Melihat dari megahnya bangunan dan luasnya di lembah neraka itu, Pangeran Durjana sudah bisa membentuk padepokannya itu menjadi sebuah Kerajaan. Akan tetapi dia tidak mau menjadikan padepokan neraka menjadi Kerajaan, padahal sekarang ini jumlah pengikut setianya mencapai ratusan orang yang keseluruhnya memiliki ilmu bela diri yang diatas rata-rata prajurit sebuah Kerajaan.Selain itu Pangeran Durjana juga memiliki anak buah yang handal berjumlah belasan orang yang dapat ia kerahkan untuk datang ke suatu tempat atau sebuah Kerajaan yang membutuhkan jasa mereka, belum lagi di daerah-daerah tertentu yang juga berdiri cabang-cabang dari padepokan neraka itu yang di pimpin oleh sosok yang berilmu cukup tinggi tentunya dibandingkan anak buahnya yang lain.Padepokan neraka menjadi salah satu tempat yang memiliki kekayaan luar biasa banyaknya, itu berasal dari jatah yang diberikan setiap bulannya dari berbagai Kerajaan yang pernah memakai jasa mereka.Bagi Kerajaan yang memberi jatah bulanan
“Karena hari masih siang dan baru saja lewat tengah hari sebaiknya saudara istirahat dulu di sini, sementara itu aku akan memilih dan menetapkan siapa dan berapa orang utusanku yang akan ikut serta nanti denganmu kembali ke istana Kerajaan Dharma untuk menyelesaikan permasalahan di sana,” tutur Pangeran Durjana.“Baik Ketua, aku akan menunggu utusan yang Ketua pilih itu dengan beristirahat sejenak di sini,” ujar Brana.“Dipo Geni, antarkan saudara kita ini ke sebuah kamar tamu untuk beristirahat,” perintah Pangeran Durjana.“Baik Ketua, mari Saudara Brana aku antar,” Dipo Geni mengajak Brana menuju salah satu kamar tamu yang berada di bagian depan menjelang halaman padepokan neraka itu, Brana anggukan kepalanya sembari tersenyum ramah.Setelah mengantar Brana untuk beristirahat di salah satu kamar tamu padepokan, Dipo Geni kembali ke ruangan di mana di sana Pangeran Durjana masih duduk dan menunggu.“Saudara Brana telah aku antar ke salah satu kamar tamu padepokan, selanjutnya apa tug
Tidak ada kesulitan yang berarti bagi utusan mengantarkan undangan pada Arga Komang, sebab saat itu sang Panglima memang tengah berada di kawasan luar istana karena ditugaskan untuk memperketat penjagaan bagi orang yang tidak di kenal untuk memasuki kawasan istana Kerajaan.Karena utusan penyampaian undangan itu merupakan salah satu warga Desa Kuta, tentu saja para prajurit mengenalinya dan di bebaskan untuk masuk kawasan istana Kerajaan itu untuk menemui Panglima atau siapa saja yang hendak ditemui.Setelah mendapatkan surat berupa gulungan kain tipis dari salah seorang warga desa, Arga Komang membacanya dalam sebuah ruangan tempat ia biasa bertugas sebagai Panglima.“Teruntuk Saudaraku Arga Komang selaku Panglima Kerajaan Dharma, kami hendak menyampaikan undangan pertemuan melalui surat ini. Pertemuan itu sendiri akan kami adakan di balai Desa Kuta besok sore, kami harap saudara berkenan untuk datang. Dari kami atas nama rakyat Kerajaan Dharma Wayan Bima,” terkejutlah Arga Komang me
“Kalau masalah itu Mas Wayan tak perlu kuatir, besok pagi para warga desa pasti akan membantu merapikan balai desa serta mempersiapkan hidangan untuk jamuan makan di acara besok sore, nanti malam para warga yang biasa datang ke pendopo akan aku minta tolong untuk memberitahukan hal itu pada seluruh warga desa besok paginya,” tutur Wijaksa.“Wah, kalau begitu tak adalagi yang perlu dirisaukan berkenaan dengan persiapan acara pertemuan besok sore. Terima kasih aku ucapkan sebelumnya atas bantuanmu ini Wijaksa,” ucap Wayan Bima.“Sama-sama Mas, sudah merupakan kewajiban kita bersama dalam hal untuk mewujudkan kesejahteraan kita semua nantinya. Apa yang kami lakukan ini agaknya belum seberapa dibandingkan dengan kalian nanti yang akan berjuang ke istana Kerajaan Dharma.”“Apa yang Paman Wijaksa lakukan bersama warga desa sejak pagi tadi hingga besok sore merupakan salah satu bentuk perjuangan demi kesejahteraan bersama, dan kami merasa terbantu dengan semua itu sebelum nanti berjuang ke i
“Sekarang juga kalian boleh berangkat jika sudah siap, jangan kuatir nanti kalian akan diantar beberapa murid padepokan ini dengan kereta kuda. Aku perkirakan sebelum malam tiba kalian sudah akan tiba di pelabuhan,” tutur Pangeran Durjana.“Baiklah kalau begitu sekarang saja kami mohon pamit Ketua,” ujar Brana.“Ya silahkan, Dipo Geni antar mereka ke kereta kuda sekaligus perintahkan murid padepokan yang biasa disuruh mengantar tamu ke daerah-daerah termasuk ke pelabuhan,” perintah Pangeran Durjana.“Baik Ketua, mari aku antar,” ujar Dipo Geni pada Brana dan dua orang utusan Pangeran Durjana itu.“Kami mohon pamit Ketua,” ucap Brana, Gento Geni dan Lakas Geni, Pangeran Durjana hanya menjawab dengan anggukan kepalanya.Secara beriringan mereka meninggalkan ruangan itu menuju halaman padepokan neraka, setelah kereta kuda telah siap berikut dengan pengendalinya Brana, Gento Geni dan Lakas Geni beserta 5 orang murid padepokan itu naik ke atas kereta kemudian berlalu meninggalkan padepokan
Seperti yang telah diperkirakan Pangeran Durjana orang-orang utusannya beserta Brana akan tiba sebelum malam di pelabuhan ujung timur Pulau Jawa itu, tepat saat itu matahari akan tenggelam kereta kuda yang membawa Brana, Gento Geni dan Lakas Geni berserta 5 orang murid padepokan neraka telah memasuki pelabuhan.Tanpa menunggu waktu lama lagi Brana segera membayar sewa rombongan dari lembah neraka itu pada petugas kapal, lalu mereka bersamaan naik ke atas kapal yang diperkirakan akan berangkat beberapa menit lagi.Melihat dari perawakan Gento Geni dan Lakas Geni, agaknya mereka berdua memang bagian dari anak buah handal Pangeran Durjana. Tampangnya bengis seperti pendekar golongan hitam lainnya, mereka juga bukan kali pertama melakukan tugas yang diperintahkan ketuanya itu.Meskipun dalam berbicara kedua anak buah Pangeran Durjana itu kerap menyelipkan tawanya, akan tetapi tetap saja sifat kejam telah mendarah daging di diri mereka berdua.****Sore itu di balai Desa Kuta sudah banyak
“Apakah kalian setuju dengan rencana ini?” tanya Arya.“Setuju...! Kami setuju sekali Arya...!” seru mereka serentak.“Sudah saatnya kepemimpinan Saka Galuh yang selama ini menindas serta berbuat semena-mena pada rakyat kita gulingkan, dia tidak pernah memikirkan kesejahteraan saudara-saudara semuanya. Malahan semakin hari rakyat kian tertindas dan banyak diantara kita yang kelaparan akibat upeti yang sangat tinggi dari pihak istana.”“Kapan rencana itu akan kita laksanakan saudara Arya, kami siap ikut serta melakukan pemberontakan itu. Bukankah begitu saudara-saudara?!” seru salah seorang dari tamu undangan yang disertai riuh persetujuan dari para tamu undangan lainnya.“Lebih cepat akan lebih baik, jika saudara-saudaraku semuanya telah sepakat dengan rencana ini, lusa pagi sudah dapat kita laksanakan dengan berkumpul di satu titik sebelum menuju ke istana Kerajaan,” tutur Arya.“Kami sepakat saudara Arya, lusa pagi kami akan berkumpul di titik yang saudara kehendaki itu,” ujar salah
“Baiklah karena semuanya telah menyetujui, pertemuan ini kita tutup dan sebelum kami persilahkan untuk kembali ke kediaman masing-masing terlebih dahulu kami mengajak saudara-saudara semua untuk makan bersama. Terima kasih, acara ini kami tutup dan semoga kita nanti berhasil melaksanakan rencana yang mulia itu,” tutur Wayan Bima menutup acara pertemuan itu dan kemudian mengajak para undangan yang hadir untuk makan bersama.Semua jamuan yang tadi dipersiapkan di luar ruangan secara bersama-sama dibawa masuk oleh para wanita yang sedari tadi siang memasak di bagian belakang bangunan balai desa itu, setelah semuanya ditaruh di tengah-tengah dan di bagikan berupa nasi serta lauk-pauk yang dibungkus daun pisang pada tamu undangan para wanita itupun kembali ke luar ruangan.“Karena telah dibagikan, mari saudara-saudaraku semuanya kita nikmati sajian yang buat oleh para warga Desa Kuta ini,” ajak Wayan Bima.Para tamu undangan yang berada di ruangan balai desa serentak membuka bungkusan daun
“Ya Eyang, tapi dia dikabarkan telah tewas saat berada di Pulau Andalas beberapa tahun yang lalu.”“Hemmm, aku juga mendengar kabar begitu. Akan tetapi kabar itu tidak benar, karena pendekar itu sekarang ada bersama kita di ruangan ini,” tutur Kiai Bimo, seketika Mantili terkejut dan langsung memberi hormat pada Arya.“Maaf Mas, jika aku tadi bersikap lancang,” ucap Mantili merasa malu dan segan.“Hemmm, Kiai Bimo terlalu berlebihan memuji. Aku pendekar biasa saja dan julukan itu terlalu dibesar-besar,” ujar Arya kembali diiringi senyumannya.“Kamu mendengar dan melihat sendiri kan Mantili? Pendekar sejati itu tidak akan pernah menyombongkan dirinya, meskipun nama dan julukannya disegani dan di agung-agungkan karena telah banyak berbuat kebaikan membela kebenaran.”“Apalah artinya sebuah nama dan julukan Kiai, kalaupun aku telah banyak berbuat baik membela kebenaran itu semua datangnya dari Gusti Allah, kita hanya sebagai perantara-Nya saja,” ulas Arya yang kembali membuat Kiai tersen
“Hemmm, ya benar Arya. Akan tetapi putra Prabu Swarna Dipa itu tidak pernah datang ke sini,” ujar Kiai Bimo tersenyum.“Saka Galuh memang tidak pernah menurut dan kerap membohongi Prabu Swarna Dipa sejak usianya masih remaja, dan begitu dewasa ia menjadi anak yang durhaka demi tahta ia rela membunuh Ayahnya sendiri.”“Itulah ujian hidup Arya, ambisi dan keserakahan kerap membuat orang gelap mata. Makanya dibutuhkan ilmu agama yang mendalam untuk mendidik manusia menjadi manusia yang memiliki akhlak yang baik,” tutur Kiai Bimo.“Benar Kiai, keserakahan memang kerap membuat orang berbuat kejahatan dan tak segan-segan membunuh.”“Manusia yang hidup di dunia ini tidak pernah puas dengan apa yang ia dapati dan miliki, bahkan kebanyakan dari mereka tidak pandai bersyukur atas semua yang telah dilimpahkan Gusti Allah. Harta yang dimiliki takan bisa menolong mereka jika tiba waktunya kembali menghadap yang kuasa, hanya amal dan perbuatan baiklah yang menjadi bekal penting saat kita akan mengh
Tak biasanya Pangeran Durjana keluar dari ruangannya menuju teras depan bangunan padepokan dan duduk sendirian di salah satu deretan kursi yang terdapat di teras itu, deretan kursi yang ia duduki menghadap ke halaman dan pintu gerbang padepokan.Tak beberapa lama Dipo Geni datang menghampiri, ia berjalan dari arah depan padepokan melakukan tugas rutinnya memantau dan mengawasi para murid dan seluruh anggota Padepokan Neraka dalam segala urusan termasuk mengetahui jumlah jatah bulanan yang dikirim Kerajaan-kerajaan.Jika Padepokan Neraka itu berupa sebuah Kerajaan boleh dikatakan Dipo Geni sebagai Panglimanya dan Pangeran Durjana adalah Raja, itu melihat kepercayaan yang diberikan Pangeran Durjana kepadanya.“Tumben Ketua keluar ruangan dan duduk seorang diri di sini?” tanya Dipo Geni.“Terlalu lama di ruangan menimbulkan rasa bosan juga, kiriman dari Kerajaan-kerajaan tetap lancarkan Dipo?” Pangeran Durjana balik bertanya akan tetapi sikapnya tidak bersemangat.“Lancar-lancar saja Ket
“Baik Kiai, terima kasih,” ucap Arya, Kiai Bimo hanya mengangguk sembari tersenyum lalu ia melangkah keluar dari ruangan itu melihat para santrinya yang tengah melakukan kegiatan kemandirian.Selama berhari-hari 2 orang murid Padepokan Neraka yang berhasil melarikan diri dari amukan para warga sewaktu berkecamuknya pemberontakan ke istana Kerajaan Dharma berdiam diri di hutan di kawasan Pulau Dewata, akhirnya berhasil menyeberang kembali ke Pulau Jawa.Mereka berdua melakukan penyamaran dan bekerja di pelabuhan mengangkat dan menurunkan barang para penumpang kapal, setelah mendapatkan uang yang cukup untuk ongkos kapal mereka pun berhenti bekerja di pelabuhan itu dan menyeberang ke Pulau Jawa dengan penumpang yang lainnya.Tiba di pelabuhan di ujung timur Pulau Jawa terasa terbebas dari penjara bagi kedua murid Padepokan Neraka itu, karena dalam beberapa hari belakangan ini seperti dihantui ketakukan akan tertangkapnya mereka oleh prajurit atau warga desa yang mengenalinya di pelabuha
“Ada apa Kiai? Ada yang salah dengan yang aku ucapkan?” Arya ikut terkejut melihat reaksi Kiai Bimo saat ia mengatakan nama Gurunya.“Tidak, tidak. Tidak ada yang salah dengan jawabanmu itu Arya, aku hanya terkejut saja karena aku tahu betul akan sosok Gurumu itu semasa mudaku dulu. Nyi Konde Perak sangat sakti mandraguna dan juga memiliki ilmu agama yang tinggi, saat itu beliau sangat di segani baik dari sesama pendekar golongan putih terlebih lagi pendekar golongan hitam.”“Berarti Kiai kenal dan sering bertemu dengan Guruku itu?”“Ya, tentu saja aku mengenali dan sering bertemu dengannya semasa kami masih muda dulu. Beliau sering memberiku nasehat serta mengajariku tentang ilmu agama Islam, waktu itu aku tinggal dan mengabdi di Kesultanan Demak,” ujar Kiai Bimo.“Eyang Guru memang memiliki banyak sahabat sewaktu beliau masih muda, hanya saja dia jarang mau menceritakan masa mudanya itu sejak aku masih diasuhnya dari bayi hingga digembleng menjadi seorang pendekar di puncak Gunung S
“Itu Kiai, Mas Arya katanya dia datang dari Pulau Dewata,” Arif mundur selangkah lalu membalikan tubuhnya menyamping diiringi menunjuk dengan jempol tangannya ke arah Arya.Dari jarak beberapa langkah dari pintu ruangan itu Arya terlihat memberi hormat dengan adab sopan santun seperti yang kerap dilakukan para santri di sana pada Kiai Bimo saat bertemu, Kiai Bimo pun membalas dengan senyum dan sikap yang ramah dan sopan pula.“Assalamu alaikum,” ucap Arya memberi salam.“Waalaikum Salam, mari kisanak silahkan masuk,” balas Kiai Bimo lalu mengajak Arya masuk ke dalam ruangan itu.“Terima kasih Kiai,” ucap Arya sambil melangkah masuk, seiring dengan itu ia pun berterima kasih pada Arif yang telah mengantarnya bertemu dengan pemilik pemondokan itu.Arif tidak langsung pergi meninggalkan mereka, melainkan ikut masuk ke dalam ruangan setelah Kiai Bimo memberi isyarat padanya untuk membuatkan minum untuk Arya. Setelah meletakan 2 cangkir teh hangat di atas tikar pandan di depan Kiai Bimo d
“Ya, agar para warga juga mengetahui di samping tugas giliran ronda tiap malam juga akan diadakan tugas giliran memantau orang luar yang akan masuk ke Desa Karapan terutama dari arah Desa Sampang, dari seberang hutan di ujung kawasan desa ini,” seluruh pria yang ada di pendopo mengangguk faham mendengar penjelasan dari Mahfud.Pesta minuman keras yang berlangsung di depan Padepokan Gagak Hitam kian menjadi-jadi, Sandaka dan seluruh anak buahnya benar-benar telah mabuk. Beberapa orang di antara mereka ada yang tumbang tergeletak di tanah, karena tak mampu lagi menahan keseimbangan tubuhnya yang oleng akibat pengaruh arak dan tuak yang terlalu banyak mereka minum.Sandaka sendiri sekarang dibantu Sabo dan 2 orang anak buahnya memapah ke kamarnya, setelah sebelumnya muntah dan sempoyongan di depan padepokan itu. Anehnya mereka justru ketagihan dan sangat senang melakukan pesta minuman keras hingga mabuk sedemikian rupa, meskipun mereka terkadang tak sadarkan diri dan tidur di sembarang t
“Benar Ketua, tidak sia-sia kita datang dan mendirikan padepokan di pulau ini,” ujar Sabo yang juga sudah setengah mabuk.“Sayang sekali Ketua, di sini tidak ada wanita yang dapat kita jadikan pelengkap pesta kita malam ini. Ha.. Ha.. Ha..!” seru salah seorang dari anggota padepokan itu.“Ha.. Ha.. Ha..! Kau benar, tapi jangan kuatir di pesta-pesta kita berikutnya kita akan bawa para wanita dari desa-desa kawasan pulau ini untuk bersenang-senang di sini..! Kau mau yang kurus atau yang gembrot, Sabo?” kelakar Sandaka dengan tawanya semakin menggelegar.“Ha.. Ha.. Ha..!” suara tawa makin riuh terdengar saat berpadunya tawa dari puluhan anggota Padepokan Gagak Hitam itu.*****Sebuah perahu yang tadi melaju cukup kencang sebelum hari gelap, kini dibiarkan saja mengapung tenang di tengah-tengah lautan oleh sosok berpakaian putih di atasnya. Ia duduk santai sambil mengarahkan pandangan ke sekeliling lautan, sesekali dia tampak mengaruk-garuk lehernya. “Malam ini tak ada bulan dan bintang
Sore itu para anak buah Sandaka selesai membangun gudang di samping kanan bangunan Padepokan Gagak Hitam itu, mereka bukan saja puluhan orang jumlahnya namun juga cekatan hingga gudang itu cepat selesai.“Ketua, mereka telah selesai membangun gudang di sisi kanan padepokan ini,” Sabo datang menghampiri Sandaka yang tengah berada di kamarnya sembari memberi laporan.“Bagus, sekarang perintahkan mereka untuk memindahkan seluruh bahan makanan baik dari rumah para warga maupun yang ada di ruangan padepokan ini ke gudang.”“Baik Ketua,” Sabo pun mohon diri untuk kembali menemui para anak buah yang baru saja menyelesaikan pembangunan gudang yang cukup besar.“Karena gudang ini telah selesai, Ketua memerintah kalian untuk memindahkan semua bahan makanan di rumah-rumah warga ke sini, begitu pula dengan yang ada di salah satu ruangan padepokan,” tutur Sabo memberi perintah.“Baik Kang Sabo,” seru mereka lalu melaksanakan apa yang diperintahkan itu.Selesai memindahkan semua bahan makanan itu k