All Chapters of Identitas Tersembunyi Suami Cacat: Chapter 81 - Chapter 90

114 Chapters

81. Hampa

Mendengar pertanyaan itu, Raina menggeleng cepat, namun tetap tidak membuka mulut.“Kalau kamu mau, kamu bisa menginap di salah satu apartemenku. Guntur tahu tempatnya, dia akan-”“Aku butuh waktu sendiri, Mas.” Pada akhirnya Raina membuka mulut untuk menolak tawaran Tama.Sebenarnya, wanita itu belum tahu akan pergi ke mana. Namun ketika maniknya kembali menangkap perban yang masih melilit di wajah serta telapak tangan sang kakak, ia merasa enggan untuk menyeret pria itu lebih dalam. Rasa bersalah selalu menyelimutinya.Sudah cukup ia membuat Tama repot. Memintanya untuk mencari informasi, yang akhirnya melibatkan pria itu pada perkelahian demi perkelahian. Raina tidak ingin kakaknya kembali jatuh dalam marabahaya. Ia takut, kali berikutnya, Tama tidak bisa pulang dengan selamat.Manik cokelat sang kakak menatapnya dalam-dalam. Mempelajari ekspresi adiknya. Alisnya berkerut, bibirnya terbuka sedikit, seperti ingin membantah.Namun akhirnya, dia mengangguk, perlahan melepaskan genggama
last updateLast Updated : 2024-11-10
Read more

82. Nanti Kita Cerita Di Rumah

Hujan turun semakin deras, mengisi udara malam dengan bunyi ritmis yang nyaris menenggelamkan suara-suara lain. Raina berdiri di pinggir trotoar, pakaiannya mulai basah oleh gerimis yang menembus blazer tipis. Kekeh getir terlepas dari bibir wanita itu. “Bahkan langit aja tahu perasaanku saat ini,” bisiknya pelan. Jalanan gelap, hanya diterangi oleh lampu-lampu jalan yang memancarkan bias kekuningan. Menciptakan bayangan panjang yang menggeliat seperti makhluk hidup. Sebuah sedan mewah berwarna hitam tiba-tiba berhenti di hadapan wanita itu. Genangan air memercik dari ban mobil, menampar pergelangan kakinya, dingin dan menusuk. Pun begitu, Raina belum bergerak. Maniknya terpaku pada pintu mobil yang terbuka dengan cepat. Seorang pria paruh baya keluar, wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran. “R
last updateLast Updated : 2024-11-11
Read more

83. Tidak. Ini Tidak Mungkin

“Non Raina, dipanggil Tuan Bram ke ruang kerjanya,” ujar seorang asisten rumah tangga dari balik pintu kamar. Suaranya rendah dan penuh hormat, nyaris tertelan oleh keheningan di dalam rumah. Raina menoleh, raut wajahnya yang semula tegang berubah menjadi tenang. “Aku segera ke sana,” balasnya. Sebelum melangkah pergi, ia meraih amplop cokelat yang tersimpan di dalam tas laptopnya. Jemarinya merasakan tekstur pembungkus yang kasar. Derap kaki wanita itu menggema di sepanjang lorong sepi. Udara malam yang menusuk tidak mampu mengusir aroma khas rumah itu—campuran kayu jati tua dan wangi mawar yang diatur dalam vas-vas porselen di sudut-sudut ruangan. Kediaman utama ini, yang dihuni Kakek serta keluarga Papa, berdiri megah dengan segala kemewahan yang menyelimutinya. Namun, area pribadi sang Kakek berada d
last updateLast Updated : 2024-11-11
Read more

84. Kenapa?!

Diam dari sang ayah mengukuhkan kebenaran pahit yang baru saja Raina utarakan.Wajah sang anak memucat, ia mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali. Seakan berusaha mencerna kenyataan yang terlalu sulit diterima. Perasaan bercampur baur—amarah, kecewa, dan kesedihan—bergejolak dalam dada, memenuhi paru-parunya dengan udara yang sesak dan berat.“Jadi selama ini Papa diam saja?!” sergahnya. Suara Raina meninggi, menggema di ruang kerja yang sebelumnya hening. “Kenapa Papa nggak melakukan apa pun? Harusnya Papa menuntut Tante Ambar! Dia itu pembunuh, Pa! Dia harus dipenjara!”Papa tampak tertegun sesaat. “Jangan seperti itu, Ray. Dia Mamamu,” ucapnya dengan nada tidak enak, seolah berharap kata-kata itu dapat menghentikan kemurkaan putrinya.Alih-alih melunak, sang anak semakin berang mendengar kalimat pembelaan pria itu. Tubuhnya menegang, rahangnya mengeras. “Bukan!” balasnya dengan ketus, seolah menolak gagasan itu mentah-mentah. “Dia itu pembunuh!”Rasa sakit di pundaknya yang belum
last updateLast Updated : 2024-11-26
Read more

85. Kamu Sudah Tahu Semua

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Raina, entah pada siapa.Pikiran wanita itu dipenuhi oleh pertanyaan yang tak berjawab, benaknya terasa penuh oleh pikiran-pikiran ruwet yang tak bisa ia uraikan. Dalam kelelahan yang menyiksa, Raina akhirnya terlelap, tangisnya mereda bersama dengan detak jantungnya yang perlahan kembali tenang.Esok paginya, suara ketukan ragu-ragu di pintu membangunakn wanita itu. Raina membuka mata dengan gerakan lambat, merasakan nyeri di kepala dan mata yang bengkak akibat menangis semalaman.“Non, ada tamu yang ingin bertemu,” suara salah satu asisten rumah tangga terdengar dari balik pintu, nadanya ragu-ragu.Dengan gerak lambat, perlahan Raina berusaha bangkit, tubuhnya terasa berat. Matanya menangkap bayangan dirinya di cermin—wajah yang kusut, mata bengkak, rambut acak-acakan, dan bibir yang kering. Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja kalah dalam pertempuran panjang.Pandangannya beralih ke arah jam di atas meja belajar. Pukul 05.27.‘Sia
last updateLast Updated : 2024-11-26
Read more

86. Kepalsuan

“Kenapa, Mas?” suara Raina bergetar, lebih lirih namun penuh luka yang tertahan.Kata-kata itu meluncur sebagai kesempatan terakhir bagi suaminya untuk menjelaskan. Untuk mengungkap kebenaran yang selama ini ia tutupi dengan begitu rapat.Namun Jovian hanya berdiri diam, tak mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan ia tidak menatap Raina, pandangannya terarah pada rumpun lili lembah berwarna putih.Sang istri merasa amarah menyelinap, bercampur dengan kecewa yang membanjiri dada. Ironisnya, ia merasa akan lebih baik jika pria itu membantah, mencoba membujuknya dengan kata-kata lembut atau pelukan hangat, seperti yang biasa Jovian lakukan untuk meluluhkan hatinya. Tapi kali ini, yang wanita itu dapatkan hanya kebisuan menyakitkan.“Katakan sesuatu!” jeritnya, suaranya menggema di dinding-dinding kaca rumah kecil itu. “Katakan kalau ini semua hanya kesalahan! Kenapa kamu tidak menyangkalnya?! Tega sekali kamu melakukan itu, Mas?! Kenapa?!”Dada Raina kembali sesak, seperti dihimpit oleh beba
last updateLast Updated : 2024-11-27
Read more

87. Sandiwara

“Ada mata-mata di kantor, Ray.”Kata-kata Tama tempo hari terngiang kembali di telinga Raina. Tubuhnya langsung menegang. Dari sudut tangga darurat, ia melihat Jainitra sedang berbicara di telepon, wajahnya terlihat serius dan penuh kehati-hatian.Wanita itu membekap mulutnya, menahan napas agar sang asisten tidak menyadari kehadirannya. Dengan langkah perlahan, ia mundur, mencoba menjauh tanpa membuat suara sedikit pun.Setelah berhasil kembali ke ruangannya, Raina segera meraih tasnya, dengan tangan gemetar. Ia keluar dari kantor secepat mungkin, melangkah dengan kepala yang serasa berputar-putar. Setiap langkah terasa berat, seolah kakinya tertarik ke bawah oleh beban yang tak terlihat.Begitu masuk ke dalam mobil, ia mengisyaratkan pada supir untuk segera menyalakan kendaraan. “Ke rumah, Pak,” ucapnya dengan suara pelan.“Baik, Non,” jawab Pak Darto, supir keluarga yang sudah lama mengabdi, dengan nada patuh.Sepanjang perjalanan, otak Raina berkecamuk.‘Tidak mungkin.’ Jainitra te
last updateLast Updated : 2024-11-27
Read more

88. Mimpi Buruk Tak Berkesudahan

“Sepertinya, ada alasan lain kenapa Jovian menikahimu,” suara Tama terdengar rendah, nyaris seperti bisikan di tengah keheningan. Raina terdiam, tangan yang memegang ponsel terasa dingin. “A-apa maksudmu, Mas?” bisiknya dengan gugup. “Anak buahku mendengar desas-desus tentang Sindikat Sinara,” Sang kakak melanjutkan, suaranya terdengar semakin dalam, seolah menggema langsung di dalam kepala Raina. “Organisasi itu tidak hanya sekadar mengelola informasi. Mereka mengincar grup-grup besar, mendekati target mereka dan membuatnya percaya, mengorek semua rahasia yang dibutuhkan. Dan ketika waktunya tiba… mereka menghancurkan target tanpa ampun.” Tenggorak sang adik tercekat. Seperti ada batu besar yang menyangkut di sana. Matanya membelalak kosong ke arah dinding kamarnya, tapi pikirannya bising, mencoba mencerna semua yang baru saja didengar. 
last updateLast Updated : 2024-11-29
Read more

89. Pesta Pembukaan Hotel

“Selamat atas pembukaan hotel Sakala cabang baru, Bu Vanya, Bu Raina! Saya tidak sabar melihat bagaimana hotel ini berkembang ke depannya,” sahut seorang pria berjas biru tua, sambil menjabat tangan Raina dan Vanya secara bergantian. Senyumnya ramah, namun sorot matanya penuh harapan pada kesuksesan investasi barunya. Akhirnya, pesta pembukaan Hotel Sakala yang ditunggu-tunggu telah tiba. Dengan senyum tipis, Raina membalas ucapan sang investor. “Kami sangat menghargai kehadiran Anda di acara ini, Pak. Semoga malam ini menjadi malam menyenangkan dan penuh makna bagi kita semua,” ucapnya sopan, berusaha tetap tenang di tengah perasaan yang berkecamuk. Di sampingnya, Papa berdiri berdampingan dengan Ambar. Setiap kali Raina mencuri pandang ke arah mereka, hatinya menggelegak, namun mati-matian ia menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang menco
last updateLast Updated : 2024-11-29
Read more

90. Senyum itu…

“Selamat atas pembukaan hotel barunya.” Suara yang menyapa telinganya bukanlah nada bariton khas Jovian. Raina menelan pahit di ujung lidah. Pikirannya telah sadar sepenuhnya bahwa pria itu adalah sosok berbahaya—seseorang yang tak seharusnya ia dambakan. Namun hatinya masih saja merindukan bayangan suaminya. “Terima kasih, Aji,” ucapnya, mencoba menguasai diri saat menerima uluran tangan dari pria di depannya. CEO TechNova itu menatap wanita itu dengan mata yang tajam, senyum tipis terpatri di bibirnya, tampak memancarkan ketenangan. “Omong-omong,” manik Aji melirik ke samping, seolah mencari-cari sosok lain. “Di mana suamimu?” Mendengar pertanyaan itu, sang wanita mendengus kecil, nyaris tak terdengar. Meski Jovian tak melakukan sesuatu seca
last updateLast Updated : 2024-12-02
Read more
PREV
1
...
789101112
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status