“Aku rasa dia tidak perlu untuk turun tangan hanya untuk menangkap dan melumpuhkan seorang pengacau, makanya aku akan membuat surat memohon bantuan kepadanya untuk mengatasi permasalahan itu. Tentang siapa dan berapa orang yang akan ia utus nanti, itu semua aku serahkan kepadanya,” tutur Saka Galuh.“Baiklah yang mulia hamba akan bersiap-siap untuk berangkat ke Pulau Jawa 2 hari ke depan, apakah ada hal lain yang musti hamba laksanakan yang mulia?”“Tidak ada Brana, kau hanya aku tugaskan untuk mengantarkan suratku ke Lembah Neraka 2 hari lagi. Sekarang kau boleh meninggalkan ruangan ini,” ujar Saka Galuh.“Baik yang mulia, hamba mohon diri,” setelah memberi hormat salah seorang utusan Kerajaan yang bernama Brana meninggalkan ruangan itu.****Di dangau di tepian sawah Desa Temanggung, Arya berdiri dari duduknya setelah mencicipi beberapa potong panganan yang dibungkus daun pisang dan meneguk secangkir teh.“Terima kasih aku ucapkan untuk kisanak semuanya yang telah mengizinkan aku un
“Aku memang suka mengembara Paman, jadi aku sendiri kadang tak tahu tujuannya ke mana. Aku hanya mengikuti arah kata hatiku saja, Paman Wayan sekeluarga sangat berjasa karena telah menolongku saat terdampar tak sadarkan diri di tepi pantai, makanya aku ingin tahu seluruh kawasan di Pulau Dewata ini dan akan membantu mereka sebagai balas budi,” tutur Arya.“Wayan? Apa nama Paman angkatmu itu hanya Wayan saja?” pria pemilik dangau terkejut lalu bertanya dengan rasa penasarannya.“Wayan Bima, itulah nama lengkapnya.”“Apa? Jadi kamu keponakan angkat sahabatku Wayan Bima?!” seru pria itu kembali terkejut hingga terperanjat dari duduknya.“Jadi Paman sahabat Paman Wayan?” Arya juga terkejut tak menyangka.“Benar Arya, namaku Aji Gandring. Kami berdua berteman sudah lama sejak masih mengabdi di istana Kerajaan Dharma sewaktu Prabu Swarna Dipa memimpin,” tutur pria pemilik dangau yang merupakan salah seorang sahabat Wayan Bima bernama Aji Gandring.“Senang bertemu denganmu Paman Aji,” Arya m
“Wah, indah sekali pemandangan di sekitaran rumah Paman ini. Di lembah ada sungai yang jernih dan di seberang terdapat hutan dengan pepohonan rapat berdaun lebat menghijau,” puji Arya terkesima akan pemandangan indah yang tersaji di sekitar rumah itu.“Di bukit sana kami membuat kebun, berbagai macam buah dan sayur-sayuran,” Aji menunjuk ke arah selatan di mana di sana terdapat sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi.“Apa hasil kebun itu sering Paman bawa untuk ke pasar untuk di jual?”“Tentu saja Arya, kadang 2 kali seminggu aku membawa buah-buahan dan sayuran segar ke pasar di kota raja.”“Aku pun sering ke pasar itu bersama Paman Wayan beberapa hari belakangan ini menjual ikan-ikan hasil kami melaut, apa Paman menyamar juga seperti yang Paman Wayan lakukan ketika hendak ke pasar di kota raja itu?”“Tentu saja Arya, kalau tidak pasti para prajurit yang bertugas di sana akan mengenaliku,” jawab Aji Gandring.“Apa di dekat sini tidak ada rumah selain rumah Paman ini?”“Tidak ada Arya,
“Mungkin karena kamu telah lama tidak pulang dan bertemu dengannya, makanya saat aku menyinggung mengenai Ibumu kamu langsung rindu padanya.”“Bukan begitu Bi, masalahnya Ibuku itu jauh berada di Pulau Andalas sementara Ayahku telah meninggal sejak aku masih berusia 5 tahun,” jelas Arya.“Jadi Ayahmu sudah meninggal sejak kamu masih kecil?” kali ini Aji yang bertanya dengan rasa terkejutnya.“Ia Paman, dia meninggal karena dibunuh oleh gerombolan penjahat yang dibayar oleh sosok raja yang belakang diketahui mempunyai dendam pada Ayahku. Aku dibawa dan diasuh oleh seorang Nenek yang sekaligus menjadi Guruku di Puncak Gunung Sumbing di Pulau Jawa,” tutur Arya.“Jadi Ayahmu dibunuh oleh orang-orang suruhan seorang raja?!” kembali Aji Gandring dan Wetri terkejut.“Benar Paman, secara tidak langsung aku pun menyimpan dendam pada mereka sejak aku diminta turun gunung oleh Guruku dan mengembara hingga ke Pulau Andalas. Sampai saat ini aku belum menemukan pembunuh Ayahku itu,” tutur Arya namp
“Baik Paman, sebaiknya memang besok pagi saja aku melanjutkan perjalanan karena tak lama lagi malam akan tiba,” ujar Arya lalu mengikuti Aji Gandring menuruni lereng lembah menuju sungai yang berada di belakang rumah itu.*****Malam di Desa Kuta yang sejak sore didera hujan lebat semakin tampak gelap begitu pula hawa dinginnya kian terasa, di pendopo rumah terlihat Wayan Bima dan Seno tengah bercakap-cakap, begitu pula di dalam rumah di ruangan depan Lasmi, Sekar, Diah dan Weni berbincang-bincang setelah mereka semua makan malam bersama di rumah itu.“Arya kok belum juga kembali ya Mas Wayan?” Seno bertanya.“Mudah-mudahan dia baik-baik saja, mungkin dia masih ingin menjelajahi seluruh kawasan Pulau Dewata ini. Maklumlah dia seorang pendekar yang suka mengembara, tapi tujuan utamanya selain untuk menghindari agar mata-mata istana tidak mengetahui keberadaan kita di desa ini, Arya juga ingin menjaga para warga desa dari tindak kesewenang-wenangan prajurit Kerajaan seperti yang dialami
“Baik Paman, nanti aku akan katakan usulan Paman itu pada Paman Wayan.”“Dulu kami gagal melakukan pemberontakan karena tidak menyusun rencana yang matang dan tepat, hanya para sahabat dan beberapa orang pengikutnya saja dan itu tentu sangat jauh dari kata seimbang menghadapi ratusan prajurit Kerajaan.,” jelas Aji yang seperti telah diketahui Arya dari Wayan Bima jika mereka dulu pernah melakukan pemberontakan ke istana namun tak berhasil.“Apa dengan diundangnya semua kepala desa di kawasan pulau ini akan memberi dampak dengan kekuatan kita nantinya Paman?”“Tentu saja Arya, warga desa di kawasan Pulau Dewata ini jumlahnya ratusan ribu jiwa dan sebagian tentu merupakan pria yang telah dewasa yang bisa saja kita ikut sertakan dalam rencana kita, meskipun mereka tidak memiliki keahlian bela diri dan persenjataan seperti para prajurit istana akan tetapi dengan jumlah mereka yang begitu banyak dan berkali-kali lipat prajurit dan penghuni istana Kerajaan, aku rasa dapat membawa dampak yan
Setelah menemui Arga Komang Panglima Kerajaan, Brana yang diantar dua orang prajurit dengan mengendarai kereta kuda pergi menuju pelabuhan. Letak pelabuhan itu sendiri berada di pinggiran pantai di kawasan Desa Kuta, meskipun begitu tidak ada seorang pun dari pihak istana Kerajaan yang mengetahui kediaman Wayan Bima walau rumah mantan petinggi istana Kerajaan itu tidak jauh dari pelabuhan.Di pelabuhan itu sendiri selalu ada beberapa prajurit istana yang ditugaskan di sana, mereka secara bergiliran setiap harinya bertugas. Dulu para prajurit hanya ditugaskan untuk mengawasi dan menjaga keamanan di kawasan pelabuhan itu, namun sekarang justru mereka diperintah tidak mengutamakan menjaga keamanan di sana melainkan untuk menarik biaya bagi pedagang yang datang dari Pulau Jawa untuk berdagang ke Pulau Dewata itu.Hasil yang diperoleh setiap kali ada kapal yang merapat di pelabuhan cukup lumayan banyak karena pedagang yang datang dari Pulau Jawa itu cukup banyak, begitu pula dengan pedaga
“Lusa sore, memangnya ada apa Wijaksa?” Wayan Bima balik bertanya.“Jika memang sudah dipastikan acara itu besok sore, aku akan meminta para wanita warga desa kita ini untuk memasak sebagai hindangan untuk para tamu saat waktu istirahat pertemuan itu,” tutur Wijaksa.“Ya itu sangat bagus, dan aku mengucapkan terima kasih sebelumnya padamu yang telah banyak membantu acara pertemuan yang akan diadakan lusa sore,” ucap Wayan Bima.“Tak perlu berterima kasih Mas, karena ini semua untuk kesejahteraan kita di masa yang akan datang. Sudah sepatutnya pula aku dan seluruh warga Desa Kuta ini ikut serta dalam rencana yang akan dilaksanakan itu,” penuturan Wijaksa itu dipertegas oleh beberapa pria warga desa yang dibawa ke pendopo itu dengan anggukan kepala tanda mereka setuju.“Ya moga saja nanti rencana ini akan berjalan seperti yang kita harapkan, tujuan kita memberontak bukan atas dasar membangkang pada pihak Kerajaan melain untuk kesejahteraan rakyat yang selama ini tertindas dan hidup penu
"Saya ingat pada kisah yang ditulis dalam sebuah kitab kuno, seekor kancil yang lari ketakutan di tengah hutan ditangkap oleh Penguasa Rimba karena dituduh mencuri makanan. Ternyata tuduhan itu kemudian tidak pernah terbukti, karena tidak pernah diperiksa apa yang sebenarnya menyebabkan si kancil melarikan diri, padahal dia melarikan diri karena ketakutan dikejar babi hutan dan srigala yang berlomba hendak memangsanya. Seorang pemuda yang tidak diketahui kesalahannya ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara. Mengapa tidak seorangpun yang memikirkan untuk menyelidiki Adipati Gadra dan Adipati Seto Wirya? Saya tidak memerlukan jawaban karena saya tahu semua orang yang ada di sini adalah orang-orang pandai yang tidak layak diajari…" tutur Dewi Sasanti."Sasanti!" hardik Sang Prabu dengan muka merah padam dan marah sekali."Keluar kau dari ruangan ini!" sambungnya.Putri Sang Prabu haturkan sembah lalu membalik dan berlalu dari ambang pintu dengan cepat, Pendeta Durpala menarik nafas lalu
"Saya akan mengantarkanmu sampai ke tepi hutan sana." ujar Arya."Kau baik sekali, tapi kita tidak bisa menunggangi kuda ini berdua.""Asal kau tidak memacu binatang itu secepat kau memacunya sewaktu dikejar harimau tadi, saya pasti dapat mengikutimu," kata Arya pula.Dewi Sasanti tertawa lepas lalu ditepuknya pinggang Drigo, kuda itu mulai bergerak. Mula-mula perlahan dan Arya berlari mengikutinya dari belakang sambil sekali-sekali memberi tahu arah mana yang harus diambil, jika hendak ke luar dari hutan itu.Dewi Sasanti mempercepat lari kudanya sambil sesekali melirik ke belakang, setiap dia berpaling dilihatnya Arya tetap berada dalam jarak yang sama dari kudanya. Dicobanya lebih mempercepat lari Drigo lalu dia melirik lagi, tetap saja Arya dilihatnya berada dalam jarak yang sama.“Pemuda ini bukan orang sembarangan, dia pasti sosok pendekar yang memiliki ilmu kesaktian yang mempuni. Ah, kalau dia mau membaktikan diri di Istana Kerajaan Kediri, niscaya Ayahanda mau memberikan jab
Harimau besar itu mengaum dahsyat, tubuhnya menerkam ke depan. Dua kaki depannya siap menekan ke arah dada, sedang mulutnya yang terbuka lebar mencari sasaran di leher Dewi Sasanti. Hanya sesaat lagi binatang buas itu akan melahap mangsanya, tiba-tiba dari balik sebatang pohon menderu satu sambaran angin yang sangat deras.Angin itu menghantam tubuh harimau itu hingga terpental beberapa tombak, terkapar di tanah, bangun terhuyung-huyung. Kepalanya di geleng-gelengkan lalu terdengar aumannya yang menggetarkan rimba belantara itu, untuk beberapa saat lamanya binatang itu hanya mengaum saja.Rupanya hantaman angin keras tadi walau tidak mendatangkan cidera tapi cukup membuatnya nanar, saat itu Dewi Sasanti terduduk di tanah dengan muka pucat. Dia tidak mampu lagi berteriak, apalagi beranjak menyelamatkan diri.Di saat Dewi Sasanti seperti pasrah menerima kematian di tangan harimau, tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat di depannya. Gadis itu melihat seorang pemuda berambut gondrong berpakai
"Tadinya Ananda sengaja merahasiakan apa yang telah terjadi sekitar beberapa hari lalu, tapi saat ini Ananda harus memutuskan untuk rnenceritakannya agar Ayahanda bersedia memenuhi permintaan Ananda membebaskan pemuda itu."Lalu Raden Ayu Dewi Sasanti menuturkan suatu peristiwa yang selama ini tidak diketahui oleh Sang Prabu maupun Permaisuri.Pagi itu ketika seorang pengasuh di Istana memberi tahu bahwa dua orang pengawal yang biasa melatihnya menunggang kuda siap menunggu, puteri bungsu Sang Prabu mengatakan bahwa dirinya kurang sehat, latihan hari itu ditunda saja sampai besok.Sebenarnya Dewi Sasanti punya rencana sendiri yang sudah sejak lama ingin dilakukannya di sebuah hutan kecil di Timur Laut Kerajaan Kediri itu, tak berapa jauh dari Gunung Kawi sejak lama diketahui orang banyak terdapat kupu-kupu dari berbagai jenis ukuran dan bentuk.Warnanya juga macam-macam dan sangat menarik hati, Raden Ayu Dewi Sasanti ingin sekali pergi ke sana untuk melihat dan menangkap binatang-bina
Arya lalu ulurkan kedua tangannya, seorang prajurit cepat membelenggu kedua pergelangan tangan Arya dengan belenggu besi, sementara beberapa orang prajurit lainnya sibuk menolong 5 kawan mereka yang cidera."Bawa tawanan ini ke penjara di tembok Timur Istana. Jangan lepaskan belenggunya, dua orang harus selalu mengawal pintu penjara siang malam." kata Panglima Suta Soma pada bawahannya, beberapa prajurit segera menggiring Arya meninggalkan ruangan itu.Sebelum melangkah pergi Pendekar Rajawali Dari Andalas berhenti di depan Suta Soma, dia keluarkan suara bersiul lalu berkata,"Terima kasih atas perlakuan yang sangat mengesankan ini, saya merasa sebagai tahanan terhormat. Bukan maling bukan pencuri juga bukan perampok, Kau tak usah kuatir saya akan melarikan diri. Karena itu saya tidak memerlukan belenggu besi ini!" Arya salurkan tenaga dalam, kedua tangannya bergetar.“Traakk!” belenggu itu terbelah dua.Selagi semua orang terkesiap menyaksikan kejadian itu, Arya berpaling ke arah San
"Saya bisa memberikan bukti yang Sang Prabu minta," berkata Arya."Bisa ditanyakan pada beberapa orang prajurit istana kecil yang sempat saya telanjangi di sungai!"Paras Patih Samba Dirga dan Panglima Suta Soma jadi berubah, para Pendeta tundukkan kepala, beberapa di antaranya senyum-senyum."Cukup!" Sri Baginda berdiri dari duduknya."Kau tidak bisa memberikan bukti, Malah bicara ngawur!" Arya jadi jengkel."Sang Prabu, kewajiban saya hanya melapor. Karena saya merasa Kerajaan Kediri ini dalam bahaya. Bukan tugas saya memberikan bukti-bukti, itu adalah tugas orang-orang Kerajaan Kediri sendiri untuk menyelidiki kebenarannya. Saya bicara apa adanya, jika saya berkata dusta saya bersedia dihukum!""Orang muda!" bentak Suta Soma."Kau tidak layak mengajari Sang Prabu!" Arya menatap wajah Panglima Kerajaan Kediri itu sesaat lalu berkata,"Saya yang tolol mana berani mengajari Raja, jika tidak dipercaya sebaiknya saya pergi saja dari sini." Arya memutar tubuhnya."Kau ku tuduh memberi ke
"Mengenai penghinaan yang kita lakukan terhadap pimpinan utusan Raja Cina itu, apakah kalian tidak melihat bahwa itu adalah lebih ringan dibanding dengan penghinaan yang mereka lemparkan pada kita. Mereka meminta agar kita tunduk kepada Kerajaan Cina!" pelipis Sang Prabu tampak bergerak-gerak tanda dia menahan amarah yang besar."Raja Cina itu boleh mengirim serdadunya ke sini, dia boleh menyerbu Kerajaan Kediri. Kita akan menghajar mereka sampai hancur, Tidak ada satu Kerajaan pun mampu menundukkan Kerajaan lain yang terpisah jauh. Mereka mungkin bisa menang, tapi hanya sesaat. Begitu jalur perbekalan mereka putus, mereka akan jadi sasaran hantu kelaparan atau senjata lawan!"Panglima Suta Soma dalam hati mengagumi kecerdikan jalan pikiran Sang Prabu, tetapi bagaimana kalau Adipati Seto Wirya mempergunakan kesempatan bergabung dengan pasukan Cina untuk menyerbu Kerajaan Kediri? Rasa-rasanya Kerajaan Kediri hanya akan sanggup bertahan satu hari satu malam. Setelah itu… Hal itulah yang
Dia maklum petir dan guntur tadi merupakan suatu pertanda yang tidak baik, Mungkin tidak baik bagi dirinya tapi mungkin sekali bagi Kerajaan.“Ya Dewa Bhatara, hal apakah yang akan terjadi di Kerajaan Kediri ini?” berucap Sri Baginda dalam hatinya.Sang Prabu naik ke atas kereta, rombongan yang baru saja melakukan upacara keagamaan itu bergerak cepat menuju istana Kerajaan. Di tengah jalan, Patih Samba Dirga yang duduk di samping Sri Baginda berkata."Sang Prabu jika saya boleh mengusulkan, begitu sampai di istana sebaiknya kita mengadakan pertemuan. Sebenarnya hal ini sudah agak lama kami inginkan, pertanda di candi tadi membuat saya merasakan pertemuan itu suatu hal yang penting dan mendesak untuk dilaksanakan." Sang Prabu termenung mendengar kata-kata patihnya itu, namun akhirnya dia menganggukkan kepala."Beritahu yang lain-lain," katanya.Begitu sampai di istana Kerajaan Sang Prabu langsung masuk ke sebuah ruangan yang biasa dipergunakan untuk pertemuan-pertemuan penting dan mend
"Kalau kau memang mau mati, tidak usah menunggu lama. Di hutan ini banyak binatang buas dan binatang berbisa. Kau tinggal memilih mati cara bagaimana? Diterkam harimau atau dipatuk ular berbisa?!" mendengar kata-kata Adipati Gadra itu paras Dewa Penangis berubah, dia seperti ketakutan tetapi anehnya raut mukanya justru kelihatan kuyu sedih."Kalau begitu biar aku ikut bersama Raden," kata Dewa Penangis dan cepat bangkit berdiri."Ikut aku itu sudah pasti Dewa Penangis, tapi aku mau tahu di mana saudara mudamu yang berjuluk Dewa Pesing itu? Sebenarnya aku ingin dia ikut bergabung bersama kami.""Ah, si kentut gendut Dewa Pesing itu aku tidak pernah mengaku saudara padanya. Aku selalu diejeknya, dihina dan ditertawai.""Itu urusanku nanti kalau dia masih begitu terhadapmu, yang penting kau tahu di mana kita bisa menemukannya?" tanya Adipati Gadra, Dewa Penangis Menggeleng."Coba lihat di telapak tanganmu," kata Adipati Gadra pula."Ah, kau betul Raden. Aku baru ingat…"Masih sesenggukan