“Wah, indah sekali pemandangan di sekitaran rumah Paman ini. Di lembah ada sungai yang jernih dan di seberang terdapat hutan dengan pepohonan rapat berdaun lebat menghijau,” puji Arya terkesima akan pemandangan indah yang tersaji di sekitar rumah itu.“Di bukit sana kami membuat kebun, berbagai macam buah dan sayur-sayuran,” Aji menunjuk ke arah selatan di mana di sana terdapat sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi.“Apa hasil kebun itu sering Paman bawa untuk ke pasar untuk di jual?”“Tentu saja Arya, kadang 2 kali seminggu aku membawa buah-buahan dan sayuran segar ke pasar di kota raja.”“Aku pun sering ke pasar itu bersama Paman Wayan beberapa hari belakangan ini menjual ikan-ikan hasil kami melaut, apa Paman menyamar juga seperti yang Paman Wayan lakukan ketika hendak ke pasar di kota raja itu?”“Tentu saja Arya, kalau tidak pasti para prajurit yang bertugas di sana akan mengenaliku,” jawab Aji Gandring.“Apa di dekat sini tidak ada rumah selain rumah Paman ini?”“Tidak ada Arya,
“Mungkin karena kamu telah lama tidak pulang dan bertemu dengannya, makanya saat aku menyinggung mengenai Ibumu kamu langsung rindu padanya.”“Bukan begitu Bi, masalahnya Ibuku itu jauh berada di Pulau Andalas sementara Ayahku telah meninggal sejak aku masih berusia 5 tahun,” jelas Arya.“Jadi Ayahmu sudah meninggal sejak kamu masih kecil?” kali ini Aji yang bertanya dengan rasa terkejutnya.“Ia Paman, dia meninggal karena dibunuh oleh gerombolan penjahat yang dibayar oleh sosok raja yang belakang diketahui mempunyai dendam pada Ayahku. Aku dibawa dan diasuh oleh seorang Nenek yang sekaligus menjadi Guruku di Puncak Gunung Sumbing di Pulau Jawa,” tutur Arya.“Jadi Ayahmu dibunuh oleh orang-orang suruhan seorang raja?!” kembali Aji Gandring dan Wetri terkejut.“Benar Paman, secara tidak langsung aku pun menyimpan dendam pada mereka sejak aku diminta turun gunung oleh Guruku dan mengembara hingga ke Pulau Andalas. Sampai saat ini aku belum menemukan pembunuh Ayahku itu,” tutur Arya namp
“Baik Paman, sebaiknya memang besok pagi saja aku melanjutkan perjalanan karena tak lama lagi malam akan tiba,” ujar Arya lalu mengikuti Aji Gandring menuruni lereng lembah menuju sungai yang berada di belakang rumah itu.*****Malam di Desa Kuta yang sejak sore didera hujan lebat semakin tampak gelap begitu pula hawa dinginnya kian terasa, di pendopo rumah terlihat Wayan Bima dan Seno tengah bercakap-cakap, begitu pula di dalam rumah di ruangan depan Lasmi, Sekar, Diah dan Weni berbincang-bincang setelah mereka semua makan malam bersama di rumah itu.“Arya kok belum juga kembali ya Mas Wayan?” Seno bertanya.“Mudah-mudahan dia baik-baik saja, mungkin dia masih ingin menjelajahi seluruh kawasan Pulau Dewata ini. Maklumlah dia seorang pendekar yang suka mengembara, tapi tujuan utamanya selain untuk menghindari agar mata-mata istana tidak mengetahui keberadaan kita di desa ini, Arya juga ingin menjaga para warga desa dari tindak kesewenang-wenangan prajurit Kerajaan seperti yang dialami
“Baik Paman, nanti aku akan katakan usulan Paman itu pada Paman Wayan.”“Dulu kami gagal melakukan pemberontakan karena tidak menyusun rencana yang matang dan tepat, hanya para sahabat dan beberapa orang pengikutnya saja dan itu tentu sangat jauh dari kata seimbang menghadapi ratusan prajurit Kerajaan.,” jelas Aji yang seperti telah diketahui Arya dari Wayan Bima jika mereka dulu pernah melakukan pemberontakan ke istana namun tak berhasil.“Apa dengan diundangnya semua kepala desa di kawasan pulau ini akan memberi dampak dengan kekuatan kita nantinya Paman?”“Tentu saja Arya, warga desa di kawasan Pulau Dewata ini jumlahnya ratusan ribu jiwa dan sebagian tentu merupakan pria yang telah dewasa yang bisa saja kita ikut sertakan dalam rencana kita, meskipun mereka tidak memiliki keahlian bela diri dan persenjataan seperti para prajurit istana akan tetapi dengan jumlah mereka yang begitu banyak dan berkali-kali lipat prajurit dan penghuni istana Kerajaan, aku rasa dapat membawa dampak yan
Setelah menemui Arga Komang Panglima Kerajaan, Brana yang diantar dua orang prajurit dengan mengendarai kereta kuda pergi menuju pelabuhan. Letak pelabuhan itu sendiri berada di pinggiran pantai di kawasan Desa Kuta, meskipun begitu tidak ada seorang pun dari pihak istana Kerajaan yang mengetahui kediaman Wayan Bima walau rumah mantan petinggi istana Kerajaan itu tidak jauh dari pelabuhan.Di pelabuhan itu sendiri selalu ada beberapa prajurit istana yang ditugaskan di sana, mereka secara bergiliran setiap harinya bertugas. Dulu para prajurit hanya ditugaskan untuk mengawasi dan menjaga keamanan di kawasan pelabuhan itu, namun sekarang justru mereka diperintah tidak mengutamakan menjaga keamanan di sana melainkan untuk menarik biaya bagi pedagang yang datang dari Pulau Jawa untuk berdagang ke Pulau Dewata itu.Hasil yang diperoleh setiap kali ada kapal yang merapat di pelabuhan cukup lumayan banyak karena pedagang yang datang dari Pulau Jawa itu cukup banyak, begitu pula dengan pedaga
“Lusa sore, memangnya ada apa Wijaksa?” Wayan Bima balik bertanya.“Jika memang sudah dipastikan acara itu besok sore, aku akan meminta para wanita warga desa kita ini untuk memasak sebagai hindangan untuk para tamu saat waktu istirahat pertemuan itu,” tutur Wijaksa.“Ya itu sangat bagus, dan aku mengucapkan terima kasih sebelumnya padamu yang telah banyak membantu acara pertemuan yang akan diadakan lusa sore,” ucap Wayan Bima.“Tak perlu berterima kasih Mas, karena ini semua untuk kesejahteraan kita di masa yang akan datang. Sudah sepatutnya pula aku dan seluruh warga Desa Kuta ini ikut serta dalam rencana yang akan dilaksanakan itu,” penuturan Wijaksa itu dipertegas oleh beberapa pria warga desa yang dibawa ke pendopo itu dengan anggukan kepala tanda mereka setuju.“Ya moga saja nanti rencana ini akan berjalan seperti yang kita harapkan, tujuan kita memberontak bukan atas dasar membangkang pada pihak Kerajaan melain untuk kesejahteraan rakyat yang selama ini tertindas dan hidup penu
Melihat dari megahnya bangunan dan luasnya di lembah neraka itu, Pangeran Durjana sudah bisa membentuk padepokannya itu menjadi sebuah Kerajaan. Akan tetapi dia tidak mau menjadikan padepokan neraka menjadi Kerajaan, padahal sekarang ini jumlah pengikut setianya mencapai ratusan orang yang keseluruhnya memiliki ilmu bela diri yang diatas rata-rata prajurit sebuah Kerajaan.Selain itu Pangeran Durjana juga memiliki anak buah yang handal berjumlah belasan orang yang dapat ia kerahkan untuk datang ke suatu tempat atau sebuah Kerajaan yang membutuhkan jasa mereka, belum lagi di daerah-daerah tertentu yang juga berdiri cabang-cabang dari padepokan neraka itu yang di pimpin oleh sosok yang berilmu cukup tinggi tentunya dibandingkan anak buahnya yang lain.Padepokan neraka menjadi salah satu tempat yang memiliki kekayaan luar biasa banyaknya, itu berasal dari jatah yang diberikan setiap bulannya dari berbagai Kerajaan yang pernah memakai jasa mereka.Bagi Kerajaan yang memberi jatah bulanan
“Karena hari masih siang dan baru saja lewat tengah hari sebaiknya saudara istirahat dulu di sini, sementara itu aku akan memilih dan menetapkan siapa dan berapa orang utusanku yang akan ikut serta nanti denganmu kembali ke istana Kerajaan Dharma untuk menyelesaikan permasalahan di sana,” tutur Pangeran Durjana.“Baik Ketua, aku akan menunggu utusan yang Ketua pilih itu dengan beristirahat sejenak di sini,” ujar Brana.“Dipo Geni, antarkan saudara kita ini ke sebuah kamar tamu untuk beristirahat,” perintah Pangeran Durjana.“Baik Ketua, mari Saudara Brana aku antar,” Dipo Geni mengajak Brana menuju salah satu kamar tamu yang berada di bagian depan menjelang halaman padepokan neraka itu, Brana anggukan kepalanya sembari tersenyum ramah.Setelah mengantar Brana untuk beristirahat di salah satu kamar tamu padepokan, Dipo Geni kembali ke ruangan di mana di sana Pangeran Durjana masih duduk dan menunggu.“Saudara Brana telah aku antar ke salah satu kamar tamu padepokan, selanjutnya apa tug
“Bagaimana Samin, apakah ada laporan mencurigakan dari para warga yang ditugasi di seberang hutan?” tanya Mahfud membuka obrolan di pendopo itu.“Tidak ada Mas, mereka melaporkan beberapa hari bergiliran tugas di sana aman-aman saja tidak ada hal yang mencurigakan. Sepertinya memang tidak perlu juga kita meminta warga desa mengawasi hingga ke seberang hutan sana,” ujar Samin.“Bisa jadi memang para gerombolan yang datang menyerang tiba-tiba ke desa kami itu hanya sebatas ingin mengacau Desa Sampang saja, sebaiknya memang mulai besok tidak perlu lagi diadakan giliran mengawas di seberang hutan itu,” ulas Mahfud setuju dengan pendapat Samin.“Ya Mas, mulai besok aku akan beritahu para warga untuk tidak lagi berjaga-jaga di sana. Cukup waspada saja di kawasan desa ini,” ujar Samin setuju.Para wanita dan anak-anak yang suami mereka tewas akibat serangan anggota Padepokan Gagak Hitam, kini telah di tempatkan di berbagai rumah warga Desa Karapan. Terkecuali anak dan istri dari Mahfud kepal
Di samping kiri bangunan pemondokan tempat para santri berlatih ilmu bela diri, Kiai Bimo mengajarkan gerakan-gerakan menangkis dan mengunci lawan. Para santri mengikuti gerakan-gerakan itu dengan berpasang-pasangan, satu menyerang satu lagi menangkis dan melakukan gerakan kuncian yang diajar pemilik pemondokan itu.Meskipun gerakan-gerakan silat yang diajarkan masih tahap dasar karena belum masuk ke tahap melakukan tangkisan dan serangan dengan tenaga dalam, namun semua yang telah dikuasai para santri saat ini sudah dapat dipergunakan untuk menjaga diri mereka masing-masing dari serangan yang tak terduga oleh orang lain.****Belasan obor di sekitaran bangunan Padepokan Gagak Hitam tampak menyala saat hari sudah mulai gelap, berbagai kegiatan anggota padepokan mulai dari membuat pagar di sekeliling kawasan padepokan hingga berlatih ilmu kanuragan.Sandaka meminta Sabo untuk mengumpulkan seluruh anggota padepokan itu di ruangan biasa mereka gunakan untuk pertemuan, mendapat perintah i
“Ya Eyang, tapi dia dikabarkan telah tewas saat berada di Pulau Andalas beberapa tahun yang lalu.”“Hemmm, aku juga mendengar kabar begitu. Akan tetapi kabar itu tidak benar, karena pendekar itu sekarang ada bersama kita di ruangan ini,” tutur Kiai Bimo, seketika Mantili terkejut dan langsung memberi hormat pada Arya.“Maaf Mas, jika aku tadi bersikap lancang,” ucap Mantili merasa malu dan segan.“Hemmm, Kiai Bimo terlalu berlebihan memuji. Aku pendekar biasa saja dan julukan itu terlalu dibesar-besar,” ujar Arya kembali diiringi senyumannya.“Kamu mendengar dan melihat sendiri kan Mantili? Pendekar sejati itu tidak akan pernah menyombongkan dirinya, meskipun nama dan julukannya disegani dan di agung-agungkan karena telah banyak berbuat kebaikan membela kebenaran.”“Apalah artinya sebuah nama dan julukan Kiai, kalaupun aku telah banyak berbuat baik membela kebenaran itu semua datangnya dari Gusti Allah, kita hanya sebagai perantara-Nya saja,” ulas Arya yang kembali membuat Kiai tersen
“Hemmm, ya benar Arya. Akan tetapi putra Prabu Swarna Dipa itu tidak pernah datang ke sini,” ujar Kiai Bimo tersenyum.“Saka Galuh memang tidak pernah menurut dan kerap membohongi Prabu Swarna Dipa sejak usianya masih remaja, dan begitu dewasa ia menjadi anak yang durhaka demi tahta ia rela membunuh Ayahnya sendiri.”“Itulah ujian hidup Arya, ambisi dan keserakahan kerap membuat orang gelap mata. Makanya dibutuhkan ilmu agama yang mendalam untuk mendidik manusia menjadi manusia yang memiliki akhlak yang baik,” tutur Kiai Bimo.“Benar Kiai, keserakahan memang kerap membuat orang berbuat kejahatan dan tak segan-segan membunuh.”“Manusia yang hidup di dunia ini tidak pernah puas dengan apa yang ia dapati dan miliki, bahkan kebanyakan dari mereka tidak pandai bersyukur atas semua yang telah dilimpahkan Gusti Allah. Harta yang dimiliki takan bisa menolong mereka jika tiba waktunya kembali menghadap yang kuasa, hanya amal dan perbuatan baiklah yang menjadi bekal penting saat kita akan mengh
Tak biasanya Pangeran Durjana keluar dari ruangannya menuju teras depan bangunan padepokan dan duduk sendirian di salah satu deretan kursi yang terdapat di teras itu, deretan kursi yang ia duduki menghadap ke halaman dan pintu gerbang padepokan.Tak beberapa lama Dipo Geni datang menghampiri, ia berjalan dari arah depan padepokan melakukan tugas rutinnya memantau dan mengawasi para murid dan seluruh anggota Padepokan Neraka dalam segala urusan termasuk mengetahui jumlah jatah bulanan yang dikirim Kerajaan-kerajaan.Jika Padepokan Neraka itu berupa sebuah Kerajaan boleh dikatakan Dipo Geni sebagai Panglimanya dan Pangeran Durjana adalah Raja, itu melihat kepercayaan yang diberikan Pangeran Durjana kepadanya.“Tumben Ketua keluar ruangan dan duduk seorang diri di sini?” tanya Dipo Geni.“Terlalu lama di ruangan menimbulkan rasa bosan juga, kiriman dari Kerajaan-kerajaan tetap lancarkan Dipo?” Pangeran Durjana balik bertanya akan tetapi sikapnya tidak bersemangat.“Lancar-lancar saja Ket
“Baik Kiai, terima kasih,” ucap Arya, Kiai Bimo hanya mengangguk sembari tersenyum lalu ia melangkah keluar dari ruangan itu melihat para santrinya yang tengah melakukan kegiatan kemandirian.Selama berhari-hari 2 orang murid Padepokan Neraka yang berhasil melarikan diri dari amukan para warga sewaktu berkecamuknya pemberontakan ke istana Kerajaan Dharma berdiam diri di hutan di kawasan Pulau Dewata, akhirnya berhasil menyeberang kembali ke Pulau Jawa.Mereka berdua melakukan penyamaran dan bekerja di pelabuhan mengangkat dan menurunkan barang para penumpang kapal, setelah mendapatkan uang yang cukup untuk ongkos kapal mereka pun berhenti bekerja di pelabuhan itu dan menyeberang ke Pulau Jawa dengan penumpang yang lainnya.Tiba di pelabuhan di ujung timur Pulau Jawa terasa terbebas dari penjara bagi kedua murid Padepokan Neraka itu, karena dalam beberapa hari belakangan ini seperti dihantui ketakukan akan tertangkapnya mereka oleh prajurit atau warga desa yang mengenalinya di pelabuha
“Ada apa Kiai? Ada yang salah dengan yang aku ucapkan?” Arya ikut terkejut melihat reaksi Kiai Bimo saat ia mengatakan nama Gurunya.“Tidak, tidak. Tidak ada yang salah dengan jawabanmu itu Arya, aku hanya terkejut saja karena aku tahu betul akan sosok Gurumu itu semasa mudaku dulu. Nyi Konde Perak sangat sakti mandraguna dan juga memiliki ilmu agama yang tinggi, saat itu beliau sangat di segani baik dari sesama pendekar golongan putih terlebih lagi pendekar golongan hitam.”“Berarti Kiai kenal dan sering bertemu dengan Guruku itu?”“Ya, tentu saja aku mengenali dan sering bertemu dengannya semasa kami masih muda dulu. Beliau sering memberiku nasehat serta mengajariku tentang ilmu agama Islam, waktu itu aku tinggal dan mengabdi di Kesultanan Demak,” ujar Kiai Bimo.“Eyang Guru memang memiliki banyak sahabat sewaktu beliau masih muda, hanya saja dia jarang mau menceritakan masa mudanya itu sejak aku masih diasuhnya dari bayi hingga digembleng menjadi seorang pendekar di puncak Gunung S
“Itu Kiai, Mas Arya katanya dia datang dari Pulau Dewata,” Arif mundur selangkah lalu membalikan tubuhnya menyamping diiringi menunjuk dengan jempol tangannya ke arah Arya.Dari jarak beberapa langkah dari pintu ruangan itu Arya terlihat memberi hormat dengan adab sopan santun seperti yang kerap dilakukan para santri di sana pada Kiai Bimo saat bertemu, Kiai Bimo pun membalas dengan senyum dan sikap yang ramah dan sopan pula.“Assalamu alaikum,” ucap Arya memberi salam.“Waalaikum Salam, mari kisanak silahkan masuk,” balas Kiai Bimo lalu mengajak Arya masuk ke dalam ruangan itu.“Terima kasih Kiai,” ucap Arya sambil melangkah masuk, seiring dengan itu ia pun berterima kasih pada Arif yang telah mengantarnya bertemu dengan pemilik pemondokan itu.Arif tidak langsung pergi meninggalkan mereka, melainkan ikut masuk ke dalam ruangan setelah Kiai Bimo memberi isyarat padanya untuk membuatkan minum untuk Arya. Setelah meletakan 2 cangkir teh hangat di atas tikar pandan di depan Kiai Bimo d
“Ya, agar para warga juga mengetahui di samping tugas giliran ronda tiap malam juga akan diadakan tugas giliran memantau orang luar yang akan masuk ke Desa Karapan terutama dari arah Desa Sampang, dari seberang hutan di ujung kawasan desa ini,” seluruh pria yang ada di pendopo mengangguk faham mendengar penjelasan dari Mahfud.Pesta minuman keras yang berlangsung di depan Padepokan Gagak Hitam kian menjadi-jadi, Sandaka dan seluruh anak buahnya benar-benar telah mabuk. Beberapa orang di antara mereka ada yang tumbang tergeletak di tanah, karena tak mampu lagi menahan keseimbangan tubuhnya yang oleng akibat pengaruh arak dan tuak yang terlalu banyak mereka minum.Sandaka sendiri sekarang dibantu Sabo dan 2 orang anak buahnya memapah ke kamarnya, setelah sebelumnya muntah dan sempoyongan di depan padepokan itu. Anehnya mereka justru ketagihan dan sangat senang melakukan pesta minuman keras hingga mabuk sedemikian rupa, meskipun mereka terkadang tak sadarkan diri dan tidur di sembarang t