“Kamu belum memaafkan aku,” jawab Fandy pelan, seperti embun yang jatuh dari ujung dedaunan. Tatapannya lesu, penuh rasa bersalah yang ia tak mampu sembunyikan.Riana mendengus, matanya berputar ke atas dengan ekspresi jengah. “Kenapa masih membahas itu? Aku sudah memaa—““Tapi tidak ikhlas,” potong Fandy cepat. “Kamu tidak ikhlas memaafkan aku.” Ucapannya sederhana, tapi nadanya seperti percikan api yang menyambar ranting kering.Perempuan itu kemudian melipat tangan di dadanya, berdiri tegak seperti tembok kokoh yang sulit digoyahkan. “Ada sesuatu yang membuat kamu merasa terancam, kalau belum aku maafkan? Yang akan membuat kamu tidak bisa tenang hidupnya?” tantangnya, suaranya rendah tapi penuh sindiran.Fandy menggeleng pelan, seperti angin lembut yang nyaris tak terasa. “Karena memang aku merasa bersalah, dan aku tidak ingin punya musuh dengan siapa pun. Apalagi kamu adalah istriku. Tidak baik kalau bermusuhan dengan istri sendiri.”Jawaban itu, yang terdengar tulus sekaligus men
Ia menghela napas panjang lagi, kali ini terdengar lebih berat, seperti daun yang akhirnya menyerah kepada gravitasi. “Bodo, aahh,” katanya dengan nada setengah tertawa, namun lebih menyerupai ejekan terhadap dirinya sendiri.“Paling juga hanya sebentar. Nanti balik lagi kumatnya. Marah-marah nggak jelas. Aku udah hafal sama kamu, Fandy.”Riana memutar bola matanya, sebuah gerakan kecil tetapi penuh dengan kelelahan yang mendalam. Tubuhnya kemudian ia hempaskan ke atas tempat tidur dengan gerakan yang seperti melodi kesendirian.Kasur menyambutnya dengan kelembutan, seperti pelukan sunyi yang mengerti semua rasa lelah yang ia simpan. Ia menarik selimutnya setengah hati, membiarkan sebagian tubuhnya tetap terpapar udara pagi yang sejuk.Matanya perlahan-lahan tertutup, mencoba meraih ketenangan yang sudah lama hilang. Dalam kesunyian kamarnya, waktu seperti melambat.Suara detak jarum jam terdengar lebih keras, mengiringi napasnya yang semakin dalam. Namun, pikirannya tetap berputar, m
“Heuh? Sampai segitunya, trauma itu? Memangnya tidak bisa diobati sampai segitunya?” tanya Riana, suaranya terdengar seperti desau angin yang membawa serpihan kebingungan dan penasaran sekaligus.Matanya menyipit sedikit, menatap Fandy dengan tatapan yang seperti ingin menguliti setiap rahasia yang tersimpan di balik raut wajahnya.Fandy menghela napas kasar, sebuah tarikan napas panjang yang terasa berat, seperti memikul beban bertahun-tahun di pundaknya. “Kamu tahu, kenapa Papa sering ke luar negeri?” tanyanya, namun lebih seperti pernyataan yang menggantung di udara.“Karena menemani Kak Satya berobat. Satu lagi, Mama tidak tahu hal ini. Jadi, jangan pernah kamu tanyakan hal ini kepada Mama.”Sejenak, hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar detak jam dinding yang mengiringi langkah waktu. Riana mengerutkan kening, tanda bahwa rasa penasaran telah menguasai dirinya.“Ya sudah, kalau begitu kamu kasih tahu aku aja biar aku nggak penasaran.” Nada suaranya terdengar kekeuh, seperti
Jantungnya berdebar seperti drum perang, memukul-mukul tulang rusuknya tanpa ampun. Pemandangan di hadapannya membuatnya terpaku: Mila, sekretaris Fandy, tengah sibuk mengatur makanan di atas meja dengan gerakan yang terlalu lembut untuk sekadar tugas profesional.Mila yang tidak menyadari siapa sebenarnya Riana, menatapnya dengan pandangan dingin yang tajam, seperti belati yang menusuk tanpa ragu.Wanita itu segera melangkah mendekat, posturnya tegak dengan aura otoritas palsu yang mencolok.“Ada apa ke sini? Tidak mengetuk pintu dulu! Punya etika, tidak?” bentaknya dengan suara tinggi yang mengisi ruangan. “Mengganggu saja! Keluar!” Mila menunjuk pintu dengan dramatis, seolah dirinya yang berkuasa.Riana menghela napas panjang, berusaha menahan amarah yang mendidih di dalam dadanya. Matanya mengedar ke sekeliling ruangan, mencari keberadaan Fandy yang entah menghilang ke mana.Namun, kecurigaan mulai merayap ke dalam pikirannya, seperti kabut tebal yang mengaburkan kepercayaan yang b
Tak lama kemudian, Fandy kembali masuk ke ruangan, menyapu pandangannya ke arah Riana yang kini sudah bersandar malas di kursi.Tanpa banyak bicara, ia menggenggam tangannya lagi dan membawanya menuju kamar privasi di dalam ruangan itu.“Selamat makan, Riana. Jangan lupa berdoa dulu,” ucap Fandy sambil tersenyum tipis, menunjuk meja yang sudah penuh dengan makanan.Riana menggaruk rambutnya, kebingungan harus memilih makanan yang mana lebih dulu. Perutnya yang keroncongan akhirnya memaksa tangannya meraih sepotong pizza dengan topping keju yang meleleh sempurna.“Terima kasih, Fandy,” gumamnya pelan sebelum menggigit makanan itu. Rasanya seperti ledakan kecil keju dan saus tomat yang mengalir di lidahnya.Fandy tersenyum, menatap Riana dengan ekspresi lembut yang langka. “Sebagai permintaan maafku. Jangan marah-marah lagi, apalagi berpikiran yang aneh-aneh.”“Heuummm…” Hanya gumaman samar yang keluar dari bibir Riana, lebih sibuk menikmati makanannya daripada menanggapi.Fandy menggele
Fandy tak menjawab. Ia tengah menikmati kulit sintal yang sedari tadi ia ciumi itu. Agar Riana bisa segera mengakhiri panas yang dia alami akibat obat perangsang tersebut.Ia kemudian merayap, menyusuri setiap inci tubuh Riana. Menggerayangi tubuh perempuan itu dengan puas. Menciumi kulit putih dengan leluasa.Kemudian ciumannya turun ke bawah, meningalkan jejaknya di dada perempuan itu kemudian menyesap satu persatu pucuk merah muda yang selalu menjadi candu Fandy.“Euughh ….” Spontan Riana membusungkan dadanya karena permainan yang dimainkan oleh lekaki itu kepadanya.“Fandy!” raung Riana kemudian menjambak rambut lelaki itu karena isapan Fandy yang sangat mematikan.Tidak pernah ia dapatkan perlakuan lembut dan nikmat ini selama menjadi istri Fandy. Baru di malam itu dia mendapatkannya.“Enjoy, Riana. Aku akan segera mengeluarkan puncak kamu. Setelah itu, semuanya pasti akan selesai. Tubuhmu tidak akan terasa panas lagi,” ucap Fandy kemudian melorotkan dirinya di bawah sana.Mulutny
Fandy menghela napas berat. "Aku tidak pernah melakukan itu, Riana. Aku akan interogasi Mila karena sudah memasukan obat itu ke dalam minumanku. Kamu jangan khawatir, kalau kamu mau ... aku akan memecatnya."Riana mengendikan bahunya. "Kalau menurut kamu dia adalah boomerang, silakan saja. Tapi, bukankah ada perempuan yang jauh lebih berbahaya dari Mila? Yang hingga saat ini mungkin masih bersarang di hati kamu?"Fandy berdecak pelan. "Setelah apa yang sudah aku lakukan padaku, kamu malah membahas hal itu. Bisa, untuk jangan membahas dia?" ucapnya dengan nada kesal.Riana mengerutkan keningnya. 'Kenapa dia malah marah-marah? Apakah dia memang sedang ingin melupakan Citra? Atau ... takut dipecat jadi anak oleh Mama Yuni?'Riana menghela napas kasar. "Terima kasih, sudah membantuku menghilangkan suhu panas di tubuhku, Fandy. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku sudah mati konyol," ucapnya mengalihkan pembahasan.Fandy menghela napas pelan. "Sama-sama. Maafkan aku juga, karena sudah membu
“Kamu tahu kan, risiko apa yang akan kamu terima setelah kejadian ini?” tanyanya seraya menatap Mila yang sedari tadi menunduk, tak kuasa melihat Fandy lantaran takut.“Sekali lagi saya minta maaf dan saya akan menerima konsekuensinya, Pak,” ucapnya pasrah.Fandy kemudian menghubungi seseorang agar masuk ke dalam ruangannya. “Ditunggu sekarang juga!” Ia kemudian duduk di kursi pimpinannya sembari membuka laptopnya. “Karena kemauan istri saya, kamu tidak akan saya pecat. Tapi, dia tidak ingin kejadian ini terulang kembali. Untuk itu, kamu saya pindahkan ke devisi umum di lantai bawah. Jadi sekretari Bu Sinta.”Fandy memindahkan Mila ke devisi umum sebab tidak ingin kejadian kemarin terulang kembali. Bukan hanya karena tidak ingin menyentuh perempuan itu. Tetapi ia juga takut Riana mengadu kepada mamanya yang mana ia akan mendapat cacian lagi dari mamanya itu.“Ya?” Rafa—seorang sekretaris pribadi Sinta yang tak lain adalah sahabatnya juga. Datang menghampiri Fandy kemudian menatap Mila
Waktu sudah menunjuk angka satu pagi. Riana sudah memasuki bukaan lengkap. Dokter Mery dan juga tiga perawat sudah berada di sana hendak membantu proses persalinan Riana."Tarik napasnya dalam-dalam, lalu keluarkan. Oke! Satu ... dua ... tiga ...."Riana menarik napasnya dan mengeluarkannya kembali. Mengejan dengan sekuat tenaga dengan tangan memegang erat tangan Satya.Lelaki itu benar-benar tak pernah meninggalkan Riana sejak mereka tiba di rumah sakit."Ayo, Sayang. Kamu pasti bisa," ucap Satya sembari mengusapi kening Riana yang sudah bercucuran keringat."Eeuurrnghhh ...." Dengan sekuat tenaga ia mengejan agar bayinya segera keluar.Riana mengatur napasnya yang sudah tersengal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tubuhnya sudah sangat lemas. Namun, bayinya belum juga ingin keluar dari sana."Ayo, Bu. Tarik lagi, yuk! Tarik napasnya, kemudian keluarkan." Dokter Mery memberikan interupsi lagi kepada Riana.Perempuan itu kembali mengejan. Tangannya sudah semakin erat memegang tang
Sembilan bulan sudah, usia kandungan Riana. Perkiraan Riana akan melahirkan sekitar dua sampai tiga harian lagi."Kamu sudah cuti, Kak?" tanya Riana menghampiri Satya yang baru saja selesai mandi."Iya, Sayang. Waktu lahir Fabian dulu, kamu lahiran lebih cepat dari perkiraan. Aku tidak ingin hal yang dulu terjadi, terjadi lagi untuk saat ini. Aku mau stay di rumah dan menemani kamu."Riana menerbitkan senyumnya. "Manis banget. Suaminya siapa sih, ini?""Kamu nggak ngakuin aku?"Riana terkekeh pelan kemudian menggeleng pelan. "Aku anggapnya kamu teman hidupku. Forever."Satya mencubit gemas hidung istrinya itu. "Bisa aja. Mau sarapan apa? Mau aku buatkan lagi?""Boleh. Roti bakar selai strawbery, yaa.""Siap! Tunggu sebentar, yaa. Fabian udah bangun?""Udah. Mulai hari ini kan, Fabian udah sekolah. Lupa?""Oh, iyaa. Aku udah janji ke Fabian akan antar dia ke sekolah hari ini. Astaga! Untung kamu ingetin."Satya segera keluar dari kamarnya dan menghampiri Fabian. Riana yang melihatnya h
Riana mengerucutkan bibirnya. Satya kemudian menarik tangan Riana hingga kini perempuan itu duduk di sampingnya.Bibirnya menyapu bibir mungil perempuan itu dengan lembut. Tangannya melingkar di ceruk leher Riana merasakan sensasi ciuman yang semakin nikmat mereka rasakan.Lelaki itu sudah tidak sabar lagi. Ia lantas membuka celana dan juga kaus yang ia kenakan dan mengambil majalah yang ada di tangan Riana.Meraup bibir Riana lagi dengan ganas seraya meremas dada Riana dengan gemas. Suara desahan dari mulut Riana sudah mulai terdengar. Begitu jelas dan membuat Satya semakin ingin menghujam lebih dalam ciumannya itu.“Mmmpphh …,” desah Riana merasakan ciumannya itu. Lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya dengan tangan satunya membuka tali dress yang ia kenakan.Hingga kini, hanya celana dalam yang ia kenakan. Bagian atasnya sudah tereskpos dan tangan kekar itu kembali meremas gundukan kenyal dan indah milik istrinya itu
Satya menghela napasnya dengan panjang. "Nggak banyak, hanya segilintir saja. Lagian kan, jam tiga nanti baru berangkat. Jadi ini kan, alasan kamu nggak mau ikut karena lagi hamil?"Riana mengangguk. "Iya. Kalau lagi nggak hamil sih, aku pasti ikut. Kapan-kapan aja, yaa. Itu pun kalau nggak malas sih.""Babymoon?""Eum! Boleh deh."Satya kemudian mencium punggung tangan istrinya itu dan menatapnya sekali lagi. Membuat Riana yang melihatnya lantas salah tingkah karena ulah suaminya itu."Udah, aah. Aku mau ke dapur dulu. Mau minum susu hamil.""Biar aku saja. Kamu tunggu di sini, sambil nunggu Fabian bangun." Satya beranjak dari duduknya dan berlari kecil ke luar untuk membuatkan susu hamil untuk sang istri.Kali ini, ia benar-benar menikmati peran sebagai suami yang harus standby untuk istrinya yang tengah hamil bayinya itu.Lima menit kemudian, Satya masuk lagi ke dalam dan memberikan satu gelas susu hamil kepada sang istri.
Riana menerbitkan senyumnya lalu melingkarkan tangannya di ceruk leher Satya yang kemudian mengecup singkat bibir lelaki itu."Terima kasih, sudah mau bertahan demi aku. Kalau nggak ada kamu, entah apa yang akan terjadi pada hidupku dan juga Fabian. Mungkin akan sengsara selamanya."Satya menghela napasnya dengan panjang dan menatap wajah Riana dengan lekat. "Jika aku tidak ada, mungkin akan ada pria lain yang akan buat kamu bahagia. Dan sepertinya aku tidak terima."Riana mengerucutkan bibirnya. "Alasan kamu nggak mau pulang ke Indonesia itu karena kamu tidak yakin akan sembuh?" tanyanya ingin tahu.Satya menggeleng pelan. "Karena aku tidak ingin melihat air mata Mama dan Papa yang terus meratapi kesedihan akan kondisiku. Itulah kenapa Mama sangat menyayangi kamu. Karena kamu sudah menyelamatkan hidup anak sulungnya."Riana mengulas senyumnya kepada suaminya itu. "Begitu rupanya. Aku bersyukur punya Mama dan Papa yang care dan sayang sama aku, Kak
Riana menganggukkan kepalanya dan menerbitkan senyum kepadanya. "Semangat."Tak lama kemudian, Satya pun datang menghampiri istrinya itu. Ia lalu menyapa Deasy yang tengah duduk di samping istrinya."Kenalin, ini suami saya. Namanya Satya.""Deasy." Perempuan itu memperkenalkan dirinya kepada Satya."Satya." Ia hanya tersenyum kepada perempuan itu tanpa menjabat tangannya."Suami saya pernah memiliki penyakit aneh. Dia tidak berani menyentuh perempuan mana pun kecuali mamanya. Dan sampai sekarang, dia masih belum berani menyentuh perempuan lain selain saya dan mamanya."Riana menjelaskan kepada Deasy tentang Satya yang menolak jabatan tangannya.Deasy akhirnya paham kemudian mengulas senyumnya. "Memang ada, penyakit seperti itu dan sangat langka."Riana mengangguk. "Iya. Dan suami saya merupakan salah satunya yang mengalami penyakit itu."Deasy mengangguk. Ia kemudian pamit kepada Riana sebentar untuk mengambil ponselnya
Satya menarik tangan Riana dan memeluknya lagi. Angin yang bertiup cukup kencang dengan terik matahari yang menyinari bumi, keduanya berpijak di sana menikmati keindahan alam.Malam harinya, Riana dan Satya memilih untuk dinner di sebuah restoran yang ada di dalam hotel miliknya.Baru pertama kali buka, pengunjung hotel sudah sebanyak hampir tiga puluh persen. Banyak yang menyukai desain dan interiornya. Juga pelayanan yang ramah, seperti hotel di Jakarta."Kak. Aku baru tahu kalau kamu punya banyak teman ternyata. Aku pikir kamu ini introvert," ucap Riana sembari melahap makanan miliknya.Satya terkekeh pelan. "Bisa-bisanya kamu mikir kalau aku seorang introvert. Aku menutup diri hanya sejak mengalami penyakit itu saja. Sebenarnya aku tidak seperti itu."Riana manggut-manggut dengan pelan kemudian menerbitkan senyumnya kepada suaminya itu."Sekarang udah berani buat terbuka lagi?"Satya mengendikan bahunya. "Aku sudah menikah, sudah
Riana mengulas senyum dan mengangguk kecil. "Sama-sama. Makin ke sini kamu makin menggila, Kak."Satya terkekeh pelan. "Malu, sama badan kekar tapi payah dalam melakukan itu."Riana mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan suaminya itu. Ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur.Pun dengan Satya. Lelaki itu juga masuk ke dalam kamar mandi dan mengenakan celana boxer miliknya."Kamu yakin, hanya ingin satu bulan saja di sini? Memangnya cukup?" tanya Satya kepada Riana yang tengah membasuh wajahnya.Riana menoleh dan menatap suaminya itu. "Kenapa emang? Mau nambah hari?""Terserah kamu sih."Riana menghela napasnya. "Nggak deh, Kak. Di sini hanya cabang, kan? Kamu nggak harus nuruti semua yang aku inginkan, Kak. Karena kamu pun pasti punya keinginan."Satya kembali mengecup kening Riana. "I love you," ucapnya kemudian keluar dari kamar mandi tanpa be
Riana tampak begitu bahagia bahkan menganggukkan kepalanya sangat antusias. "Yeaayy! Liburan ke Bali.""Belum pernah, hm?" tanyanya sembari mengusapi sisian wajah Riana dengan lembut.Riana menggeleng pelan. "Belum. Karena nggak ada yang ngajakin."Satya manggut-manggut dengan pelan. "Mau satu bulan, di sana?""Woah! Lama juga. Boleh. Itu pun kalau kamu nggak keberatan.""No, Honey. Kapan, aku keberatan nurutin permintaan kamu? Gendong kamu aja nggak berat."Riana lantas mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan dari suaminya itu. "Nggak gitu maksudnya, Kak Satya."Lelaki itu lantas tertawa dengan pelan. "Canda, Sayang. Kamu boleh tinggal di sana sepuas kamu. Karena aku juga masih harus cek kondisi hotel dan semua karyawan juga pemimpin di sana.""Sekalian kerja juga, yaa. Bukan beneran mau liburan sama bininya," ucapnya kemudian menyunggingkan bibirnya.Melihat itu, sontak membuat Satya mencium gemas pipi istrinya. "Nggak