Semua Bab Identitas Tersembunyi Suami Cacat: Bab 91 - Bab 100

108 Bab

91. Perjanjian Dengan Kakek

Kakek melanjutkan perkataannya, seolah berharap sang cucu akan melunak. “Lagipula, sebentar lagi, dengan pembukaan resmi Hotel Sakala yang baru, siapapun tak akan bisa menyangkal kualitasmu sebagai anggota Hartanto.” Raina terdiam sejenak, napasnya tersengal pelan menahan emosi yang bergejolak dalam sanubari. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia meraih tasnya dan mengeluarkan amplop cokelat yang selama ini selalu ia bawa, seolah itu adalah perisai terakhirnya. Tanpa berkata apa pun, ia mengeluarkan isi amplop dan menyusun beberapa lembar dokumen di atas meja. Sambil menyesuaikan posisi kacamatanya, Kakek mencondongkan tubuh. Kemudian mulai menelisik foto-foto serta dokumen-dokumen yang dibawakan oleh sang cucu. Matanya membelalak sejenak, keterkejutan yang jarang sekali ia tunjukkan. “I-ini… darimana kamu mendapatkannya?&r
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-02
Baca selengkapnya

92. Selamat Tinggal

“Apa kamu senang sekarang?” Suara cibiran memecah lamunan Raina akan pertemuannya dengan kakek beberapa hari lalu. Wanita itu tersentak dan menoleh, mendapati Nita berdiri tak jauh darinya dengan gaun perak berkilauan di bawah cahaya lampu pesta. Pipi sang kakak memerah serta maniknya tampak tak fokus. Entah apa yang kakaknya bicarakan, Raina sedang tak dalam kondisi untuk meladeninya. Dia berencana untuk pergi, tapi Nita mendekat, menghalangi jalannya. “Mau kemana?” Ucap wanita itu dengan senyum sinis di bibir. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Kesempatan untuk pamer, bersikap angkuh setelah berhasil menyelesaikan proyek besar Sakala Nusa?” sindirnya sambil menyilangkan tangan di dada. Raina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Mbak, ini bukan waktu atau tempat yang tepat untuk
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-02
Baca selengkapnya

93. Kisah Jovian - Awal Mula

Enam belas tahun silam. Jovian menendang kerikil, menghela napas panjang. Bosan menyelimutinya. Terutama setelah lebih dari satu jam Ayahnya meninggalkannya sendirian di tepi jalan, berpesan agar tetap menunggu di mobil. Namun setelah lama duduk diam, sosok pria paruh baya itu tak juga terlihat. “Ayah lama nih,” gumamnya, kembali menendang batu kerikil di dekat kaki. Manik cokelat madu pemuda itu teralihkan ke arah rumah mewah di hadapannya. Halaman luas terbentang dengan kolam renang berair jernih yang memantulkan sinar matahari sore. Pohon-pohon rindang menaungi jalan masuknya, menghadirkan bayangan seperti lengan-lengan yang melambai pelan. Bangunan megah itu membuat mata Jovian berbinar. Tapi tiba-tiba, suara serak yang ia kenali mengusik pemujaannya. “Tolonglah, Pak Adi… saya sudah tidak tahu harus kemana,&r
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-03
Baca selengkapnya

94. Kisah Jovian - Ayah… Tidak Mungkin…

Pria bertubuh besar itu berdiri di depan pintu rumah Haris, wajahnya mengeras dan penuh amarah. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya dengan kasar menampar-nampar buku yang tampaknya berisi catatan utang. Wajahnya sangar, dihiasi dengan kumis tebal dan tatapan yang menakutkan, seperti elang yang sedang menatap mangsanya. “Bayar hutangmu, Pak Tua!” bentak pria itu, suaranya menggema di ruang tamu yang semakin hari semakin tak terurus. Matanya memelototi Haris dengan sorot meremehkan, sementara tubuhnya condong maju, seakan siap menyerang. Ayah Jovian yang berdiri berjarak beberapa langkah, tampak ciut. Pria paruh baya itu mencoba merapatkan kedua tangannya di dada, membungkuk sedikit, menatap lantai dengan wajah penuh kekhawatiran. “S-saya janji akan membayarnya, Pak… tolong beri saya keringanan,” katanya dengan suara bergetar. 
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-03
Baca selengkapnya

95. Kisah Jovian - Teman Tapi…

“Jo, gue pinjem uang dong!” seru seorang siswa berseragam abu-abu. Belum sempat Jovian menjawab, temannya yang lain langsung menyikut lengan si peminjam. “Bego, perusahaan bokapnya udah bangkrut,” bisiknya. Pelan tapi cukup keras hingga terdengar. Siswa yang pertama langsung terkesiap. “Eh, maaf, Jo. Gue nggak tahu,” ucapnya, menangkupkan tangan, berusaha terlihat menyesal, meski senyumnya masih terkesan mengejek. Tanpa menjawab, Jovian bangkit dari kursinya, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah yang berat dan kasar, meninggalkan mereka semua di belakang. “Apaan, gitu doang ngambek,” gerutu si peminjam, menyandarkan tubuhnya santai ke kursi. “Jangan gitu, bego! Nyokapnya meninggal gara-gara nggak ada duit buat berobat, terus nggak lama bo
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-04
Baca selengkapnya

96. Kisah Jovian - Penolakan

“Bangsat! Kalau jalan yang bener!” teriakan kasar itu membelah keheningan malam. Jovian tersentak, menunduk dalam-dalam tanpa menatap pria bertato yang berteriak ke arahnya. Tubuhnya terasa lelah, hampir kehabisan tenaga, ia hanya mampu menggumamkan kata maaf pelan sambil berlalu. “Woy! Bocah tengik! Songong kali kau! Main pergi-pergi aja!” seorang pria lain dengan bandana mencengkeram bahunya, kasar, memaksa Jovian berhenti. “Maaf, Bang. Saya buru-buru,” ucap pemuda itu, suaranya serak dan tertekan. Ia melirik jam tangan kesayangan yang terpasang di pergelangan tangan—hadiah terakhir dari ayahnya yang sudah tiada. Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Aji pasti sudah menangis ketakutan di rumah yang gelap. Namun para preman itu tak membiarkannya pergi begitu saja. Salah satu dari mereka mendorong Jovian hingga terjengkang, memaksanya untuk melawan.
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-04
Baca selengkapnya

97. Kisah Jovian - Lulus… kayaknya

Semenjak keputusan besar itu, Jovian merelakan Aji diasuh oleh Wira. Sahabat mendiang sang ayah masih terus membujuknya untuk ikut tinggal bersama mereka. Namun, pemuda itu teguh pada pendiriannya. Harga dirinya melarang untuk bergantung pada orang lain. Ia tak ingin memiliki hutang budi. Kala mereka mendiskusikan hal itu, Wira hanya menghela napas panjang. Mata pria paruh baya itu menunjukkan rasa penyesalan, karena tak dapat mengubah keputusan Jovian. Pun begitu, ia tak mampu lagi mendesak. “Kalau begitu,” ucap Wira akhirnya, suaranya terdengar pasrah, “setidaknya biarkan saya membayar biaya sekolah kamu sampai lulus.” Jovian membuka mulut, hendak menolak, tapi Wira buru-buru melanjutkan sebelum pemuda itu punya kesempatan untuk menolak. “Kamu sudah kelas dua SMA, Jo. Apa nggak sayang dengan semua yang sudah kamu pelajari?” Mata pria
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-06
Baca selengkapnya

98. Kisah Jovian - Bertahan

Ternyata pekerjaan yang dimaksud oleh sang senior adalah pelayan di sebuah bar ternama di kota. Suasana bar itu sangat berbeda dari kafe tempatnya bekerja. Di sini, musik berdentum kencang, lampu-lampu remang-remang menghiasi ruangan dengan warna-warni yang menari di dinding, dan aroma alkohol yang tajam menyelimuti udara. Tugas Jovian sebenarnya mirip dengan pekerjaannya di kafe—menyajikan minuman, membersihkan meja, dan memastikan pelanggan merasa nyaman. Tapi, di bar ini, ia harus menghadapi tamu-tamu mabuk yang kadang bertingkah di luar kendali. Seperti suatu malam, saat ia sedang mengelap meja, terdengar suara ribut di sudut ruangan. Dua pria paruh baya terlibat adu mulut, wajah mereka merah padam. Sebelum situasi makin panas, Jovian segera menghampiri mereka, mencoba menenangkan. “Tuan, tolong jangan bertengkar di sini,” ucapnya hati-hati, menjaga
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-06
Baca selengkapnya

99. Kisah Jovian - Bantuan Kecil

Setelah semakin luwes menghadapi tamu-tamu yang mabuk dan keras kepala, Jovian akhirnya dipercaya untuk menangani ruang naratetama. Ruang di mana para tamu penting mengadakan pertemuan mereka, berbicara bisnis di balik denting gelas kristal dan aroma alkohol mahal.“Jo, lo dipanggil ke ruang VVIP 1,” ujar salah seorang senior Jovian.“Oke, Bang,” balas Jovian sambil menepuk apron hitam yang melingkar di pinggangnya. Usianya baru menginjak dua puluh tahun, namun ia telah belajar banyak dari pekerjaannya. Pekerjaan ini—meski keras—membuka pintu harapan yang sedikit terang di tengah hidupnya yang penuh perjuangan.Dengan langkah ringan, Jovian menyusuri lorong remang-remang yang mengarah ke ruang naratetama. Udara di sana sedikit berbeda, terasa lebih dingin karena aliran AC yang bekerja ekstra keras. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi tembakau menggantung di udara, memberikan kesan eksklusif yang hanya ada di sudut-sudut tertentu tempat hiburan malam itu.Pikirannya melayang sesa
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-07
Baca selengkapnya

100. Kisah Jovian - Kesempatan Baru

“Anak muda…” Sebuah tepukan tiba-tiba mendarat di pundaknya. Jovian menoleh cepat, mendapati pria tambun dengan jas mahal yang tadi memintanya melayani tamu naratetama. Senyum pria itu masih sama, hangat tapi sarat intrik, seperti seorang penjudi yang baru saja memenangkan taruhan besar. “Kamu sudah mendengar banyak hal malam ini,” ujarnya pelan, hampir seperti bisikan. Sorot matanya menelusuri wajah Jovian, mencari jawaban di balik ekspresi tenangnya. Tubuh Jovian seolah membeku. Pernyataan itu menggantung di udara, seperti perangkap tak kasatmata yang siap menjeratnya. Tamu itu kembali terkekeh, suara tawanya serak dan sedikit berat. Sudah berjam-jam Jovian mendengar tawa itu, namun kali ini, ada sesuatu yang membuatnya semakin tak nyaman. Si pria muda menahan dorongan untuk bergeser menjauh.
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-12-07
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status