oh, iyaa. Aku udah janji ke Fabian akan antar dia ke sekolah hari ini. Astaga! Untung kamu ingetin."Satya segera keluar dari kamarnya dan menghampiri Fabian. Riana yang melihatnya h
Riana mengerucutkan bibirnya. Satya kemudian menarik tangan Riana hingga kini perempuan itu duduk di sampingnya.Bibirnya menyapu bibir mungil perempuan itu dengan lembut. Tangannya melingkar di ceruk leher Riana merasakan sensasi ciuman yang semakin nikmat mereka rasakan.Lelaki itu sudah tidak sabar lagi. Ia lantas membuka celana dan juga kaus yang ia kenakan dan mengambil majalah yang ada di tangan Riana.Meraup bibir Riana lagi dengan ganas seraya meremas dada Riana dengan gemas. Suara desahan dari mulut Riana sudah mulai terdengar. Begitu jelas dan membuat Satya semakin ingin menghujam lebih dalam ciumannya itu.“Mmmpphh …,” desah Riana merasakan ciumannya itu. Lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya dengan tangan satunya membuka tali dress yang ia kenakan.Hingga kini, hanya celana dalam yang ia kenakan. Bagian atasnya sudah tereskpos dan tangan kekar itu kembali meremas gundukan kenyal dan indah milik istrinya itu
Satya menghela napasnya dengan panjang. "Nggak banyak, hanya segilintir saja. Lagian kan, jam tiga nanti baru berangkat. Jadi ini kan, alasan kamu nggak mau ikut karena lagi hamil?"Riana mengangguk. "Iya. Kalau lagi nggak hamil sih, aku pasti ikut. Kapan-kapan aja, yaa. Itu pun kalau nggak malas sih.""Babymoon?""Eum! Boleh deh."Satya kemudian mencium punggung tangan istrinya itu dan menatapnya sekali lagi. Membuat Riana yang melihatnya lantas salah tingkah karena ulah suaminya itu."Udah, aah. Aku mau ke dapur dulu. Mau minum susu hamil.""Biar aku saja. Kamu tunggu di sini, sambil nunggu Fabian bangun." Satya beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke luar untuk membuatkan susu hamil untuk sang istri.Kali ini, ia benar-benar menikmati peran sebagai suami yang harus standby untuk istrinya yang tengah hamil bayinya itu.Lima menit kemudian, Satya masuk lagi ke dalam dan memberikan satu gelas susu hamil kepada sang istri.
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak