Semua Bab Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua: Bab 101 - Bab 110

150 Bab

Bab 101: Perang Pikiran di Dalam Penjara

Malam di tengah perjalanan menuju ibukota terasa mencekam. Iring-iringan besar yang dipimpin oleh Gema dan Jaka perlahan melaju melewati jalanan sepi di hutan belantara, dengan ribuan tawanan perang dari Benua Barat berjalan dalam barisan panjang, dibelenggu rantai. Di tengah kelompok tawanan tersebut, dua sosok penting terlihat terpisah dari yang lainnya, terkurung dalam sebuah gerobak besi yang kuat. Mereka adalah Patih Kartanegara dan Komandan Arya Wisesa, dua sosok yang kini menjadi tahanan terpenting Kerajaan Langit Timur.Di dalam gerobak besi itu, suasana terasa berat. Rantai tebal membelenggu tangan dan kaki mereka, membuat gerak mereka terbatas. Meskipun demikian, keduanya tetap memancarkan aura kepercayaan diri dan kekuatan yang luar biasa. Patih Kartanegara duduk tenang dengan pandangan tajam yang seolah sedang merencanakan sesuatu, sementara Arya Wisesa tampak murung, matanya penuh dengan kebencian yang tak terselubung.“Waktu kita semakin sedikit,&rd
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-16
Baca selengkapnya

Bab 102: Konspirasi Dunia yang Tersembunyi

Malam semakin larut, dan gerobak besi yang membawa Patih Kartanegara serta Arya Wisesa terus bergoyang di jalanan berdebu. Pasukan Kerajaan Langit Timur beristirahat, namun suasana penuh ketegangan. Di dalam gerobak penjara, Patih Kartanegara duduk tenang dengan senyum tipis, sementara Arya Wisesa tampak tidak sabar. Mereka tahu bahwa kekalahan di medan perang hanyalah awal dari permainan yang lebih besar.Gema dan Jaka yang berada di luar, menjaga jarak. Namun, pikiran keduanya dipenuhi oleh percakapan sebelumnya. Seperti bisa membaca pikiran mereka, Patih Kartanegara memanggil dengan suara rendah, memecah kesunyian malam."Jaka... Gema... datanglah ke sini. Ada hal yang harus kalian dengar."Jaka menoleh dengan wajah penuh curiga. “Apa lagi yang ingin kau katakan, Patih? Konspirasi licikmu sudah terbukti gagal.”Patih Kartanegara tidak tersinggung, malah tersenyum semakin lebar. “Oh, Jaka. Kau belum tahu apa-apa tentang permainan besar
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-16
Baca selengkapnya

Bab 103: Dukungan dari Kak Jaka

Gema duduk terdiam di tepi sungai kecil yang mengalir di samping kamp mereka. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, mungkin karena bebannya kini lebih berat setelah percakapan dengan Patih Kartanegara.Kata-kata tentang Dewan Kegelapan dan rencana besar dunia terus mengisi pikirannya. Medali Nusantara yang ada di dadanya kini terasa seperti batu yang menekan jiwanya. Apakah benar dirinya hanyalah alat? Apa artinya jika semua yang dia perjuangkan selama ini hanya permainan dari kekuatan yang lebih besar?Suara langkah kaki di belakangnya membuat Gema tersentak. Dia berbalik, dan melihat Jaka Tandingan mendekat dengan senyum lembut yang selalu bisa membuat Gema merasa lebih baik."Kak Jaka..." Gema berbisik pelan.Jaka duduk di samping Gema tanpa bicara lebih dulu, membiarkan angin malam berbicara untuk mereka. Setelah beberapa saat, dia menatap Gema dengan penuh perhatian.“Kau tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Patih itu, ya?&rdq
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-16
Baca selengkapnya

Bab 104: Gertakan di Malam Sunyi

Setelah memastikan Gema beristirahat dengan tenang di dalam tenda, Jaka Tandingan diam-diam menyelinap keluar. Langkahnya ringan, tak ingin membangunkan yang lain, terutama Gema yang kelelahan setelah perjalanan panjang dan beban pikiran yang menghantui.Malam itu terasa sepi, hanya terdengar suara angin lembut dan derak api unggun yang masih menyala di kejauhan. Jaka menyusuri jalan setapak yang membawanya menuju gerobak penjara, tempat Patih Kartanegara dan beberapa tawanan lainnya dikurung. Wajahnya tampak serius, penuh dengan maksud tersembunyi.Setibanya di gerobak, Jaka berhenti sejenak, mengatur napasnya. Dia tahu apa yang akan dilakukannya malam ini bukanlah tindakan yang biasa. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Gema terlalu muda dan naif untuk terus dipengaruhi oleh musuh seperti Patih Kartanegara. Ini adalah waktunya untuk bertindak.Dengan gerakan cepat, Jaka mendekati penjaga dan memberikan isyarat dengan tangannya. Penjaga itu, yang mengenali otori
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-16
Baca selengkapnya

Bab 105: Ketegangan dalam Penjara

Malam semakin larut, udara dingin menyelimuti seluruh perkemahan. Gerobak penjara yang tertutup itu hanya ditemani oleh keheningan, namun di dalamnya, ketegangan semakin meningkat. Patih Kartanegara duduk diam, merenungkan kata-kata Jaka yang masih terngiang di telinganya. Selama ini, dia mengira bahwa konspirasinya tersembunyi dengan baik, bahwa tidak ada satu orang pun yang akan mengetahui pengkhianatannya, terutama hubungannya dengan Dewi Sekarwangi.Namun, kenyataannya jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan. Jaka Tandingan, sosok yang dianggapnya hanya sekadar prajurit tangguh, ternyata memiliki mata yang lebih tajam dari yang dia perkirakan.Dari sudut lain di dalam gerobak, terdengar suara tawa rendah. Arya Wisesa, yang terikat kuat di sebelahnya, memandang Patih Kartanegara dengan tatapan menghina. Mata Arya bersinar licik di tengah kegelapan, wajahnya menyeringai puas seolah menemukan hiburan dari kesulitan yang kini dihadapi sang patih.“Bodoh s
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-16
Baca selengkapnya

Bab 106: Tiba di Ibukota

Setelah perjalanan yang melelahkan dan penuh ketegangan, rombongan Gema akhirnya mencapai gerbang besar Ibukota Kerajaan Langit Timur. Menara tinggi dengan lambang kerajaan terlihat menjulang megah di antara dinding-dinding kokoh yang mengelilingi kota. Para prajurit yang berjaga di gerbang segera mengenali rombongan itu, terutama Gema dan Jaka Tandingan yang berada di depan.Gema menatap gerbang besar itu dengan mata penuh kehati-hatian. Perjalanannya ke ibukota adalah salah satu momen paling penting dalam hidupnya, terlebih lagi karena mereka membawa tawanan penting, Patih Kartanegara dan Komandan Arya Wisesa. Kedua tokoh berbahaya itu kini terpenjara dengan kuat, tapi masih menyisakan perasaan waspada di hati Gema. Sesekali, dia melirik ke belakang, memastikan bahwa para penjaga gerobak penjara tidak lengah.Jaka Tandingan berada di sisinya, berjalan dengan mantap dan sigap. Dia menatap Gema dengan perhatian, seolah membaca pikiran adiknya. “Tenang saja, Kak G
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-17
Baca selengkapnya

Bab 107: Bayang-Bayang Tahta

Para penjaga tetap berjaga di pos mereka, tetapi ada perasaan yang menggantung di udara. Di dalam ruang pribadinya, Raja Jayabaya duduk sendirian di kursi singgasana kecilnya. Sinar lilin di ruangan itu memantulkan bayangan panjang di dinding, memberikan kesan yang lebih gelap dan muram.Wajah raja yang biasanya tegas tampak sedikit pucat, dan nafasnya terdengar lebih berat dari biasanya. Dia menatap ke depan, matanya menyipit, seolah berusaha menahan sesuatu yang tidak ingin dia perlihatkan kepada siapa pun. Setiap gerakan tangannya terasa sedikit kaku, dan sesekali dia mengangkat tangannya untuk memijat bagian dadanya yang terasa nyeri."Aku tidak boleh lemah..." bisik Raja Jayabaya pada dirinya sendiri. "Kerajaanku membutuhkan aku... Gema membutuhkan bimbinganku..."Namun, tubuhnya tidak bisa menipu. Sejak beberapa hari terakhir, Raja Jayabaya mulai merasakan kelemahan yang aneh, seolah energi di dalam dirinya terkuras secara perlahan. Setiap malam, rasa saki
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-17
Baca selengkapnya

Bab 108: Senyuman Kekuasaan

Ruang singgasana istana kerajaan Langit Timur dipenuhi suasana hening, hanya suara napas berat Raja Jayabaya yang terdengar samar. Cahaya matahari senja menyelinap melalui celah jendela, memberikan kesan dramatis pada ruangan megah itu. Raja Jayabaya duduk di singgasananya dengan tubuh yang lemah, menahan rasa sakit yang semakin hari semakin tak tertahankan.Di hadapannya, tiga sosok berdiri: Putri Sri Ayu, Putri Saraswati, dan Pangeran Arjuna. Masing-masing memiliki ekspresi yang berbeda. Putri Sri Ayu, yang paling muda dan lembut di antara mereka, tampak gelisah. Dia menatap ayahnya dengan wajah yang penuh kekhawatiran, seolah-olah tidak dapat menerima kenyataan bahwa ayahnya yang selama ini kuat, kini tampak rapuh."Ayahanda... Apa yang terjadi padamu?" suara lembut Sri Ayu memecah keheningan. "Kau terlihat begitu lemah. Apakah kau sakit?"Raja Jayabaya membuka matanya perlahan, menatap putrinya yang tampak begitu polos dan tulus. "Tidak apa, putriku," jawabn
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-17
Baca selengkapnya

Bab 109: Tangan yang Menyentuh Hati

Di bawah langit senja, di tengah taman kerajaan yang indah, Gema dan Roro Kenanga duduk bersama di atas rumput hijau. Hembusan angin sejuk menerpa wajah mereka, sementara bunga-bunga kenanga yang bermekaran menebarkan aroma manis yang menenangkan. Roro sibuk dengan jarum-jarum halusnya, menyempurnakan teknik penyembuhan yang baru saja dipelajarinya dari seorang tabib tua kerajaan. Gema duduk tak jauh darinya, sesekali memandang kosong ke arah kolam, tampak memikirkan sesuatu yang berat.“Kak Jaka sering bilang bahwa hidup seorang pejuang selalu penuh dengan cobaan,” kata Gema dengan nada lirih. “Tapi kadang aku merasa beban ini terlalu berat untuk dipikul di usia yang masih muda ini.”Roro menatapnya dari sudut matanya, lalu tersenyum kecil. “Tidak ada jalan yang mudah, Gema. Apalagi untukmu yang diharapkan membawa perdamaian. Tapi ingat, kita semua di sini untuk mendukungmu. Kau tidak sendirian.”Gema tersenyum samar, meskipu
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-17
Baca selengkapnya

Bab 110: Bisikan dalam Kegelapan

Putri Sri Ayu masih duduk di samping Gema dan Roro, pandangannya tiba-tiba berubah serius, dan ada kekhawatiran yang terpancar dari wajah lembutnya. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara.“Gema, ada satu hal yang ingin aku bicarakan denganmu,” katanya dengan nada yang lebih tenang, seolah-olah dia akan mengungkapkan rahasia besar.Gema menatapnya dengan penuh perhatian. “Ada apa, Yang Mulia?”Sri Ayu menggeleng. “Kumohon, jangan panggil aku begitu. Kita sudah bicara soal itu, Gema.”Gema tersenyum kecil dan mengangguk. “Baiklah, Sri Ayu. Apa yang ingin kau bicarakan?”Sri Ayu menatap lurus ke depan, ke arah pohon-pohon kenanga yang bergoyang lembut tertiup angin. “Kau tahu, ayahku, Raja Jayabaya, dia tiba-tiba berubah sejak sehari sebelum kau tiba di ibu kota ini. Rasanya aneh sekali. Dia yang sebelumnya begitu kuat dan bijaksana, mendadak terlihat lemah. Wajahnya pucat, dan m
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-17
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
910111213
...
15
DMCA.com Protection Status