“Hemmm, kamu benar. Sedang apa prajurit itu di sana? Kenapa dia memisahkan diri dari rombongannya? Coba kamu periksa!” perintah pria yang dipanggil Panglima itu.Salah seorang dari mereka mengerakan kudanya ke arah batang pohon yang mana di sana terdapat seekor kuda yang dipaut, saking asyiknya pemuda yang berjuntai di atas dahan pohon paling atas tidak menyadari kedatangan salah seorang dari rombongan berkuda menghampiri pohon jambu monyet itu.Salah seorang dari rombongan berkuda telah tiba di bawah pohon di dekat seekor kuda yang dipaut ke batang pohon itu, setelah mengitari pandangan ke sekeliling pohon tidak dijumpainya ada sosok penunggang kuda yang tengah dipaut itu. Ia pun melompat turun dari kudanya, mencari lebih jauh lagi hingga ke dalam hutan yang memang berada di belakang pohon jambu monyet itu tumbuh.Setelah tak menemukan juga di dalam hutan, pria itu kembali ke arah batang pohon dengan rasa heran dan penuh tanda tanya ke mana pemilik kuda yang ia duga juga sebagai seor
“Bunuh dia..! Wuuuuuuus..! Wuuuuuuuuus..!” seiring seruan salah seorang prajurit puluhan anak panah pun melesat ke atas pohon ke arah di mana Arya duduk berjuntai-juntai di salah satu dahannya.“Hup..! Wuuuuuuus..! Taaaaaaaap..! Taaaaaaaaap..! Kraaaaaaaak..!” seperti pusaran angin tubuh Arya bergulung menangkap seluruh anak panah yang melesat itu, setelah berhasil ditangkap semua ia mematahkannya.“He.. He.. He..! Nah, sekarang giliran aku yang melesatkan potongan anak panah ini kepada kalian..! Wuuuuuuus..! Taaaaaaak..! Taaaaaaaaaak..! Plaaaaaak..! Plaaaaaak..!” puluhan anah panah yang telah di patahkan Arya balik di lesatkan dan menghajar tubuh prajurit sebagian besar di bagian kepala mereka.Sengaja Arya hanya melesatkan bagian tumpul dari anak panah itu, sementara potongan mata panah ia lempar ke arah lain hingga bagian tubuh prajurit yang terkena lesatan potongan anak panah itu hanya seperti kibasan ranting pohon yang membuat perih dan meninggalkan bekas merah jika terkena di bag
“Namaku Arya, aku hanya ingin tahu kawasan desa-desa di Pulau Dewata ini. Kalau boleh tahu aku ini berada di kawasan desa apa?” pria berpakaian putih yang ternyata sang pendekar memperkenalkan diri kemudian balik bertanya.“Persawahan ini berada di Desa Temanggung, Mas Arya berasal dari mana? Kenapa ingin tahu seluruh kawasan desa-desa di Pulau Dewata ini?”“Aku berasal dari Pulau Jawa, namun beberapa hari ini aku menginap di rumah Paman angkatku di Desa Kuta. Aku suka mengembara jadi ingin tahu banyak tentang kawasan-kawasan di pulau ini, Mbak.”“Oh, Mas seorang pengembara dan memiliki Paman angkat di Desa Kuta?”“Benar Mbak, apakah sawah ini milik bersama? Hingga sepertinya kalian terlihat beramai-ramai bercocok tanam di sini?” tanya Arya seraya arahkan pandangannya ke para petani yang beramai-ramai menanam padi di hamparan sawah depan dangau itu.“Tidak Mas, sawah ini milik Ranti dan suaminya. Kami di sini hanya membantu mereka menanam padi, seperti kebiasaan kami yang selalu bergo
“Namanya Arya, Dia berasal dari Desa Kuta. Maksudnya singgah hanya untuk bertanya tentang kawasan desa ini Kang Mas,” jawab Ranti.“Mari Mas Arya, ikut gabung makan bersama kami,” kali ini pria yang duduk di sebelah Ranti yang menawarkan.“Terima kasih Mas, silahkan dilanjut saja aku masih kenyang,” kembali Arya menolak diiringi senyum ramahnya.“Kalau begitu Mas Arya cicipi saja panganan dan secangkir teh hangat ini,” Ranti membawa secangkir teh dan bungkusan panganan ringan di daun dan meletakannya di potongan kayu di depan Arya duduk.“Wah, jadi tak enak dan merepotkan Mbak Ranti serta yang lain saja. Sebenarnya aku akan mohon diri untuk melanjutkan perjalanan,” Arya merasa sungkan.“Tidak merepotkan kok Mas, hanya panganan dan secangkir teh hangat saja,” ujar Ranti kemudian kembali duduk di samping suaminya.“Duduk saja di sini dulu sembari istirahat, Mas Arya. Jika memang akan melanjutkan perjalanan nanti saja selepas tengah hari, sekarang cuaca masih sangat panas,” ujar suami Ra
“Aku rasa dia tidak perlu untuk turun tangan hanya untuk menangkap dan melumpuhkan seorang pengacau, makanya aku akan membuat surat memohon bantuan kepadanya untuk mengatasi permasalahan itu. Tentang siapa dan berapa orang yang akan ia utus nanti, itu semua aku serahkan kepadanya,” tutur Saka Galuh.“Baiklah yang mulia hamba akan bersiap-siap untuk berangkat ke Pulau Jawa 2 hari ke depan, apakah ada hal lain yang musti hamba laksanakan yang mulia?”“Tidak ada Brana, kau hanya aku tugaskan untuk mengantarkan suratku ke Lembah Neraka 2 hari lagi. Sekarang kau boleh meninggalkan ruangan ini,” ujar Saka Galuh.“Baik yang mulia, hamba mohon diri,” setelah memberi hormat salah seorang utusan Kerajaan yang bernama Brana meninggalkan ruangan itu.****Di dangau di tepian sawah Desa Temanggung, Arya berdiri dari duduknya setelah mencicipi beberapa potong panganan yang dibungkus daun pisang dan meneguk secangkir teh.“Terima kasih aku ucapkan untuk kisanak semuanya yang telah mengizinkan aku un
“Aku memang suka mengembara Paman, jadi aku sendiri kadang tak tahu tujuannya ke mana. Aku hanya mengikuti arah kata hatiku saja, Paman Wayan sekeluarga sangat berjasa karena telah menolongku saat terdampar tak sadarkan diri di tepi pantai, makanya aku ingin tahu seluruh kawasan di Pulau Dewata ini dan akan membantu mereka sebagai balas budi,” tutur Arya.“Wayan? Apa nama Paman angkatmu itu hanya Wayan saja?” pria pemilik dangau terkejut lalu bertanya dengan rasa penasarannya.“Wayan Bima, itulah nama lengkapnya.”“Apa? Jadi kamu keponakan angkat sahabatku Wayan Bima?!” seru pria itu kembali terkejut hingga terperanjat dari duduknya.“Jadi Paman sahabat Paman Wayan?” Arya juga terkejut tak menyangka.“Benar Arya, namaku Aji Gandring. Kami berdua berteman sudah lama sejak masih mengabdi di istana Kerajaan Dharma sewaktu Prabu Swarna Dipa memimpin,” tutur pria pemilik dangau yang merupakan salah seorang sahabat Wayan Bima bernama Aji Gandring.“Senang bertemu denganmu Paman Aji,” Arya m
“Wah, indah sekali pemandangan di sekitaran rumah Paman ini. Di lembah ada sungai yang jernih dan di seberang terdapat hutan dengan pepohonan rapat berdaun lebat menghijau,” puji Arya terkesima akan pemandangan indah yang tersaji di sekitar rumah itu.“Di bukit sana kami membuat kebun, berbagai macam buah dan sayur-sayuran,” Aji menunjuk ke arah selatan di mana di sana terdapat sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi.“Apa hasil kebun itu sering Paman bawa untuk ke pasar untuk di jual?”“Tentu saja Arya, kadang 2 kali seminggu aku membawa buah-buahan dan sayuran segar ke pasar di kota raja.”“Aku pun sering ke pasar itu bersama Paman Wayan beberapa hari belakangan ini menjual ikan-ikan hasil kami melaut, apa Paman menyamar juga seperti yang Paman Wayan lakukan ketika hendak ke pasar di kota raja itu?”“Tentu saja Arya, kalau tidak pasti para prajurit yang bertugas di sana akan mengenaliku,” jawab Aji Gandring.“Apa di dekat sini tidak ada rumah selain rumah Paman ini?”“Tidak ada Arya,
“Mungkin karena kamu telah lama tidak pulang dan bertemu dengannya, makanya saat aku menyinggung mengenai Ibumu kamu langsung rindu padanya.”“Bukan begitu Bi, masalahnya Ibuku itu jauh berada di Pulau Andalas sementara Ayahku telah meninggal sejak aku masih berusia 5 tahun,” jelas Arya.“Jadi Ayahmu sudah meninggal sejak kamu masih kecil?” kali ini Aji yang bertanya dengan rasa terkejutnya.“Ia Paman, dia meninggal karena dibunuh oleh gerombolan penjahat yang dibayar oleh sosok raja yang belakang diketahui mempunyai dendam pada Ayahku. Aku dibawa dan diasuh oleh seorang Nenek yang sekaligus menjadi Guruku di Puncak Gunung Sumbing di Pulau Jawa,” tutur Arya.“Jadi Ayahmu dibunuh oleh orang-orang suruhan seorang raja?!” kembali Aji Gandring dan Wetri terkejut.“Benar Paman, secara tidak langsung aku pun menyimpan dendam pada mereka sejak aku diminta turun gunung oleh Guruku dan mengembara hingga ke Pulau Andalas. Sampai saat ini aku belum menemukan pembunuh Ayahku itu,” tutur Arya namp
Di atas perutnya dia memegang buah cempedak dan mulutnya saat itu sudah mengunyah buah itu kembali, tentu saja semua orang terkejut melihat hal itu. Bagaimana tubuh seseorang bisa jatuh ke atas perahu tanpa mengeluarkan suara, bahkan kelihatannya perahu itu hampir tidak bergoyang.Air Sungai Berantas pun tidak tampak beriak, di atas pohon Welung Pati marah bukan main. Dia benar-benar merasa dipermainkan di hadapan orang banyak, segera dia melompat ke bawah ke arah perahu.Sambil melayang turun kaki kanannya ditendangkan ke kepala pemuda yang duduk di dalam perahu itu. Kali ini pria berpakaian putih rupanya jadi merasa jengkel juga diserang terus-terusan begitu rupa, kaki kanannya diinjakkan ke kayu pendayung di lantai perahu, pendayung itu melesat ke atas, melayang ke arah Welung Pati.Welung Pati menggeram marah, tendangannya yang seharusnya mengenai kepala pemuda itu, kini terhalang oleh kayu pendayung.“Praakk!” Kayu pendayung patah dua, mencelat ke udara lalu jatuh ke dalam Sunga
"Aku meragukan hal itu Kangmas, lihat caranya duduk berjuntai di batang pohon. Makan cempedak sambil menggoyang-goyangkan kaki, seorang mata-mata tidak akan melakukan hal itu." ujar Adipati Seto Wirya alias Danar."Siapapun dia kita harus menyelidiki, aku akan memberi tahu para pengawal. Tempat ini harus segera dikurung, jangan sampai orang itu melarikan diri. Kau tunggu di sini, awasi dia.”"Cepatlah!" kata Adipati Seto Wirya."Suruh Gandita kemari!" sambungnya.Orang yang duduk di batang pohon sambil memangku buah cempedak matang dan harum sepertinya tidak tahu kalau dirinya di awasi, dia terus saja menyantap buah itu sambil duduk berjuntai goyang-goyangkan kedua kakinya.Kulit cempedak dan juga biji buah itu dibuang seenaknya ke bawah, beberapa potongan kulit dan biji malah ada yang jatuh ke dalam perahu milik Welung Pati yang ditambatkan di tepi Sungai Berantas itu.Kulit cempedak dan juga biji buah itu dibuang seenaknya ke bawah, beberapa potongan kulit dan biji malah ada yang ja
"Lihat saja dengan diriku, pengabdian dan jasa apa yang tidak aku lakukan untuk Kerajaan, aku tidak mengharapkan dianggap sebagai pahlawan besar. Jalan pikiranku dicurigai, perlakuan terhadap diriku sungguh menyakitkan. Aku dipaksa menerima nasib ditendang dari Kotaraja,” tutur Adipati Gadra."Siapa yang bisa hidup tenang dan leluasa saat ini Kangmas Adi," kata Adipati Seto Wirya pula."Lihat saja dengan diriku, pengabdian dan jasa apa yang tidak aku lakukan untuk Kerajaan, aku tidak mengharapkan dianggap sebagai pahlawan besar. Jalan pikiranku dicurigai, perlakuan terhadap diriku sungguh menyakitkan. Aku dipaksa menerima nasib ditendang dari Kotaraja,” tutur Adipati Gadra."Dimas, siapakah pemuda yang tampan ini?" sambung Adipati Gadra."Namanya Welung Pati, Dia Ketua Padepokan Gagak Timur. Dia orang kepercayaan ku yang bakal banyak memberikan bantuan dalam rencana kita. Dan dia pula lah yang aku minta tolong untuk berkirim pesan berupa surat kepada Kangmas Adi," jawab Adipati Seto W
Arus Sungai Berantas mengalun tenang di pagi yang cerah itu, sebuah perahu kecil meluncur perlahan melawan arus dari arah seberang. Di atasnya ada dua orang penumpang berpakaian seperti petani, yang satu berusia hampir setengah abad. Rambutnya yang disanggul di sebelah atas sebagian nampak putih. Raut wajahnya yang terlindung oleh caping lebar jauh lebih tua dari usia sebenarnya, kumis dan janggutnya lebat.Tetapi jika orang berada dekat-dekat padanya dan memperhatikan wajahnya dengan seksama akan ketahuan bahwa kumis dan janggut lebat itu adalah palsu, orang bercaping itu duduk di sebelah depan perahu. Kedua matanya memandang lurus-lurus ke muka, sesekali tangan kanannya meraba sebilah keris yang terselip di pinggang, tersembunyi di balik pakaian hitamnya.Orang kedua adalah pemuda berbadan kekar, pakaiannya lecek dan basah oleh keringat. Sehelai kain kuning terikat di keningnya, rambutnya yang panjang tidak disanggul di atas kepala, tapi dibiarkan terlepas menjela pundak."Ketua,
“Lihat di depan sana tak ada satupun bangunan padepokan yang berdiri selain reruntuhan yang kini telah menjadi arang, apa kamu yakin letak Padepokan Lumut itu di kawasan ini?”“Yakin Kang, dulu aku dan beberapa orang anggota Padepokan Gagak Timur pernah ke sini menemui Ketua Padepokan Lumut itu,” jawab Danar.Tak beberapa lama beberapa orang warga Desa Tandur yang tadi juga mengikuti rombongan berkuda itu menghampiri mereka, sementara Arya hanya mengawasi dari kejauhan saja.“Maaf Kisanak, kalian ini dari mana dan ada tujuan apa datang ke kawasan desa kami?” tanya salah seorang warga yang menghampiri Bari dan rekan-rekannya, Bari pun turun dari kuda begitu pula dengan rekan-rekannya.“Kami datang dari Padepokan Gagak Timur, tujuan kami hendak menemui Ketua Padepokan Lumut. Apakah benar di kawasan ini tempat berdirinya Padepokan Lumut itu, Kisanak?” jawab Bari lalu balik bertanya.“Ya benar, akan tetapi Padepokan Lumut itu sudah runtuh dan Ketua padepokan itu pun telah tewas.”“Apa? Pa
“Ya Ketua, aku akan sampaikan itu jika dia bertanya.”“Nah, sekarang kalian berangkatlah ke sana. Jangan lupa bawa serta beberapa orang dan kereta kuda untuk membawa bahan makanan bantuan dari Padepokan Lumut itu nantinya,” Welung Pati memberi perintah.“Baik Ketua, kami mohon diri untuk berangkat ke sana,” ujar Bari yang di percaya sebagai pemimpin rombongan yang akan berangkat ke Padepokan Lumut itu.****Selepas tengah hari Arya yang 2 hari ini masih berada di Desa Tandur menginap di rumah Sapto sebagai kepala desa di sana bermaksud hendak mohon diri melanjukan perjalanannya, pada saat itu pula wanita berpakaian ungu tampak murung karena musti berpisah dengan pendekar tampan yang dalam beberapa hari ini mendampinginya.“Jadi hari ini kamu hendak melanjutkan perjalanan ke arah barat sana, Arya?” tanya Sapto di ruangan depan rumahnya.“Jadi Paman, aku rasa tujuanku membantu Mantili dan seluruh warga desa di kawasan ini telah selesai.”“Baiklah, tak ada yang dapat kami berikan sebagai
Meskipun di langit tampak beberapa awan yang menyelimuti tapi pagi itu cukup cerah dan di perkirakan menjelang siang hujan tidak akan turun, di sebuah kawasan yang di sana terdapat sungai besar memanjang banyak terdapat pemukiman dan deretan lahan persawahaan yang luas milik warga desa.Sungai itu bernama Sungai Berantas, yang tak jauh dari kawasan itu tampak pula menjulang tinggi Gunung Kawi, di pinggiran Sungai Berantas itu lah berdiri sebuah bangunan Kerajaan yang sangat besar dan Megah.Kerajaan itu salah satunya yang sampai sekarang tak mampu ditundukan Pangeran Durjana bersama Padepokan Nerakanya di kawasan timur Pulau Jawa, termasuk pula Padepokan Gagak Timur yang di pimpin Welung Pati yang saat itu berada tidak jauh dari perbatasan wilayah kekuasaan Kerajaan besar di pinggiran Sungai Berantas.Kerajaan itu sendiri tidak lain adalah Kerajaan Kediri, yang pada masa itu di pimpin oleh Prabu Jayabaya. Pada masa itu pula Kerajaan Kediri berkembang sangat pesat hingga di kenal sampa
“Wuuuuuuuuus..! Blaaaaaaaaam..! Blaaaaaaar..!” Bola berwarna hijau pekat itu pun meledak di tengah-tengah antara Lenggo Lumut dan Mantili yang berhadap-hadapan sejarak 7 tombak.“Bedebah..! Kembali Bola Lumut Beracun ku mampu ia bendung..!” geram Lenggo Lumut dalam hati, sementara Arya yang kini duduk santai berjuntai-juntai di atas atap salah satu bangunan padepokan tertawa membuat Ketua Padepokan Lumut itu makin geram.“Mantili..! Kali ini kau tidak akan lolos lagi..! Nyawamu akan melayang menyusul arwah kedua orang tuamu di neraka..! Hiyaaaaaaaaaaat..!” berawal dengan merentangkan kedua tangannya ke atas kemudian menghentakannya ke tanah, tubuh Lenggo Lumut berubah berwarna hijau keseluruhannya dan bentuk tubuhnya sedikit lebih besar dan tinggi.Tubuh Lenggo Lumut yang menghijau itu ia putar perlahan makin lama makin kencang seperti gasing menderu mengejar Mantili seiring dengan lesatan sinar-sinar hijau yang puluhan jumlahnya, Arya sempat di buat terkejut dan ingin melompat memban
“Hiyaaaaaat..! ajian Cincin Bulan Menentang Angin..! Blaaaaaaam..! Blaaaaaaaar..!” puluhan benda bulat berwarna ke kuning-kuningan itu meledak sebelum tiba di tempat Mantili berdiri, hal itu di karenakan cahaya putih berupa lingkaran yang berasal dari kedua telapak tangan yang di putar oleh murid Kiai Bimo melesat dan menghantam ke semua Bola-bola kematian itu.Ratu Lentik bukan kepalang terkejutnya, ia tak menyangka jika lawannya memiliki ajian sedahsyat itu.“Jika ajian Bola-bola Kematian tidak mempan, saat aku akan beri dia pelajaran dengan ajian Gelang-gelang Setan!” gumam Ratu Lentik.Kedua tangan Ratu Lentik nampak di gerak-gerakan ke atas dan ke bawah, kemudian di kedua tangannya itu mulai dari siku hingga pergelangan memancar cahaya kuning menyilaukan, cahaya itu makin terang seiring munculnya beberapa buah gelang memenuhi dari siku hingga pengelangan tangannya itu.“Hiyaaaaaaat..! Kali ini kau pasti mampus wanita keparat..! Ziiiiiiiiiing..! Ziiiiiiiiiiing..!” beberapa buah ge