“Namaku Arya, aku hanya ingin tahu kawasan desa-desa di Pulau Dewata ini. Kalau boleh tahu aku ini berada di kawasan desa apa?” pria berpakaian putih yang ternyata sang pendekar memperkenalkan diri kemudian balik bertanya.“Persawahan ini berada di Desa Temanggung, Mas Arya berasal dari mana? Kenapa ingin tahu seluruh kawasan desa-desa di Pulau Dewata ini?”“Aku berasal dari Pulau Jawa, namun beberapa hari ini aku menginap di rumah Paman angkatku di Desa Kuta. Aku suka mengembara jadi ingin tahu banyak tentang kawasan-kawasan di pulau ini, Mbak.”“Oh, Mas seorang pengembara dan memiliki Paman angkat di Desa Kuta?”“Benar Mbak, apakah sawah ini milik bersama? Hingga sepertinya kalian terlihat beramai-ramai bercocok tanam di sini?” tanya Arya seraya arahkan pandangannya ke para petani yang beramai-ramai menanam padi di hamparan sawah depan dangau itu.“Tidak Mas, sawah ini milik Ranti dan suaminya. Kami di sini hanya membantu mereka menanam padi, seperti kebiasaan kami yang selalu bergo
“Namanya Arya, Dia berasal dari Desa Kuta. Maksudnya singgah hanya untuk bertanya tentang kawasan desa ini Kang Mas,” jawab Ranti.“Mari Mas Arya, ikut gabung makan bersama kami,” kali ini pria yang duduk di sebelah Ranti yang menawarkan.“Terima kasih Mas, silahkan dilanjut saja aku masih kenyang,” kembali Arya menolak diiringi senyum ramahnya.“Kalau begitu Mas Arya cicipi saja panganan dan secangkir teh hangat ini,” Ranti membawa secangkir teh dan bungkusan panganan ringan di daun dan meletakannya di potongan kayu di depan Arya duduk.“Wah, jadi tak enak dan merepotkan Mbak Ranti serta yang lain saja. Sebenarnya aku akan mohon diri untuk melanjutkan perjalanan,” Arya merasa sungkan.“Tidak merepotkan kok Mas, hanya panganan dan secangkir teh hangat saja,” ujar Ranti kemudian kembali duduk di samping suaminya.“Duduk saja di sini dulu sembari istirahat, Mas Arya. Jika memang akan melanjutkan perjalanan nanti saja selepas tengah hari, sekarang cuaca masih sangat panas,” ujar suami Ra
“Aku rasa dia tidak perlu untuk turun tangan hanya untuk menangkap dan melumpuhkan seorang pengacau, makanya aku akan membuat surat memohon bantuan kepadanya untuk mengatasi permasalahan itu. Tentang siapa dan berapa orang yang akan ia utus nanti, itu semua aku serahkan kepadanya,” tutur Saka Galuh.“Baiklah yang mulia hamba akan bersiap-siap untuk berangkat ke Pulau Jawa 2 hari ke depan, apakah ada hal lain yang musti hamba laksanakan yang mulia?”“Tidak ada Brana, kau hanya aku tugaskan untuk mengantarkan suratku ke Lembah Neraka 2 hari lagi. Sekarang kau boleh meninggalkan ruangan ini,” ujar Saka Galuh.“Baik yang mulia, hamba mohon diri,” setelah memberi hormat salah seorang utusan Kerajaan yang bernama Brana meninggalkan ruangan itu.****Di dangau di tepian sawah Desa Temanggung, Arya berdiri dari duduknya setelah mencicipi beberapa potong panganan yang dibungkus daun pisang dan meneguk secangkir teh.“Terima kasih aku ucapkan untuk kisanak semuanya yang telah mengizinkan aku un
“Aku memang suka mengembara Paman, jadi aku sendiri kadang tak tahu tujuannya ke mana. Aku hanya mengikuti arah kata hatiku saja, Paman Wayan sekeluarga sangat berjasa karena telah menolongku saat terdampar tak sadarkan diri di tepi pantai, makanya aku ingin tahu seluruh kawasan di Pulau Dewata ini dan akan membantu mereka sebagai balas budi,” tutur Arya.“Wayan? Apa nama Paman angkatmu itu hanya Wayan saja?” pria pemilik dangau terkejut lalu bertanya dengan rasa penasarannya.“Wayan Bima, itulah nama lengkapnya.”“Apa? Jadi kamu keponakan angkat sahabatku Wayan Bima?!” seru pria itu kembali terkejut hingga terperanjat dari duduknya.“Jadi Paman sahabat Paman Wayan?” Arya juga terkejut tak menyangka.“Benar Arya, namaku Aji Gandring. Kami berdua berteman sudah lama sejak masih mengabdi di istana Kerajaan Dharma sewaktu Prabu Swarna Dipa memimpin,” tutur pria pemilik dangau yang merupakan salah seorang sahabat Wayan Bima bernama Aji Gandring.“Senang bertemu denganmu Paman Aji,” Arya m
“Wah, indah sekali pemandangan di sekitaran rumah Paman ini. Di lembah ada sungai yang jernih dan di seberang terdapat hutan dengan pepohonan rapat berdaun lebat menghijau,” puji Arya terkesima akan pemandangan indah yang tersaji di sekitar rumah itu.“Di bukit sana kami membuat kebun, berbagai macam buah dan sayur-sayuran,” Aji menunjuk ke arah selatan di mana di sana terdapat sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi.“Apa hasil kebun itu sering Paman bawa untuk ke pasar untuk di jual?”“Tentu saja Arya, kadang 2 kali seminggu aku membawa buah-buahan dan sayuran segar ke pasar di kota raja.”“Aku pun sering ke pasar itu bersama Paman Wayan beberapa hari belakangan ini menjual ikan-ikan hasil kami melaut, apa Paman menyamar juga seperti yang Paman Wayan lakukan ketika hendak ke pasar di kota raja itu?”“Tentu saja Arya, kalau tidak pasti para prajurit yang bertugas di sana akan mengenaliku,” jawab Aji Gandring.“Apa di dekat sini tidak ada rumah selain rumah Paman ini?”“Tidak ada Arya,
“Mungkin karena kamu telah lama tidak pulang dan bertemu dengannya, makanya saat aku menyinggung mengenai Ibumu kamu langsung rindu padanya.”“Bukan begitu Bi, masalahnya Ibuku itu jauh berada di Pulau Andalas sementara Ayahku telah meninggal sejak aku masih berusia 5 tahun,” jelas Arya.“Jadi Ayahmu sudah meninggal sejak kamu masih kecil?” kali ini Aji yang bertanya dengan rasa terkejutnya.“Ia Paman, dia meninggal karena dibunuh oleh gerombolan penjahat yang dibayar oleh sosok raja yang belakang diketahui mempunyai dendam pada Ayahku. Aku dibawa dan diasuh oleh seorang Nenek yang sekaligus menjadi Guruku di Puncak Gunung Sumbing di Pulau Jawa,” tutur Arya.“Jadi Ayahmu dibunuh oleh orang-orang suruhan seorang raja?!” kembali Aji Gandring dan Wetri terkejut.“Benar Paman, secara tidak langsung aku pun menyimpan dendam pada mereka sejak aku diminta turun gunung oleh Guruku dan mengembara hingga ke Pulau Andalas. Sampai saat ini aku belum menemukan pembunuh Ayahku itu,” tutur Arya namp
“Baik Paman, sebaiknya memang besok pagi saja aku melanjutkan perjalanan karena tak lama lagi malam akan tiba,” ujar Arya lalu mengikuti Aji Gandring menuruni lereng lembah menuju sungai yang berada di belakang rumah itu.*****Malam di Desa Kuta yang sejak sore didera hujan lebat semakin tampak gelap begitu pula hawa dinginnya kian terasa, di pendopo rumah terlihat Wayan Bima dan Seno tengah bercakap-cakap, begitu pula di dalam rumah di ruangan depan Lasmi, Sekar, Diah dan Weni berbincang-bincang setelah mereka semua makan malam bersama di rumah itu.“Arya kok belum juga kembali ya Mas Wayan?” Seno bertanya.“Mudah-mudahan dia baik-baik saja, mungkin dia masih ingin menjelajahi seluruh kawasan Pulau Dewata ini. Maklumlah dia seorang pendekar yang suka mengembara, tapi tujuan utamanya selain untuk menghindari agar mata-mata istana tidak mengetahui keberadaan kita di desa ini, Arya juga ingin menjaga para warga desa dari tindak kesewenang-wenangan prajurit Kerajaan seperti yang dialami
“Baik Paman, nanti aku akan katakan usulan Paman itu pada Paman Wayan.”“Dulu kami gagal melakukan pemberontakan karena tidak menyusun rencana yang matang dan tepat, hanya para sahabat dan beberapa orang pengikutnya saja dan itu tentu sangat jauh dari kata seimbang menghadapi ratusan prajurit Kerajaan.,” jelas Aji yang seperti telah diketahui Arya dari Wayan Bima jika mereka dulu pernah melakukan pemberontakan ke istana namun tak berhasil.“Apa dengan diundangnya semua kepala desa di kawasan pulau ini akan memberi dampak dengan kekuatan kita nantinya Paman?”“Tentu saja Arya, warga desa di kawasan Pulau Dewata ini jumlahnya ratusan ribu jiwa dan sebagian tentu merupakan pria yang telah dewasa yang bisa saja kita ikut sertakan dalam rencana kita, meskipun mereka tidak memiliki keahlian bela diri dan persenjataan seperti para prajurit istana akan tetapi dengan jumlah mereka yang begitu banyak dan berkali-kali lipat prajurit dan penghuni istana Kerajaan, aku rasa dapat membawa dampak yan
“Baiklah jika pilihanmu begitu, jangan salahkan aku jika nanti Gagak Hitam Dari Utara hanya tinggal nama..! He.. he.. he..!” seru Arya lalu cengengesan kembali.“Kau dalang dari semua ini hingga membuat padepokanku hancur dan seluruh anggotaku tewas..! Aku bersumpah akan membunuhmu saat ini juga..!” Sandaka tiba-tiba murka karena melihat para anak buahnya tewas bergelimpangan serta bangunan padepokannya ambruk di lalap api.Ia berdiri tegak lalu berkomat-kamit, kedua telapak tangannya ia rapatkan sejajar dengan kening. Asap berwana hitam bercampur dengan warna kuning muncul di sela-sela telapak tangan yang ia rapatkan itu, makin lama makin mengepul.“Ajian Gagak Meraga Sukma...! Hiyaaaaaaat...!” seketika tubuh Sandaka menjadi dua, dengan posisi yang sama. Keduanya kemudian bergerak dan sekarang berada di sisi kanan dan kiri tubuh Arya berdiri berjarak 5 tombak, salah satu telapak tangan dari kedua sosok tubuh kembar itu di rentangkan ke depan.“Wuuuuuuuus..! Wuuuuuuuuuus..! Blaaaaaaaa
“He.. he.. he..! Baru disentil sedikit saja kau sudah kasak kusuk, benar-benar gagak lumpuh..!” Arya cengengesan membuat Sandaka makin gusar.“Jangan sombong kau bocah edan..! Hiyaaaaat...! Wuuuuuus..!” kedua kaki Sandaka melesat seperti hendak menggunting bagian pergelangan kaki Arya, dengan cepat pula Arya lambungkan tubuhnya ke udara hingga sapuan itu hanya menerpa udara kosong.“Wuuuuuuuuuuuuus..! Deeeeeees..! Bruuuuuk..!” tiba-tiba saja sebuah sinar hitam melesat cepat membuat Arya terkejut dan hanya menangkis dengan tangan kosong bertenaga dalam rendah, akibatnya sang pendekar yang masih berada di udara terpental bergulung-gulung lalu jatuh tertelungkup di tanah.“Sial..! Curang kau gagak jelek..!” umpat Arya sambil berdiri dan mengeletik-letik pergelangan tangannya yang terasa panas dan keram.“Ha.. ha.. ha..! Bagaimana ajian Gagak Menepuk Semut ku ampuh kan?” Sandaka tertawa senang karena telah berhasil membuat Arya terjatuh tertelungkup di tanah dengan melepaskan ajian yang i
Sementara beberapa santri yang ditunjuk Kiai Bimo mendampingi Mantili tentu saja para santri terbaik dari segi bela diri, mereka diperkirakan akan cukup berpengaruh bergabung dengan para warga menghadapi anggota Padepokan Gagak Hitam.“Saudara-saudaraku semuanya, terima kasih kalian telah berkumpul di sini. Aku sebagai kepala Desa Kidung mewakili seluruh warga desa juga menyampaikan permintaan maaf, karena tampa kami sadari telah terpengaruh oleh anggota Padepokan Gagak Hitam yang sesungguhnya mereka lah gerombolan penjahat telah membuat saudara-saudara kita di Desa Sampang terpaksa meninggalkan desa mereka itu akibat di serang dengan keji dan biadab,” ucap Suryo di depan ratusan orang gabungan dari 3 desa yang berkumpul di halaman itu.“Tidak apa-apa Paman Suryo, yang terpenting sekarang Paman dan seluruh warga di sini telah mengetahui tentang Padepokan Gagak Hitam itu,” ujar Mahfud.“Terima kasih, sekarang saudara dipersilahkan untuk memberi pengarahan sebagai pemimpin dalam rencana
“Wargaku semuanya, kalian aku minta hadir berkumpul di halaman ini menyambung dengan rencana Mas Arya yang aku katakan kemarin, beberapa di antara kalian akan aku pilih untuk ikut serta besok pagi ke Desa Kidung. Dari sana nantinya kita akan bersama-sama dengan para warga desa lainnya menyerang ke Padepokan Gagak Hitam yang kemarin pagi telah berusaha berbuat kekacauan di Desa Tengger ini, apa kalian bersedia?” tutur Karta Dimo.“Bersedia Mas Karta, orang-orang biadab seperti mereka harus ditumpas..!” seru para pria warga Desa Tengger yang berkumpul di halaman rumah kepala desa itu.“Baiklah sekarang aku akan memilih beberapa orang di antara kalian, karena sebagiannya musti tinggal dan menjaga desa kita ini selama kami nanti pergi bergabung dengan yang lainnya di Desa Kidung,” sambil berucap Karta Dimo memilih beberapa orang dari mereka untuk dibawa ikut serta besok pagi ke Desa Kidung.Sebelum gelap Mantili dan beberapa orang santri yang ditunjuk Kiai Bimo mendampingi muridnya itu ti
Sedangkan Arya yang saat ini menuju Desa Tengger tentu tidak akan merasa kesulitan pula dalam mewujudkan semua yang telah direncanakannya itu, sebab sebelumnya Karta selaku kepala desa itu juga berharap sesegera mungkin bergerak menumpas Padepokan Gagak Hitam yang telah membuat kekacauan di desanya.Kembali Kiai Bimo didatangi muridnya itu saat tengah melatih para santri ilmu bela diri di sebelah kiri bangunan-bangunan pemondokan, namun kali ini Mantili tidak melakukan serangan secara tiba-tiba seperti yang ia lakukan pada Gurunya itu saat Arya juga berada di sana, Mantili menghampiri Kiai Bimo dengan berjalan santai dan itu diketahui oleh pemilik pemondokan itu.“Hemmm, rupanya kamu telah kembali Mantili. Arya mana?” tanya Kiai Bimo.“Mas Arya tidak bisa ikut ke sini karena ada sesuatu yang musti ia rembukan dengan 3 orang kepala desa di Desa Karapan, ia memintaku untuk kembali sendiri menemui Eyang Guru di pemondokan ini.”“Merembukan sesuatu dengan 3 orang kepala desa? Kamu tahu pe
“Jadi sekarang apa yang musti aku lakukan dengan para warga di desa ini?”“Aku rasa hari ini mereka tidak akan datang ke desa ini untuk kembali menyerang, mereka tentunya akan menunggu sampai besok pagi karena jarak Padepokan Gagak Hitam dari Desa Tengger ini cukup jauh. Jadi Mas Karta dan seluruh warga desa ini tidak perlu terlalu kuatir cukup berjaga-jaga saja, kami juga akan pamit dulu kembali ke Desa Karapan,” ujar Arya.“Mas Arya dan Mbak Mantili akan kembali ke Desa Karapan?”“Benar Mas Karta, ada yang harus kami rembukan dengan beberapa kepala desa menyangkut rencana yang akan kita lakukan selanjutnya menumpas Padepokan Gagak Hitam itu,” jawab Arya.“Apa perlu aku ikut serta juga ke sana Mas Arya?”“Aku rasa tidak usah Mas, karena Mas Karta sudah mengetahui akan rencana yang akan kami lakukan pada Padepokan Gagak Hitam itu.”“Tapi aku dan warga Desa Tengger juga ingin ikut serta dalam menumpas Padepokan Gagak Hitam yang biadab itu, terlebih sebagian anggota mereka telah menyera
“Treeeeeeek... Teeekteeeeek! Tolooooooooooong...!” beberapa atap rumah mulai terbakar akibat lesatan obor-obor yang dilempar anggota Padepokan Gagak Hitam beriringan dengar pekikan para wanita warga desa itu.Bayangan putih dan ungu tiba-tiba bersamaan berkelebat cepat di udara, membuat para anggota Padepokan Gagak Hitam terkejut.“Blaaaaar..! Bruuuuuuuuuuuk..!” sebuah kilatan putih yang berasal dari telapak tangan salah satu sosok bayangan yang masih berkelebat di udara itu, menghantam para anggota Padepokan Gagak Hitam hingga belasan orang di barisan depan terpental dari tertelentang di tanah.Ternyata sosok bayangan yang melesatkan pukulan sewaktu masih berkelebat di udara itu adalah Arya, sementara Mantili saat ini tengah menghadang para anggota Padepokan Gagak Hitam yang lainnya.“Hiyaaaaaat..! Deeeeeees..! Deeeeeeees..! Bruuuuuuuk..!” tendangan memutar cepat dihantamkan wanita cantik berpakaian ungu itu pada beberapa anggota Padepokan Gagak Hitam yang hendak melakukan serangan b
Sementara beberapa warga yang tadi dibawa dari desa-desa yang setuju bergabung dengan padepokan itu, sama sekali tidak mengetahui jika para anggota Padepokan Gagak Hitam yang membawa mereka ke padepokan itu akan menyerang desa mereka saat itu juga.Kedatangan Arya dan Mantili kembali ke Desa Karapan tentu memunculkan rasa penasaran pada Mahfud dan Samin, kedua kepala desa itu membawa Arya dan Mantili ke dalam rumah tepatnya di ruangan depan karena sebelumnya sang pendekar memberitahu jika ada hal yang sangat rahasia sifatnya yang akan disampaikan.“Hal apa yang hendak Mas Arya sampaikan hingga harus dirahasiakan?” tanya Samin.“Begini, di antara Mas berdua siapa yang kenal dengan Suryo kepala Desa Kidung?” Arya balik bertanya.“Paman Suryo? Aku kenal dengan beliau, dan sering berkunjung ke Desa Kidung itu,” jawab Samin.“Aku juga Mas Arya,” tambah Mahfud.“Memangnya ada apa dengan Paman Suryo itu?” sambung Samin penasaran.“Setelah kami berdua menyelidiki, ternyata gerombolan orang ya
Pagi itu cuaca agak mendung, di beberapa kawasan terlihat awan hitam menyelimuti langit. Karena tak setetespun gerimis turun, Arya dan Mantili memutuskan untuk berpamitan pada Suryo dan keluarganya meninggalkan Desa Kidung.“Terima kasih Paman Suryo dan keluarga telah mengizinkan kami bermalam di sini, sekarang kami mohon diri untuk melanjutkan perjalanan kami,” ucap Arya.“Apa tidak sebaiknya nanti saja Arya, hari tampaknya mendung dan dikuatirkan akan turun hujan sebentar lagi.”“Tidak apa-apa Paman, mumpung hujan belum turun sebaiknya kami berangkat sekarang biar nanti dapat mencari tempat berteduh jika memang di perjalanan hujan turun.”“Baiklah jika memang begitu keinginan kalian kami pun tak dapat mencegah lagi, hati-hati di jalan.”“Baik Paman, Assalamu alaikum,” ucap Arya.“Waalaikum salam,” balas Suryo, Arya dan Mantili berjalan ke arah timur sesuai dengan yang mereka katakan pada kepala Desa Kidung itu.Setelah cukup jauh meninggalkan Desa Kidung itu, Arya mengajak Mantili u