“Selamat atas pembukaan hotel barunya.”
Suara yang menyapa telinganya bukanlah nada bariton khas Jovian.
Raina menelan pahit di ujung lidah. Pikirannya telah sadar sepenuhnya bahwa pria itu adalah sosok berbahaya—seseorang yang tak seharusnya ia dambakan. Namun hatinya masih saja merindukan bayangan suaminya.
“Terima kasih, Aji,” ucapnya, mencoba menguasai diri saat menerima uluran tangan dari pria di depannya.
CEO TechNova itu menatap wanita itu dengan mata yang tajam, senyum tipis terpatri di bibirnya, tampak memancarkan ketenangan. “Omong-omong,” manik Aji melirik ke samping, seolah mencari-cari sosok lain. “Di mana suamimu?”
Mendengar pertanyaan itu, sang wanita mendengus kecil, nyaris tak terdengar. Meski Jovian tak melakukan sesuatu seca
Kakek melanjutkan perkataannya, seolah berharap sang cucu akan melunak. “Lagipula, sebentar lagi, dengan pembukaan resmi Hotel Sakala yang baru, siapapun tak akan bisa menyangkal kualitasmu sebagai anggota Hartanto.”Raina terdiam sejenak, napasnya tersengal pelan menahan emosi yang bergejolak dalam sanubari. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia meraih tasnya dan mengeluarkan amplop cokelat yang selama ini selalu ia bawa, seolah itu adalah perisai terakhirnya.Tanpa berkata apa pun, ia mengeluarkan isi amplop dan menyusun beberapa lembar dokumen di atas meja.Sambil menyesuaikan posisi kacamatanya, Kakek mencondongkan tubuh. Kemudian mulai menelisik foto-foto serta dokumen-dokumen yang dibawakan oleh sang cucu.Matanya membelalak sejenak, keterkejutan yang jarang sekali ia tunjukkan. “I-ini… darimana kamu mendapatkannya?&r
“Apa kamu senang sekarang?”Suara cibiran memecah lamunan Raina akan pertemuannya dengan kakek beberapa hari lalu. Wanita itu tersentak dan menoleh, mendapati Nita berdiri tak jauh darinya dengan gaun perak berkilauan di bawah cahaya lampu pesta. Pipi sang kakak memerah serta maniknya tampak tak fokus.Entah apa yang kakaknya bicarakan, Raina sedang tak dalam kondisi untuk meladeninya. Dia berencana untuk pergi, tapi Nita mendekat, menghalangi jalannya.“Mau kemana?” Ucap wanita itu dengan senyum sinis di bibir. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Kesempatan untuk pamer, bersikap angkuh setelah berhasil menyelesaikan proyek besar Sakala Nusa?” sindirnya sambil menyilangkan tangan di dada.Raina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Mbak, ini bukan waktu atau tempat yang tepat untuk
Enam belas tahun silam.Jovian menendang kerikil, menghela napas panjang. Bosan menyelimutinya. Terutama setelah lebih dari satu jam Ayahnya meninggalkannya sendirian di tepi jalan, berpesan agar tetap menunggu di mobil. Namun setelah lama duduk diam, sosok pria paruh baya itu tak juga terlihat.“Ayah lama nih,” gumamnya, kembali menendang batu kerikil di dekat kaki.Manik cokelat madu pemuda itu teralihkan ke arah rumah mewah di hadapannya. Halaman luas terbentang dengan kolam renang berair jernih yang memantulkan sinar matahari sore. Pohon-pohon rindang menaungi jalan masuknya, menghadirkan bayangan seperti lengan-lengan yang melambai pelan.Bangunan megah itu membuat mata Jovian berbinar. Tapi tiba-tiba, suara serak yang ia kenali mengusik pemujaannya.“Tolonglah, Pak Adi… saya sudah tidak tahu harus kemana,&r
Pria bertubuh besar itu berdiri di depan pintu rumah Haris, wajahnya mengeras dan penuh amarah. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya dengan kasar menampar-nampar buku yang tampaknya berisi catatan utang. Wajahnya sangar, dihiasi dengan kumis tebal dan tatapan yang menakutkan, seperti elang yang sedang menatap mangsanya.“Bayar hutangmu, Pak Tua!” bentak pria itu, suaranya menggema di ruang tamu yang semakin hari semakin tak terurus. Matanya memelototi Haris dengan sorot meremehkan, sementara tubuhnya condong maju, seakan siap menyerang.Ayah Jovian yang berdiri berjarak beberapa langkah, tampak ciut. Pria paruh baya itu mencoba merapatkan kedua tangannya di dada, membungkuk sedikit, menatap lantai dengan wajah penuh kekhawatiran. “S-saya janji akan membayarnya, Pak… tolong beri saya keringanan,” katanya dengan suara bergetar.
“Jo, gue pinjem uang dong!” seru seorang siswa berseragam abu-abu.Belum sempat Jovian menjawab, temannya yang lain langsung menyikut lengan si peminjam. “Bego, perusahaan bokapnya udah bangkrut,” bisiknya. Pelan tapi cukup keras hingga terdengar.Siswa yang pertama langsung terkesiap. “Eh, maaf, Jo. Gue nggak tahu,” ucapnya, menangkupkan tangan, berusaha terlihat menyesal, meski senyumnya masih terkesan mengejek.Tanpa menjawab, Jovian bangkit dari kursinya, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah yang berat dan kasar, meninggalkan mereka semua di belakang.“Apaan, gitu doang ngambek,” gerutu si peminjam, menyandarkan tubuhnya santai ke kursi.“Jangan gitu, bego! Nyokapnya meninggal gara-gara nggak ada duit buat berobat, terus nggak lama bo
“Bangsat! Kalau jalan yang bener!” teriakan kasar itu membelah keheningan malam.Jovian tersentak, menunduk dalam-dalam tanpa menatap pria bertato yang berteriak ke arahnya. Tubuhnya terasa lelah, hampir kehabisan tenaga, ia hanya mampu menggumamkan kata maaf pelan sambil berlalu.“Woy! Bocah tengik! Songong kali kau! Main pergi-pergi aja!” seorang pria lain dengan bandana mencengkeram bahunya, kasar, memaksa Jovian berhenti.“Maaf, Bang. Saya buru-buru,” ucap pemuda itu, suaranya serak dan tertekan. Ia melirik jam tangan kesayangan yang terpasang di pergelangan tangan—hadiah terakhir dari ayahnya yang sudah tiada. Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Aji pasti sudah menangis ketakutan di rumah yang gelap.Namun para preman itu tak membiarkannya pergi begitu saja. Salah satu dari mereka mendorong Jovian hingga terjengkang, memaksanya untuk melawan.
Semenjak keputusan besar itu, Jovian merelakan Aji diasuh oleh Wira. Sahabat mendiang sang ayah masih terus membujuknya untuk ikut tinggal bersama mereka. Namun, pemuda itu teguh pada pendiriannya. Harga dirinya melarang untuk bergantung pada orang lain. Ia tak ingin memiliki hutang budi.Kala mereka mendiskusikan hal itu, Wira hanya menghela napas panjang. Mata pria paruh baya itu menunjukkan rasa penyesalan, karena tak dapat mengubah keputusan Jovian.Pun begitu, ia tak mampu lagi mendesak. “Kalau begitu,” ucap Wira akhirnya, suaranya terdengar pasrah, “setidaknya biarkan saya membayar biaya sekolah kamu sampai lulus.”Jovian membuka mulut, hendak menolak, tapi Wira buru-buru melanjutkan sebelum pemuda itu punya kesempatan untuk menolak. “Kamu sudah kelas dua SMA, Jo. Apa nggak sayang dengan semua yang sudah kamu pelajari?” Mata pria
Ternyata pekerjaan yang dimaksud oleh sang senior adalah pelayan di sebuah bar ternama di kota. Suasana bar itu sangat berbeda dari kafe tempatnya bekerja. Di sini, musik berdentum kencang, lampu-lampu remang-remang menghiasi ruangan dengan warna-warni yang menari di dinding, dan aroma alkohol yang tajam menyelimuti udara.Tugas Jovian sebenarnya mirip dengan pekerjaannya di kafe—menyajikan minuman, membersihkan meja, dan memastikan pelanggan merasa nyaman. Tapi, di bar ini, ia harus menghadapi tamu-tamu mabuk yang kadang bertingkah di luar kendali.Seperti suatu malam, saat ia sedang mengelap meja, terdengar suara ribut di sudut ruangan. Dua pria paruh baya terlibat adu mulut, wajah mereka merah padam. Sebelum situasi makin panas, Jovian segera menghampiri mereka, mencoba menenangkan.“Tuan, tolong jangan bertengkar di sini,” ucapnya hati-hati, menjaga
Persiapan pernikahan berjalan dengan lancar. Terutama karena memang tak banyak yang harus dipikirkan, mengingat pihak keluarga mempelai wanita menginginkan acara yang sederhana. Akad serta resepsi akan dilakukan sesederhana mungkin, hanya dihadiri oleh keluarga dekat serta beberapa kerabat terpercaya.Jovian menurut, karena baginya, yang terpenting adalah menyusup ke dalam kediaman Hartanto. Hal-hal lain hanyalah formalitas belaka.Namun siang itu, suara rendah sarat akan wibawa menghentikan langkah Jovian, kala pria itu baru menyelesaikan sesi terapinya. Atau yang sebenarnya rapat strategi bersama Saka, Aji dan para petinggi Sindikat Sinara.“Anak muda, bisa kita berbicara sejenak?”Sang pria muda menoleh, mendapati sosok Adi Prakoso Hartanto berdiri tak jauh darinya. Tubuhnya tinggi, tegap, meskipun usia senja telah men
Dengan tertatih-tatih, Jovian menyusuri trotoar, melangkah secepat yang kaki pincangnya sanggup. Tongkat di tangannya mengetuk ritmis di atas permukaan aspal, seolah mengiringi detak jantungnya yang gelisah.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk tulang, tapi itu tak sebanding dengan kecemasan yang mencengkeram hatinya. Kata-kata Raina di telepon tadi terus terngiang-ngiang di benaknya.“Mas, tolong datang ke sini. Cepat.”Hanya satu alamat yang disebutkan sebelum sambungan terputus. Terdengar napas berat yang tak biasa dari wanita itu.‘Sial!’ Jovian mengumpat dalam hati. Kenapa ia harus berpura-pura pincang? Kalau saja ia tidak membatasi dirinya dengan cedera palsu ini, mungkin ia sudah sampai lebih cepat. ‘Kenapa juga aku tidak memilih pura-pura cacat tangan saja?’ pikirnya penuh
Jovian membuka matanya perlahan, siluet lampu putih menyilaukan penglihatannya. Kepalanya berat, dan tubuhnya terasa kaku, nyeri menusuk-nusuk dari sisi tubuh hingga ke kakinya. Namun pandangannya tak butuh waktu lama untuk menangkap sosok wanita di samping ranjang. Manik kecokelatan yang memancarkan kecemasan itu adalah hal pertama yang ia lihat saat kesadarannya kembali.Raina.Menyipitkan mata, pria itu mencoba memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan ilusi. Wanita itu benar-benar ada di sana, duduk di kursi, wajahnya khawatir namun tetap anggun di bawah cahaya lembut lampu ruangan.Jovian langsung menyadari sesuatu—luka kecil di pelipis Raina terlihat sudah mengering, tak ada perban kasat mata lainnya di tubuh wanita itu. Syukurlah, kecelakaan itu tak meninggalkan cedera serius pada dirinya.Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, s
“Jovian!”Teriakan lantang menggema di lorong rumah sakit, memecah kesunyian malam. Langkah tergesa-gesa dua pria terdengar semakin mendekat. Di ambang pintu unit gawat darurat, Aji dan Saka muncul dengan napas tersengal. Raut wajah mereka campuran antara cemas dan panik.Di ranjang yang tak terlalu lebar, Jovian membuka matanya dengan susah payah. Wajahnya pucat, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Namun, seperti biasa, ia mencoba menyembunyikan kelemahannya di balik ekspresi datar yang ia latih bertahun-tahun. Meski kali ini, kelopak matanya yang berat dan bibirnya yang pucat membuat semua itu sia-sia.“Ngapain kalian di sini? Gimana dengan pesta pendiriannya?” tanyanya dengan suara serak dan lemah, berusaha terdengar biasa saja meski kesadarannya nyaris kabur.“Masih sempat mikirin itu?!” bentak Saka, matanya memicing tajam, sorotnya penuh amar
Sebuah amplop cokelat dilempar kasar oleh pria bertubuh kekar dengan jaket hitam. “Ini laporan tentang Raina Asmarani Hartanto minggu ini,” ucap pria tersebut tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar bosan, seolah tugas ini adalah rutinitas yang sudah ia lakukan terlalu sering.Jovian, yang duduk di kursi kerjanya, melirik sekilas amplop itu. Namun sebelum ia sempat bereaksi, Aji, yang kebetulan juga berada di ruangan, langsung menoleh dengan penuh minat. Manik cokelatnya bergerak cepat antara amplop dan pria bertubuh kekar itu, bibirnya terangkat membentuk senyum nakal.“Raina?” tanya Aji, menaikkan satu alisnya dengan nada menggoda. Dia memutar tubuh, memandang ke arah Saka, tangan kanan sang kakak. “Apa maksudnya nih?”Yang ditatap hanya mengedikkan bahu santai sambil melempar tubuhnya ke sofa di sudut ruangan. “Tanya Mas-mu i
“Oh,” suara berat pria tambun itu tiba-tiba terdengar, diiringi tawa pendek. “Kamu bartender ruang VVIP yang dulu sering membantuku, kan?” Ucapannya seolah hanya sekadar basa-basi, namun seringai di bibirnya menyiratkan lebih dari itu.Jovian mendongak, meski tubuhnya terasa berat setelah dihantam habis-habisan. Napasnya tersengal, darah mengalir pelan dari sudut bibirnya, namun ia tetap diam. Wajahnya tetap datar.Pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras, seakan menemukan hiburan. “Anak muda, aku tidak menyangka kamu bisa sampai pada titik ini. Bahkan hanya dengan sedikit dorongan dariku.” Dengan santai, pria itu menjentikkan jarinya.Seorang anak buahnya—pria berjaket hitam dengan wajah tanpa ekspresi—bergerak cepat. Dalam sekejap sebuah kursi dilapisi kulit didorong ke arahnya.“Sebagai senior di bidang ini,
Semenjak malam-malam kelam dipenuhi oleh rasa bersalah yang menghantui pikirannya, Jovian mulai mempertimbangkan untuk menghentikan rencana balas dendamnya.Namun, perasaan itu menghimpit seperti kabut tebal—tak memberi ruang untuk napas. Tidak tenang, itu pasti. Tapi, bahkan jika ia ingin berhenti sekarang, apakah itu mungkin?Pria itu sudah kadung basah. Rencana ini bukan lagi sekadar tentang dirinya. Terlalu banyak yang ia seret ke dalam jalan gelap ini.“Kita tidak bisa tiba-tiba menghentikan rencana ini!” Suara serak seorang pria bertopi hitam memecah udara di ruang kecil itu. Matanya membelalak penuh amarah, tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya terlihat menonjol.“Kamu yang membujuk kami untuk melakukan ini, Jovian!” timpal seorang wanita paruh baya, wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar,
Kegelapan mengepung Jovian.Sejauh apa pun pria itu melangkah, hanya ada bayang-bayang hitam pekat yang mengikuti. Tak ada arah. Tak ada ujung. Hanya ketiadaan yang menyesakkan.Maniknya bergerak panik, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa membantunya keluar dari kehampaan ini.Hingga akhirnya ia menangkap seberkas cahaya redup di kejauhan. Seperti lilin kecil yang berusaha bertahan di tengah badai. Dengan napas terengah, Jovian tertatih menghampirinya. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya.Terkesiap, ia menoleh. Di sana, sosok sang ayah, Haris, duduk bersimpuh di atas tanah yang retak dan kering. Jemari kurus pria itu mencengkeram celana Jovian dengan erat, seperti seseorang yang tengah tenggelam memohon pertolongan. Mata lelaki itu sayu, tapi penuh dengan harapan yang menyakitk
“Sial!”Jovian menggebrak meja kayu di depannya, membuat tumpukan kertas serta kotak alat tulis di atasnya bergetar, nyaris terjatuh. Napasnya memburu, dada naik turun seolah tak mampu menahan luapan emosi yang bergolak di dalam diri. Pikirannya terus berputar, mengutuk dirinya sendiri.Rencananya sederhana—atau setidaknya itulah yang ia pikirkan. Ia hanya akan memantau gerak-gerik Ambar dari kejauhan. Lalu, ketika wanita itu bertindak ceroboh dan mencoba mencelakai Lilis, Jovian akan muncul sebagai penyelamat. Semudah itu, seperti pahlawan dalam cerita.Ia ingin membuat Bram, pewaris Hartanto Global Venture, berhutang budi padanya. ‘Dan pada waktunya,’ pikir Jovian, ‘Bram dan juga Adi akan membayar harga yang lebih mahal daripada sekadar penolakan mereka terhadap ayahku.’