Semua Bab Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Dari Andalas: Bab 21 - Bab 30

73 Bab

Bab 21. Diperintahkan Mencari Arya

“Besok pagi aku akan ke Desa Waru mengembalikan gerobak yang aku pinjam pada salah seorang warga di sana membawa Paman Seno sekeluarga dan barang-barang mereka ke sini, setelah itu aku akan memasuki desa-desa lainnya agar para prajurit itu tidak bisa menebak keberadaanku di satu desa saja seperti di rumah ini,” tutur Arya.“Ya, itu siasat yang bagus. Tapi kamu harus berhati-hati jangan sampai tertangkap, karena Saka Galuh sangat kejam dan pastinya tidak akan memberi ampun pada siapa saja yang menentangnya,” saran Wayan Bima.“Tentu saja Paman, aku akan berhati-hati. Di samping aku akan mengelabui mereka dengan memasuki desa-desa di Pulau Dewata ini, aku juga akan selalu menganggalkan setiap kali mereka akan berbuat yang sama seperti memaksa para wanita muda seperti Weni untuk dibawa ke istana,” jelas Arya.“Moga Sang Dewata selalu melindungimu dalam membela kebenaran dan membantu para warga yang diperlakukan semena-mena,” harap Wayan Bima.“Amin,” ucap Arya.****Senja menjelang malam
Baca selengkapnya

Bab 22. Rencana Lain Arya

“Baik Tuan Putri, Eh Sekar,” ujar Diah yang merasa tidak nyaman dengan memanggil keponakan angkat Lasmi itu hanya namanya saja.“Para prajurit Kerajaan Dharma dulunya tak pernah berbuat kasar pada warga desa, mereka justru diperintahkan Ayahanda untuk melindungi para warga dari kejahatan dan dari para pengacau. Akan tetapi semuanya kini berubah sejak tahta Kerajaan di tangan Saka Galuh, justru pihak istanalah yang kerap membuat keonaran di desa-desa,” Sekar menjelaskan perihal perubahan yang terjadi sejak istana dipimpin Saka Galuh.“Moga saja Mas Arya dengan dibantu Paman Wayan beserta sahabatnya mampu menggulingkan Saka Galuh itu, hingga kehidupan para warga di desa-desa bisa makmur kembali seperti masa kepemimpinan Ayahanda Mbak Sekar,” ujar Weni berharap.“Ya moga saja, Weni. Aku juga sudah tidak tega melihat rakyat Kerajaan menderita hari demi hari,” semua di ruangan itu menaruh harapan pada Arya untuk dapat merebut tahta Kerajaan Dharma.****Sejak fajar menyingsing cuaca di kaw
Baca selengkapnya

Bab 23. Di Perkebunan Warga

“Hemmm, kamu benar. Sedang apa prajurit itu di sana? Kenapa dia memisahkan diri dari rombongannya? Coba kamu periksa!” perintah pria yang dipanggil Panglima itu.Salah seorang dari mereka mengerakan kudanya ke arah batang pohon yang mana di sana terdapat seekor kuda yang dipaut, saking asyiknya pemuda yang berjuntai di atas dahan pohon paling atas tidak menyadari kedatangan salah seorang dari rombongan berkuda menghampiri pohon jambu monyet itu.Salah seorang dari rombongan berkuda telah tiba di bawah pohon di dekat seekor kuda yang dipaut ke batang pohon itu, setelah mengitari pandangan ke sekeliling pohon tidak dijumpainya ada sosok penunggang kuda yang tengah dipaut itu. Ia pun melompat turun dari kudanya, mencari lebih jauh lagi hingga ke dalam hutan yang memang berada di belakang pohon jambu monyet itu tumbuh.Setelah tak menemukan juga di dalam hutan, pria itu kembali ke arah batang pohon dengan rasa heran dan penuh tanda tanya ke mana pemilik kuda yang ia duga juga sebagai seor
Baca selengkapnya

Bab 24. Tak Ingin Melukai

“Bunuh dia..! Wuuuuuuus..! Wuuuuuuuuus..!” seiring seruan salah seorang prajurit puluhan anak panah pun melesat ke atas pohon ke arah di mana Arya duduk berjuntai-juntai di salah satu dahannya.“Hup..! Wuuuuuuus..! Taaaaaaaap..! Taaaaaaaaap..! Kraaaaaaaak..!” seperti pusaran angin tubuh Arya bergulung menangkap seluruh anak panah yang melesat itu, setelah berhasil ditangkap semua ia mematahkannya.“He.. He.. He..! Nah, sekarang giliran aku yang melesatkan potongan anak panah ini kepada kalian..! Wuuuuuuus..! Taaaaaaak..! Taaaaaaaaaak..! Plaaaaaak..! Plaaaaaak..!” puluhan anah panah yang telah di patahkan Arya balik di lesatkan dan menghajar tubuh prajurit sebagian besar di bagian kepala mereka.Sengaja Arya hanya melesatkan bagian tumpul dari anak panah itu, sementara potongan mata panah ia lempar ke arah lain hingga bagian tubuh prajurit yang terkena lesatan potongan anak panah itu hanya seperti kibasan ranting pohon yang membuat perih dan meninggalkan bekas merah jika terkena di bag
Baca selengkapnya

Bab 25. Para Gadis Diungsikan

“Namaku Arya, aku hanya ingin tahu kawasan desa-desa di Pulau Dewata ini. Kalau boleh tahu aku ini berada di kawasan desa apa?” pria berpakaian putih yang ternyata sang pendekar memperkenalkan diri kemudian balik bertanya.“Persawahan ini berada di Desa Temanggung, Mas Arya berasal dari mana? Kenapa ingin tahu seluruh kawasan desa-desa di Pulau Dewata ini?”“Aku berasal dari Pulau Jawa, namun beberapa hari ini aku menginap di rumah Paman angkatku di Desa Kuta. Aku suka mengembara jadi ingin tahu banyak tentang kawasan-kawasan di pulau ini, Mbak.”“Oh, Mas seorang pengembara dan memiliki Paman angkat di Desa Kuta?”“Benar Mbak, apakah sawah ini milik bersama? Hingga sepertinya kalian terlihat beramai-ramai bercocok tanam di sini?” tanya Arya seraya arahkan pandangannya ke para petani yang beramai-ramai menanam padi di hamparan sawah depan dangau itu.“Tidak Mas, sawah ini milik Ranti dan suaminya. Kami di sini hanya membantu mereka menanam padi, seperti kebiasaan kami yang selalu bergo
Baca selengkapnya

Bab 26. Arga Komang Melapor

“Namanya Arya, Dia berasal dari Desa Kuta. Maksudnya singgah hanya untuk bertanya tentang kawasan desa ini Kang Mas,” jawab Ranti.“Mari Mas Arya, ikut gabung makan bersama kami,” kali ini pria yang duduk di sebelah Ranti yang menawarkan.“Terima kasih Mas, silahkan dilanjut saja aku masih kenyang,” kembali Arya menolak diiringi senyum ramahnya.“Kalau begitu Mas Arya cicipi saja panganan dan secangkir teh hangat ini,” Ranti membawa secangkir teh dan bungkusan panganan ringan di daun dan meletakannya di potongan kayu di depan Arya duduk.“Wah, jadi tak enak dan merepotkan Mbak Ranti serta yang lain saja. Sebenarnya aku akan mohon diri untuk melanjutkan perjalanan,” Arya merasa sungkan.“Tidak merepotkan kok Mas, hanya panganan dan secangkir teh hangat saja,” ujar Ranti kemudian kembali duduk di samping suaminya.“Duduk saja di sini dulu sembari istirahat, Mas Arya. Jika memang akan melanjutkan perjalanan nanti saja selepas tengah hari, sekarang cuaca masih sangat panas,” ujar suami Ra
Baca selengkapnya

Bab 27. Sosok Pria Membajak Sawah

“Aku rasa dia tidak perlu untuk turun tangan hanya untuk menangkap dan melumpuhkan seorang pengacau, makanya aku akan membuat surat memohon bantuan kepadanya untuk mengatasi permasalahan itu. Tentang siapa dan berapa orang yang akan ia utus nanti, itu semua aku serahkan kepadanya,” tutur Saka Galuh.“Baiklah yang mulia hamba akan bersiap-siap untuk berangkat ke Pulau Jawa 2 hari ke depan, apakah ada hal lain yang musti hamba laksanakan yang mulia?”“Tidak ada Brana, kau hanya aku tugaskan untuk mengantarkan suratku ke Lembah Neraka 2 hari lagi. Sekarang kau boleh meninggalkan ruangan ini,” ujar Saka Galuh.“Baik yang mulia, hamba mohon diri,” setelah memberi hormat salah seorang utusan Kerajaan yang bernama Brana meninggalkan ruangan itu.****Di dangau di tepian sawah Desa Temanggung, Arya berdiri dari duduknya setelah mencicipi beberapa potong panganan yang dibungkus daun pisang dan meneguk secangkir teh.“Terima kasih aku ucapkan untuk kisanak semuanya yang telah mengizinkan aku un
Baca selengkapnya

Bab 28. Ternyata Teman Wayan Dipa

“Aku memang suka mengembara Paman, jadi aku sendiri kadang tak tahu tujuannya ke mana. Aku hanya mengikuti arah kata hatiku saja, Paman Wayan sekeluarga sangat berjasa karena telah menolongku saat terdampar tak sadarkan diri di tepi pantai, makanya aku ingin tahu seluruh kawasan di Pulau Dewata ini dan akan membantu mereka sebagai balas budi,” tutur Arya.“Wayan? Apa nama Paman angkatmu itu hanya Wayan saja?” pria pemilik dangau terkejut lalu bertanya dengan rasa penasarannya.“Wayan Bima, itulah nama lengkapnya.”“Apa? Jadi kamu keponakan angkat sahabatku Wayan Bima?!” seru pria itu kembali terkejut hingga terperanjat dari duduknya.“Jadi Paman sahabat Paman Wayan?” Arya juga terkejut tak menyangka.“Benar Arya, namaku Aji Gandring. Kami berdua berteman sudah lama sejak masih mengabdi di istana Kerajaan Dharma sewaktu Prabu Swarna Dipa memimpin,” tutur pria pemilik dangau yang merupakan salah seorang sahabat Wayan Bima bernama Aji Gandring.“Senang bertemu denganmu Paman Aji,” Arya m
Baca selengkapnya

Bab 29. Di Rumah Aji Gandring

“Wah, indah sekali pemandangan di sekitaran rumah Paman ini. Di lembah ada sungai yang jernih dan di seberang terdapat hutan dengan pepohonan rapat berdaun lebat menghijau,” puji Arya terkesima akan pemandangan indah yang tersaji di sekitar rumah itu.“Di bukit sana kami membuat kebun, berbagai macam buah dan sayur-sayuran,” Aji menunjuk ke arah selatan di mana di sana terdapat sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi.“Apa hasil kebun itu sering Paman bawa untuk ke pasar untuk di jual?”“Tentu saja Arya, kadang 2 kali seminggu aku membawa buah-buahan dan sayuran segar ke pasar di kota raja.”“Aku pun sering ke pasar itu bersama Paman Wayan beberapa hari belakangan ini menjual ikan-ikan hasil kami melaut, apa Paman menyamar juga seperti yang Paman Wayan lakukan ketika hendak ke pasar di kota raja itu?”“Tentu saja Arya, kalau tidak pasti para prajurit yang bertugas di sana akan mengenaliku,” jawab Aji Gandring.“Apa di dekat sini tidak ada rumah selain rumah Paman ini?”“Tidak ada Arya,
Baca selengkapnya

Bab 30. Aji Gandring Kagum

“Mungkin karena kamu telah lama tidak pulang dan bertemu dengannya, makanya saat aku menyinggung mengenai Ibumu kamu langsung rindu padanya.”“Bukan begitu Bi, masalahnya Ibuku itu jauh berada di Pulau Andalas sementara Ayahku telah meninggal sejak aku masih berusia 5 tahun,” jelas Arya.“Jadi Ayahmu sudah meninggal sejak kamu masih kecil?” kali ini Aji yang bertanya dengan rasa terkejutnya.“Ia Paman, dia meninggal karena dibunuh oleh gerombolan penjahat yang dibayar oleh sosok raja yang belakang diketahui mempunyai dendam pada Ayahku. Aku dibawa dan diasuh oleh seorang Nenek yang sekaligus menjadi Guruku di Puncak Gunung Sumbing di Pulau Jawa,” tutur Arya.“Jadi Ayahmu dibunuh oleh orang-orang suruhan seorang raja?!” kembali Aji Gandring dan Wetri terkejut.“Benar Paman, secara tidak langsung aku pun menyimpan dendam pada mereka sejak aku diminta turun gunung oleh Guruku dan mengembara hingga ke Pulau Andalas. Sampai saat ini aku belum menemukan pembunuh Ayahku itu,” tutur Arya namp
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status