Setelah memastikan Gema beristirahat dengan tenang di dalam tenda, Jaka Tandingan diam-diam menyelinap keluar. Langkahnya ringan, tak ingin membangunkan yang lain, terutama Gema yang kelelahan setelah perjalanan panjang dan beban pikiran yang menghantui.
Malam itu terasa sepi, hanya terdengar suara angin lembut dan derak api unggun yang masih menyala di kejauhan. Jaka menyusuri jalan setapak yang membawanya menuju gerobak penjara, tempat Patih Kartanegara dan beberapa tawanan lainnya dikurung. Wajahnya tampak serius, penuh dengan maksud tersembunyi.
Setibanya di gerobak, Jaka berhenti sejenak, mengatur napasnya. Dia tahu apa yang akan dilakukannya malam ini bukanlah tindakan yang biasa. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Gema terlalu muda dan naif untuk terus dipengaruhi oleh musuh seperti Patih Kartanegara. Ini adalah waktunya untuk bertindak.
Dengan gerakan cepat, Jaka mendekati penjaga dan memberikan isyarat dengan tangannya. Penjaga itu, yang mengenali otori
Malam semakin larut, udara dingin menyelimuti seluruh perkemahan. Gerobak penjara yang tertutup itu hanya ditemani oleh keheningan, namun di dalamnya, ketegangan semakin meningkat. Patih Kartanegara duduk diam, merenungkan kata-kata Jaka yang masih terngiang di telinganya. Selama ini, dia mengira bahwa konspirasinya tersembunyi dengan baik, bahwa tidak ada satu orang pun yang akan mengetahui pengkhianatannya, terutama hubungannya dengan Dewi Sekarwangi.Namun, kenyataannya jauh lebih buruk dari yang dia bayangkan. Jaka Tandingan, sosok yang dianggapnya hanya sekadar prajurit tangguh, ternyata memiliki mata yang lebih tajam dari yang dia perkirakan.Dari sudut lain di dalam gerobak, terdengar suara tawa rendah. Arya Wisesa, yang terikat kuat di sebelahnya, memandang Patih Kartanegara dengan tatapan menghina. Mata Arya bersinar licik di tengah kegelapan, wajahnya menyeringai puas seolah menemukan hiburan dari kesulitan yang kini dihadapi sang patih.“Bodoh s
Setelah perjalanan yang melelahkan dan penuh ketegangan, rombongan Gema akhirnya mencapai gerbang besar Ibukota Kerajaan Langit Timur. Menara tinggi dengan lambang kerajaan terlihat menjulang megah di antara dinding-dinding kokoh yang mengelilingi kota. Para prajurit yang berjaga di gerbang segera mengenali rombongan itu, terutama Gema dan Jaka Tandingan yang berada di depan.Gema menatap gerbang besar itu dengan mata penuh kehati-hatian. Perjalanannya ke ibukota adalah salah satu momen paling penting dalam hidupnya, terlebih lagi karena mereka membawa tawanan penting, Patih Kartanegara dan Komandan Arya Wisesa. Kedua tokoh berbahaya itu kini terpenjara dengan kuat, tapi masih menyisakan perasaan waspada di hati Gema. Sesekali, dia melirik ke belakang, memastikan bahwa para penjaga gerobak penjara tidak lengah.Jaka Tandingan berada di sisinya, berjalan dengan mantap dan sigap. Dia menatap Gema dengan perhatian, seolah membaca pikiran adiknya. “Tenang saja, Kak G
Para penjaga tetap berjaga di pos mereka, tetapi ada perasaan yang menggantung di udara. Di dalam ruang pribadinya, Raja Jayabaya duduk sendirian di kursi singgasana kecilnya. Sinar lilin di ruangan itu memantulkan bayangan panjang di dinding, memberikan kesan yang lebih gelap dan muram.Wajah raja yang biasanya tegas tampak sedikit pucat, dan nafasnya terdengar lebih berat dari biasanya. Dia menatap ke depan, matanya menyipit, seolah berusaha menahan sesuatu yang tidak ingin dia perlihatkan kepada siapa pun. Setiap gerakan tangannya terasa sedikit kaku, dan sesekali dia mengangkat tangannya untuk memijat bagian dadanya yang terasa nyeri."Aku tidak boleh lemah..." bisik Raja Jayabaya pada dirinya sendiri. "Kerajaanku membutuhkan aku... Gema membutuhkan bimbinganku..."Namun, tubuhnya tidak bisa menipu. Sejak beberapa hari terakhir, Raja Jayabaya mulai merasakan kelemahan yang aneh, seolah energi di dalam dirinya terkuras secara perlahan. Setiap malam, rasa saki
Ruang singgasana istana kerajaan Langit Timur dipenuhi suasana hening, hanya suara napas berat Raja Jayabaya yang terdengar samar. Cahaya matahari senja menyelinap melalui celah jendela, memberikan kesan dramatis pada ruangan megah itu. Raja Jayabaya duduk di singgasananya dengan tubuh yang lemah, menahan rasa sakit yang semakin hari semakin tak tertahankan.Di hadapannya, tiga sosok berdiri: Putri Sri Ayu, Putri Saraswati, dan Pangeran Arjuna. Masing-masing memiliki ekspresi yang berbeda. Putri Sri Ayu, yang paling muda dan lembut di antara mereka, tampak gelisah. Dia menatap ayahnya dengan wajah yang penuh kekhawatiran, seolah-olah tidak dapat menerima kenyataan bahwa ayahnya yang selama ini kuat, kini tampak rapuh."Ayahanda... Apa yang terjadi padamu?" suara lembut Sri Ayu memecah keheningan. "Kau terlihat begitu lemah. Apakah kau sakit?"Raja Jayabaya membuka matanya perlahan, menatap putrinya yang tampak begitu polos dan tulus. "Tidak apa, putriku," jawabn
Di bawah langit senja, di tengah taman kerajaan yang indah, Gema dan Roro Kenanga duduk bersama di atas rumput hijau. Hembusan angin sejuk menerpa wajah mereka, sementara bunga-bunga kenanga yang bermekaran menebarkan aroma manis yang menenangkan. Roro sibuk dengan jarum-jarum halusnya, menyempurnakan teknik penyembuhan yang baru saja dipelajarinya dari seorang tabib tua kerajaan. Gema duduk tak jauh darinya, sesekali memandang kosong ke arah kolam, tampak memikirkan sesuatu yang berat.“Kak Jaka sering bilang bahwa hidup seorang pejuang selalu penuh dengan cobaan,” kata Gema dengan nada lirih. “Tapi kadang aku merasa beban ini terlalu berat untuk dipikul di usia yang masih muda ini.”Roro menatapnya dari sudut matanya, lalu tersenyum kecil. “Tidak ada jalan yang mudah, Gema. Apalagi untukmu yang diharapkan membawa perdamaian. Tapi ingat, kita semua di sini untuk mendukungmu. Kau tidak sendirian.”Gema tersenyum samar, meskipu
Putri Sri Ayu masih duduk di samping Gema dan Roro, pandangannya tiba-tiba berubah serius, dan ada kekhawatiran yang terpancar dari wajah lembutnya. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara.“Gema, ada satu hal yang ingin aku bicarakan denganmu,” katanya dengan nada yang lebih tenang, seolah-olah dia akan mengungkapkan rahasia besar.Gema menatapnya dengan penuh perhatian. “Ada apa, Yang Mulia?”Sri Ayu menggeleng. “Kumohon, jangan panggil aku begitu. Kita sudah bicara soal itu, Gema.”Gema tersenyum kecil dan mengangguk. “Baiklah, Sri Ayu. Apa yang ingin kau bicarakan?”Sri Ayu menatap lurus ke depan, ke arah pohon-pohon kenanga yang bergoyang lembut tertiup angin. “Kau tahu, ayahku, Raja Jayabaya, dia tiba-tiba berubah sejak sehari sebelum kau tiba di ibu kota ini. Rasanya aneh sekali. Dia yang sebelumnya begitu kuat dan bijaksana, mendadak terlihat lemah. Wajahnya pucat, dan m
Malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, seolah-olah bintang-bintang pun memilih bersembunyi di balik awan tebal. Di dalam kamarnya, Gema duduk termenung, merenungkan apa yang baru saja dibicarakan dengan Putri Sri Ayu dan Roro Kenanga. Suasana hati Gema semakin berat seiring dengan kenyataan yang semakin jelas bahwa Raja Jayabaya mungkin tengah diracuni. Jika benar begitu, siapa lagi yang bisa dipercaya di dalam istana ini?Gema berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju jendela, memandang keluar ke arah istana yang megah, tetapi penuh dengan rahasia gelap. Di balik kemegahan itu, intrik dan konspirasi seolah bersembunyi di setiap sudut. Sesaat, pikirannya terarah kepada Ki Joko Tingkir, panglima yang selama ini menjadi sosok yang dipercayai oleh seluruh kerajaan.“Ki Joko,” gumamnya perlahan. “Andai saja kau ada di sini…”Ki Joko Tingkir adalah satu-satunya orang yang memiliki kekuatan dan pengaruh yang bisa menandingi D
Malam telah menyelimuti seluruh Istana Kerajaan Langit Timur. Di dalam kamarnya yang megah, Raja Jayabaya duduk bersandar pada kursi kayu besar berlapis ukiran emas. Wajahnya yang biasanya memancarkan kewibawaan seorang raja kini tampak pucat, penuh kerutan kekhawatiran yang terukir dalam. Tubuhnya gemetar halus, dan peluh dingin membasahi dahinya. Aliran darah di meridiannya terasa seperti arus panas yang membakar setiap urat nadi, merambat dari jantungnya hingga ke ujung-ujung tubuhnya.Dia menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang tak terelakkan. Setiap tarikan napas seolah menjadi perjuangan tersendiri. Sekalipun dia sudah mencapai tingkatan Penggabungan, kekuatan yang membuatnya mampu meramal masa depan dan mengubah takdir orang lain, kini tak mampu menahan rasa sakit yang menjalari tubuhnya dari dalam. Meridiannya terasa seperti diserang oleh ribuan jarum yang menembus setiap titik vital tubuhnya, memotong jalur energi spiritual yang selama ini dia kendalikan
Langkah Gema, Roro, dan Jaka semakin pelan ketika mereka memasuki Hutan Mistik Es, sebuah kawasan yang penuh misteri dan bahaya. Suasana di dalam hutan itu begitu sunyi, hanya desau angin dingin yang menghembus di antara pepohonan beku, membuat daun-daun es bergetar pelan. Meski tampak tenang di luar, ada sesuatu yang terasa aneh dan menekan. Ketiganya merasakan kegelisahan yang sama, seolah-olah mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak tampak.Hutan itu dipenuhi pepohonan raksasa yang batangnya menjulang tinggi, seluruhnya tertutupi lapisan es yang tebal. Setiap langkah mereka menghasilkan suara renyah dari salju yang terinjak, namun setiap suara kecil itu bergema dengan cara yang aneh, seolah ada gema dari suara lain yang mengikuti di belakang mereka.“Rasanya… seperti kita tidak sendiri di sini,” gumam Roro dengan nada cemas, matanya mengamati sekeliling dengan hati-hati. Tangan halusnya sudah siap meraih jarum-jarum akupunktur, jika ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari bali
Badai salju terus menderu, namun di tengah kegelapan dan dinginnya angin, Gema, Jaka, dan Roro berdiri tegak, memancarkan aura yang berbeda dari sebelumnya. Napas mereka teratur, meski suhu menggigit setiap inci tubuh mereka. Mata Gema menyala dengan kepercayaan diri yang semakin kuat, seolah-olah badai dan makhluk-makhluk es yang menghadang mereka hanyalah ujian kecil yang harus mereka lewati.Di sekitar mereka, Cheetah Es yang tersisa terus bergerak dengan kecepatan luar biasa, mengepung dari segala arah. Namun, kali ini Gema dan kedua kawannya sudah siap. Kekuatan yang telah mereka latih selama dua tahun di benua utara ini akhirnya mencapai puncaknya.“Sudah cukup,” gumam Gema pelan, namun penuh tekad. “Saatnya kita tunjukkan apa yang sebenarnya kita pelajari selama ini.”Jaka mengangguk, menatap musuh-musuh di depan mereka dengan senyuman penuh percaya diri. “Aku sudah menunggu saat ini. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita.”Roro yang berada di sebelah mereka, meskipun dingi
Angin menderu hebat, membawa butiran salju yang terasa seperti ribuan jarum tajam menghantam kulit. Udara yang sedingin es menggigit tubuh mereka, meskipun pakaian tebal dari kulit hewan yang diberikan oleh Suku Wanuara cukup melindungi mereka dari hawa dingin yang menusuk. Pegunungan Utara tampak menjulang di kejauhan, puncaknya seolah menyentuh langit, diselimuti oleh kabut tipis yang menyatu dengan badai salju.Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga melangkah maju dengan susah payah, kaki mereka tenggelam dalam salju setinggi lutut. Napas mereka terlihat dalam bentuk embusan uap di udara dingin. Mata mereka terus waspada, namun badai salju yang semakin deras membuat jarak pandang terbatas. Hanya siluet-siluet gelap dari bebatuan besar dan pohon-pohon kerdil yang terlihat samar di kejauhan."Aku tidak menyangka cuacanya akan seburuk ini," gumam Roro, suaranya hampir tenggelam dalam raungan badai. "Aku bisa merasakan energi dingin ini mengalir langsung ke tulang-tulangku."Jaka, yang
Awan di atas desa Suku Wanuara terlihat lebih cerah dari biasanya. Meski udara dingin pegunungan masih menusuk tulang, sinar matahari yang terpantul dari salju memberikan sedikit kehangatan yang aneh. Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga bersiap untuk perjalanan mereka menuju Pegunungan Utara. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya, tapi tekad mereka sudah bulat.Di sekitar desa, para anggota suku telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ketiga tamu yang telah tinggal bersama mereka selama dua tahun. Di tengah kerumunan, Nyi Gandari berdiri dengan penuh wibawa, ditemani oleh Anggarajaya, Raksayudha, dan beberapa pemimpin suku lainnya.Gema memandang tumpukan perbekalan yang sudah disiapkan untuk mereka. Para tetua suku memberi mereka makanan, pakaian hangat, serta senjata yang bisa berguna untuk bertahan hidup di pegunungan yang keras. Ransel kulit berisi ramuan penghangat tubuh, beberapa buah kering, dan daging kering terikat dengan kuat. Sel
Di tengah dinginnya udara pegunungan utara yang menusuk tulang, Gema terbaring di dalam tendanya, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya justru melayang ke masa lalu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, kenangan tentang seseorang yang sangat penting dalam hidupnya—Raden Jayabaya, sang guru, seorang bijak dari Benua Timur yang tak hanya mengajarinya seni bela diri dan sihir, tetapi juga rahasia-rahasia dunia yang tersembunyi.Saat malam semakin larut, Gema semakin sulit untuk tidur. Dia duduk dan mengamati api unggun yang berkedip-kedip di luar tendanya. Pikirannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Raden Jayabaya sebelum dia pergi meninggalkan Benua Timur, sebuah percakapan yang kini terasa semakin relevan."Ada sesuatu yang harus kau cari di masa depan, Gema," Raden Jayabaya pernah berkata sambil menatap langit, matanya tampak jauh memandang ke cakrawala. "Sebuah artefak kuno, tersembunyi di tempat yang tidak mudah dijangkau. Namun jika kau menemukannya, kekuatanmu ak
Setelah perburuan yang penuh tantangan melawan para Mammoth Raksasa, Gema, Jaka, dan Roro akhirnya berjalan kembali menuju desa Suku Wanuara. Mereka ditemani oleh Anggarajaya dan beberapa anggota suku lainnya, termasuk para pemburu berpengalaman yang ikut serta dalam perburuan. Matahari terbenam di cakrawala, menciptakan pemandangan langit merah keemasan yang memantulkan sinarnya ke atas hamparan es yang luas. Hembusan angin dingin yang menusuk tulang kini terasa lebih akrab, seolah menjadi sahabat lama bagi mereka yang telah bertahan di lingkungan keras ini.Setelah beberapa jam berjalan, mereka mulai melihat tanda-tanda desa suku di kejauhan. Tenda-tenda besar yang terbuat dari kulit binatang berjajar rapi, asap tipis mengepul dari perapian di tengah desa, dan suara-suara tawa serta obrolan hangat terdengar samar di udara. Ada rasa hangat yang langsung menyelimuti hati mereka begitu desa mulai terlihat. Meskipun mereka adalah pendatang di sini, Suku Wanuara telah menjadi seperti kel
Fajar menyingsing dengan cahaya keemasan yang terpancar lemah di atas bentangan es Benua Utara, memantulkan kilauan pada permukaan kristal salju yang memutih. Suhu yang beku di bawah nol tidak lagi menjadi musuh bagi Gema, Jaka, dan Roro. Setelah dua tahun beradaptasi dengan lingkungan keras ini, mereka telah belajar untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga menjadi bagian dari kekuatan alam yang dingin dan ganas ini.Hari ini, perburuan terakhir mereka akan menjadi yang paling menantang. Anggarajaya memimpin kelompok suku Wanuara ke dataran beku yang disebut “Tanah Bersalju Tak Berujung,” di mana gerombolan Mammoth Raksasa berkeliaran. Makhluk-makhluk ini bukan hanya besar, tetapi juga sangat berbahaya dengan taring gading yang mampu menghancurkan benteng dan kulit tebal yang nyaris tak tertembus.“Perburuan hari ini berbeda,” ujar Anggarajaya dengan suara dalam. “Mammoth Raksasa adalah hewan yang langka di benua ini. Mereka kuat, cepat, dan tidak mudah diprediksi. Kalian harus me
Langit kelabu membentang di atas dataran es yang luas, seolah-olah menutupi dunia dalam selimut dingin abadi. Salju turun dengan lembut, menyelimuti permukaan bumi yang sudah beku, namun di bawah tenangnya lanskap ini, ketegangan menggantung di udara. Anggarajaya, Gema, Jaka, Roro, dan beberapa anggota Suku Wanuara lainnya berkumpul di tepi lembah yang dipenuhi es yang memantulkan cahaya samar dari langit. Hari ini, perburuan mereka bukanlah beruang kutub, melainkan makhluk yang lebih cepat, lebih berbahaya, dan jauh lebih mematikan: sekelompok Cheetah Es."Perburuan ini akan menjadi ujian terakhir kalian," kata Anggarajaya dengan nada tegas, tatapan matanya tajam seperti elang. "Cheetah Es terkenal dengan kecepatannya yang bisa membekukan aliran darah. Satu gigitan dari mereka, dan kau akan mati dalam hitungan detik."Gema mendengar peringatan itu dengan tenang. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus membara—kekuatan yang telah ia latih selama dua tahun terakhir di Benua Utara ini.
Es dan salju membentang sejauh mata memandang di dataran beku Benua Utara. Udara dingin menusuk tulang, dan setiap langkah di permukaan putih itu meninggalkan jejak yang cepat terhapus oleh angin kencang. Gema, Jaka, Roro, dan anggota Suku Wanuara kini bergerak di tengah alam liar yang lebih ganas dari sebelumnya. Kali ini, perburuan mereka bukanlah rusa yang damai, melainkan makhluk yang jauh lebih berbahaya: sekelompok beruang kutub besar yang menguasai wilayah ini.Anggarajaya, sang pemimpin perburuan kali ini, memberikan isyarat agar mereka berhenti. Di depan mereka, melalui kabut salju yang berputar, terlihat bayangan besar dari seekor beruang kutub. Ukurannya jauh lebih besar dari beruang biasa, dengan bulu putih tebal yang nyaris menyatu dengan lanskap sekitarnya. Hewan itu sedang merobek bangkai ikan besar di dekat sebuah sungai beku."Kita harus hati-hati," bisik Anggarajaya. "Beruang-beruang ini sangat kuat, dan mereka bergerak dalam kelompok. Kita tidak boleh gegabah."Gema