Hujan turun semakin deras, mengisi udara malam dengan bunyi ritmis yang nyaris menenggelamkan suara-suara lain. Raina berdiri di pinggir trotoar, pakaiannya mulai basah oleh gerimis yang menembus blazer tipis.
Kekeh getir terlepas dari bibir wanita itu. “Bahkan langit aja tahu perasaanku saat ini,” bisiknya pelan.
Jalanan gelap, hanya diterangi oleh lampu-lampu jalan yang memancarkan bias kekuningan. Menciptakan bayangan panjang yang menggeliat seperti makhluk hidup.
Sebuah sedan mewah berwarna hitam tiba-tiba berhenti di hadapan wanita itu. Genangan air memercik dari ban mobil, menampar pergelangan kakinya, dingin dan menusuk.
Pun begitu, Raina belum bergerak. Maniknya terpaku pada pintu mobil yang terbuka dengan cepat. Seorang pria paruh baya keluar, wajahnya jelas menunjukkan kekhawatiran.
“R
“Non Raina, dipanggil Tuan Bram ke ruang kerjanya,” ujar seorang asisten rumah tangga dari balik pintu kamar. Suaranya rendah dan penuh hormat, nyaris tertelan oleh keheningan di dalam rumah.Raina menoleh, raut wajahnya yang semula tegang berubah menjadi tenang. “Aku segera ke sana,” balasnya.Sebelum melangkah pergi, ia meraih amplop cokelat yang tersimpan di dalam tas laptopnya. Jemarinya merasakan tekstur pembungkus yang kasar.Derap kaki wanita itu menggema di sepanjang lorong sepi. Udara malam yang menusuk tidak mampu mengusir aroma khas rumah itu—campuran kayu jati tua dan wangi mawar yang diatur dalam vas-vas porselen di sudut-sudut ruangan.Kediaman utama ini, yang dihuni Kakek serta keluarga Papa, berdiri megah dengan segala kemewahan yang menyelimutinya. Namun, area pribadi sang Kakek berada d
Diam dari sang ayah mengukuhkan kebenaran pahit yang baru saja Raina utarakan.Wajah sang anak memucat, ia mengerjap-kerjapkan matanya beberapa kali. Seakan berusaha mencerna kenyataan yang terlalu sulit diterima. Perasaan bercampur baur—amarah, kecewa, dan kesedihan—bergejolak dalam dada, memenuhi paru-parunya dengan udara yang sesak dan berat.“Jadi selama ini Papa diam saja?!” sergahnya. Suara Raina meninggi, menggema di ruang kerja yang sebelumnya hening. “Kenapa Papa nggak melakukan apa pun? Harusnya Papa menuntut Tante Ambar! Dia itu pembunuh, Pa! Dia harus dipenjara!”Papa tampak tertegun sesaat. “Jangan seperti itu, Ray. Dia Mamamu,” ucapnya dengan nada tidak enak, seolah berharap kata-kata itu dapat menghentikan kemurkaan putrinya.Alih-alih melunak, sang anak semakin berang mendengar kalimat pembelaan pria itu. Tubuhnya menegang, rahangnya mengeras. “Bukan!” balasnya dengan ketus, seolah menolak gagasan itu mentah-mentah. “Dia itu pembunuh!”Rasa sakit di pundaknya yang belum
“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Raina, entah pada siapa.Pikiran wanita itu dipenuhi oleh pertanyaan yang tak berjawab, benaknya terasa penuh oleh pikiran-pikiran ruwet yang tak bisa ia uraikan. Dalam kelelahan yang menyiksa, Raina akhirnya terlelap, tangisnya mereda bersama dengan detak jantungnya yang perlahan kembali tenang.Esok paginya, suara ketukan ragu-ragu di pintu membangunakn wanita itu. Raina membuka mata dengan gerakan lambat, merasakan nyeri di kepala dan mata yang bengkak akibat menangis semalaman.“Non, ada tamu yang ingin bertemu,” suara salah satu asisten rumah tangga terdengar dari balik pintu, nadanya ragu-ragu.Dengan gerak lambat, perlahan Raina berusaha bangkit, tubuhnya terasa berat. Matanya menangkap bayangan dirinya di cermin—wajah yang kusut, mata bengkak, rambut acak-acakan, dan bibir yang kering. Ia terlihat seperti seseorang yang baru saja kalah dalam pertempuran panjang.Pandangannya beralih ke arah jam di atas meja belajar. Pukul 05.27.‘Sia
“Kenapa, Mas?” suara Raina bergetar, lebih lirih namun penuh luka yang tertahan.Kata-kata itu meluncur sebagai kesempatan terakhir bagi suaminya untuk menjelaskan. Untuk mengungkap kebenaran yang selama ini ia tutupi dengan begitu rapat.Namun Jovian hanya berdiri diam, tak mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan ia tidak menatap Raina, pandangannya terarah pada rumpun lili lembah berwarna putih.Sang istri merasa amarah menyelinap, bercampur dengan kecewa yang membanjiri dada. Ironisnya, ia merasa akan lebih baik jika pria itu membantah, mencoba membujuknya dengan kata-kata lembut atau pelukan hangat, seperti yang biasa Jovian lakukan untuk meluluhkan hatinya. Tapi kali ini, yang wanita itu dapatkan hanya kebisuan menyakitkan.“Katakan sesuatu!” jeritnya, suaranya menggema di dinding-dinding kaca rumah kecil itu. “Katakan kalau ini semua hanya kesalahan! Kenapa kamu tidak menyangkalnya?! Tega sekali kamu melakukan itu, Mas?! Kenapa?!”Dada Raina kembali sesak, seperti dihimpit oleh beba
“Ada mata-mata di kantor, Ray.”Kata-kata Tama tempo hari terngiang kembali di telinga Raina. Tubuhnya langsung menegang. Dari sudut tangga darurat, ia melihat Jainitra sedang berbicara di telepon, wajahnya terlihat serius dan penuh kehati-hatian.Wanita itu membekap mulutnya, menahan napas agar sang asisten tidak menyadari kehadirannya. Dengan langkah perlahan, ia mundur, mencoba menjauh tanpa membuat suara sedikit pun.Setelah berhasil kembali ke ruangannya, Raina segera meraih tasnya, dengan tangan gemetar. Ia keluar dari kantor secepat mungkin, melangkah dengan kepala yang serasa berputar-putar. Setiap langkah terasa berat, seolah kakinya tertarik ke bawah oleh beban yang tak terlihat.Begitu masuk ke dalam mobil, ia mengisyaratkan pada supir untuk segera menyalakan kendaraan. “Ke rumah, Pak,” ucapnya dengan suara pelan.“Baik, Non,” jawab Pak Darto, supir keluarga yang sudah lama mengabdi, dengan nada patuh.Sepanjang perjalanan, otak Raina berkecamuk.‘Tidak mungkin.’ Jainitra te
“Sepertinya, ada alasan lain kenapa Jovian menikahimu,” suara Tama terdengar rendah, nyaris seperti bisikan di tengah keheningan.Raina terdiam, tangan yang memegang ponsel terasa dingin. “A-apa maksudmu, Mas?” bisiknya dengan gugup.“Anak buahku mendengar desas-desus tentang Sindikat Sinara,” Sang kakak melanjutkan, suaranya terdengar semakin dalam, seolah menggema langsung di dalam kepala Raina. “Organisasi itu tidak hanya sekadar mengelola informasi. Mereka mengincar grup-grup besar, mendekati target mereka dan membuatnya percaya, mengorek semua rahasia yang dibutuhkan. Dan ketika waktunya tiba… mereka menghancurkan target tanpa ampun.”Tenggorak sang adik tercekat. Seperti ada batu besar yang menyangkut di sana. Matanya membelalak kosong ke arah dinding kamarnya, tapi pikirannya bising, mencoba mencerna semua yang baru saja didengar.
“Selamat atas pembukaan hotel Sakala cabang baru, Bu Vanya, Bu Raina! Saya tidak sabar melihat bagaimana hotel ini berkembang ke depannya,” sahut seorang pria berjas biru tua, sambil menjabat tangan Raina dan Vanya secara bergantian. Senyumnya ramah, namun sorot matanya penuh harapan pada kesuksesan investasi barunya.Akhirnya, pesta pembukaan Hotel Sakala yang ditunggu-tunggu telah tiba.Dengan senyum tipis, Raina membalas ucapan sang investor. “Kami sangat menghargai kehadiran Anda di acara ini, Pak. Semoga malam ini menjadi malam menyenangkan dan penuh makna bagi kita semua,” ucapnya sopan, berusaha tetap tenang di tengah perasaan yang berkecamuk.Di sampingnya, Papa berdiri berdampingan dengan Ambar. Setiap kali Raina mencuri pandang ke arah mereka, hatinya menggelegak, namun mati-matian ia menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang menco
“Selamat atas pembukaan hotel barunya.”Suara yang menyapa telinganya bukanlah nada bariton khas Jovian.Raina menelan pahit di ujung lidah. Pikirannya telah sadar sepenuhnya bahwa pria itu adalah sosok berbahaya—seseorang yang tak seharusnya ia dambakan. Namun hatinya masih saja merindukan bayangan suaminya.“Terima kasih, Aji,” ucapnya, mencoba menguasai diri saat menerima uluran tangan dari pria di depannya.CEO TechNova itu menatap wanita itu dengan mata yang tajam, senyum tipis terpatri di bibirnya, tampak memancarkan ketenangan. “Omong-omong,” manik Aji melirik ke samping, seolah mencari-cari sosok lain. “Di mana suamimu?”Mendengar pertanyaan itu, sang wanita mendengus kecil, nyaris tak terdengar. Meski Jovian tak melakukan sesuatu seca
Semenjak malam-malam kelam dipenuhi oleh rasa bersalah yang menghantui pikirannya, Jovian mulai mempertimbangkan untuk menghentikan rencana balas dendamnya.Namun, perasaan itu menghimpit seperti kabut tebal—tak memberi ruang untuk napas. Tidak tenang, itu pasti. Tapi, bahkan jika ia ingin berhenti sekarang, apakah itu mungkin?Pria itu sudah kadung basah. Rencana ini bukan lagi sekadar tentang dirinya. Terlalu banyak yang ia seret ke dalam jalan gelap ini.“Kita tidak bisa tiba-tiba menghentikan rencana ini!” Suara serak seorang pria bertopi hitam memecah udara di ruang kecil itu. Matanya membelalak penuh amarah, tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya terlihat menonjol.“Kamu yang membujuk kami untuk melakukan ini, Jovian!” timpal seorang wanita paruh baya, wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar,
Kegelapan mengepung Jovian.Sejauh apa pun pria itu melangkah, hanya ada bayang-bayang hitam pekat yang mengikuti. Tak ada arah. Tak ada ujung. Hanya ketiadaan yang menyesakkan.Maniknya bergerak panik, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa membantunya keluar dari kehampaan ini.Hingga akhirnya ia menangkap seberkas cahaya redup di kejauhan. Seperti lilin kecil yang berusaha bertahan di tengah badai. Dengan napas terengah, Jovian tertatih menghampirinya. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya.Terkesiap, ia menoleh. Di sana, sosok sang ayah, Haris, duduk bersimpuh di atas tanah yang retak dan kering. Jemari kurus pria itu mencengkeram celana Jovian dengan erat, seperti seseorang yang tengah tenggelam memohon pertolongan. Mata lelaki itu sayu, tapi penuh dengan harapan yang menyakitk
“Sial!”Jovian menggebrak meja kayu di depannya, membuat tumpukan kertas serta kotak alat tulis di atasnya bergetar, nyaris terjatuh. Napasnya memburu, dada naik turun seolah tak mampu menahan luapan emosi yang bergolak di dalam diri. Pikirannya terus berputar, mengutuk dirinya sendiri.Rencananya sederhana—atau setidaknya itulah yang ia pikirkan. Ia hanya akan memantau gerak-gerik Ambar dari kejauhan. Lalu, ketika wanita itu bertindak ceroboh dan mencoba mencelakai Lilis, Jovian akan muncul sebagai penyelamat. Semudah itu, seperti pahlawan dalam cerita.Ia ingin membuat Bram, pewaris Hartanto Global Venture, berhutang budi padanya. ‘Dan pada waktunya,’ pikir Jovian, ‘Bram dan juga Adi akan membayar harga yang lebih mahal daripada sekadar penolakan mereka terhadap ayahku.’
Hujan deras mengguyur kota malam itu, membawa bau tanah basah yang samar menyusup ke dalam hidung Jovian. Dia berdiri di tepi jembatan tua, memandangi sungai yang mengalir deras di bawahnya.Tetesan air menetes dari ujung jaket hoodie-nya, jatuh ke aspal basah. Tangannya menggenggam erat ponsel kecil sekali pakai yang ia siapkan untuk mengerjakan misi rahasia.“Bahkan nggak ada satu minggu,” gumamnya sambil menyeringai.Deretan angka asing di layar gawai mulai berkedip—dering pertama, kedua, ketiga. Ia tahu siapa yang menghubungi. Jemarinya bergerak lambat, mengangkat panggilan.“Dari mana kamu mendapatkan informasi dalam amplop itu?” Suara seorang wanita terdengar dari seberang, tajam dan penuh emosi. Bahkan tanpa ucapan salam, nada Ambar sudah cukup untuk membuat sang pria puas.
Kendaraan yang diikuti akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang terlihat sederhana. Jovian segera memperlambat laju motornya, mematikan mesin tanpa suara. Ia menghentikan kendaraannya di sudut yang gelap, cukup jauh agar tak mencurigakan, namun masih dapat melihat dengan jelas.“Jemput saya dua hari lagi. Saya tidak ingin diganggu saat ada di sini.”Samar-samar pria muda itu mendengar arahan Bram pada supirnya, di sela gemerisik angin yang membawa aroma embun malam. Suara itu terdengar lebih lembut dibanding di ruang naratetama tadi, seperti seseorang yang mendadak meninggalkan semua atribut kekuasaan setelah sampai di rumah. Lalu pria paruh baya itu membuka gerbang besi bercelah dengan hati-hati, seolah takut mengganggu keheningan malam yang pekat.Sang pria muda memperhatikan dengan seksama. Rumah itu berbeda dari bayangan masa lalu yang terekam kuat di
Ditengah-tengah percakapan Jovian menaruh minuman limun milik Bram di atas meja lalu kembali ke tempatnya di balik bar kecil ruang naratetama.Manik Bram mendelik., menatap sang kawan dengan tajam. “Jangan berbicara sembarangan. Tentu saja Tama anakku. Apa kamu tidak lihat matanya yang sangat mirip dengan milikku!” geramnya.Gelak tawa Krisna memenuhi ruangan. “Santai saja, aku cuma bercanda. Semua orang tahu betapa Ambar terobsesi menunjukkan keharmonisan keluarganya. Mana mungkin dia berselingkuh.”Jovian, yang kembali menyajikan limun untuk Bram, menangkap ketegangan di wajah pria itu. Sebuah ekspresi yang sangat kecil, hampir tak terlihat, namun cukup untuk menandakan ada sesuatu yang salah. Dia menaruh gelas di meja dengan gerakan tenang, lalu kembali ke tempatnya di balik bar.Pria muda itu kini semakin lihai menyembunyikan emosi. Dia be
“Ayolah, Bram, kaku sekali kamu.” Seorang pria paruh baya berpostur besar merangkul temannya, menariknya dengan santai menuju ruang naratetama. Wajahnya penuh senyum lebar yang menyiratkan keakraban.“Sudah kubilang, aku tidak nyaman di tempat seperti ini,” sahut Bram, pria berkacamata yang berjalan ragu di sebelahnya. Ada garis-garis ketegangan di wajahnya, kontras dengan cara santai kawannya.“Terlalu banyak aturan hidupmu itu,” jawab si pria berjas abu-abu dengan nada bercanda, menepuk bahu Bram. “Kita hanya akan membahas bisnis, kok.”Nama ‘Bram’ itu bergaung di telinga Jovian. Familiar. Namun pemuda itu tetap memasang senyum tipis di wajah, menyambut mereka dengan sopan. “Selamat malam, Pak Krisna, Pak Bram. Selamat datang,” sapanya sambil sedikit membungkuk.
Pria bercincin itu tiba-tiba mendekatkan tubuhnya ke arah pria mata keranjang, senyumnya samar tapi penuh misteri. “Aku dengar mereka pernah menjebak satu perusahaan dalam kasus korupsi besar-besaran,” katanya, suaranya kini lebih rendah, hampir seperti bisikan.Jovian, yang tengah sibuk memindahkan potongan keju dan daging ke atas piring, menegang tanpa terlihat. Tangannya tetap cekatan, tapi ia memastikan piring itu tidak gemetar saat diletakkan di meja. Wajahnya datar, persis seperti topeng yang selama ini ia kuasai. Meski begitu, telinganya tak melewatkan satu kata pun dari percakapan mereka.“Perusahaan yang dijebak itu…” Pria bercincin sengaja membuat jeda panjang, seakan menunggu perhatian sepenuhnya dari lawan bicaranya. Jemarinya memainkan cerutu sebelum ia melanjutkan. “Kabarnya mereka sampai bangkrut. Bahkan pemilik
“Anak muda…” Sebuah tepukan tiba-tiba mendarat di pundaknya.Jovian menoleh cepat, mendapati pria tambun dengan jas mahal yang tadi memintanya melayani tamu naratetama. Senyum pria itu masih sama, hangat tapi sarat intrik, seperti seorang penjudi yang baru saja memenangkan taruhan besar.“Kamu sudah mendengar banyak hal malam ini,” ujarnya pelan, hampir seperti bisikan. Sorot matanya menelusuri wajah Jovian, mencari jawaban di balik ekspresi tenangnya.Tubuh Jovian seolah membeku. Pernyataan itu menggantung di udara, seperti perangkap tak kasatmata yang siap menjeratnya.Tamu itu kembali terkekeh, suara tawanya serak dan sedikit berat. Sudah berjam-jam Jovian mendengar tawa itu, namun kali ini, ada sesuatu yang membuatnya semakin tak nyaman. Si pria muda menahan dorongan untuk bergeser menjauh.