Home / Urban / Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa: Chapter 11 - Chapter 20

39 Chapters

Bab 11 Curiga

“Dari mana saja kamu?!” suara Ibu menggelegar. “Jam berapa ini?!” lagi, Ibu mengetuk pergelangan tangannya yang tidak memakai jam tangan.Aku mendongak melihat jam dinding. “Jam delapan lewat,” balasku pelan pada Ibu.Ibu mengulurkan tangannya tidak sabar. “Mana uang hari ini?”Aku memberikan kantung plastik hitam pada Ibu. “Ini, Bu,” jawabku. Aku tidak punya tas jadi semua uangnya kumasukkan ke dalam kantung plastik.Ibu membuka plastiknya dengan tidak sabar. Ibu menghitung uangnya dengan tidak sabar. “Kenapa cuma segini?! Biasanya banyak!”Aku menunduk. “Memang segitu, Bu.” Mau semana lagi uang yang harus didapat? Satu milyar? Apakah itu maunya Ibu? Aku tidak tahu jalan pikirannya.Ibu menggeram seperti singa marah lalu mengulurkan tangannya mencubit lengan kiriku. Sakit sekali karena Ibu memuntirnya tanpa ampun. Aku meringis berusaha meredam teriakanku.“Satu minggu ini dapatnya segini terus!” suara Ibu menggelegar. Aku heran Ayah tidak keluar dari kamarnya mendengar suara Ibu. “Ba
last updateLast Updated : 2024-09-14
Read more

Bab 12 Tas Pemberian

“Enggak perlu.” Perasaanku sudah tidak karuan hari ini. Aku tidak mau mendengarkan ucapan mabuk kepayangnya pada Wanita cantik yang aku tidak tahu namanya siapa itu.“Okay,” ucap Sigit.Aku memutar mata. Dia tidak berniat meluruskan jika memang tidak benar. Dia pun tidak berniat untuk mendesakku mendengarkan penjelasannya. Aku berdecak pelan. Lagipula apa ekspektasiku mengenai Sigit? Surat perjanjian kontrak yang tersimpan rapi di lemari pakaian mengingatkanku bahwa pernikahan ini sebatas kebutuhan belaka.Aku butuh suami agar tidak dicap sebagai perawan tua. Namun, aku tidak tahu kebutuhan dia menikahiku karena apa. Mungkin sama denganku. Usianya sudah cukup matang. 33 tahun menurut yang kutahu dari Ibu. “Nasi padang tadi masih buat kamu kenyang?”Sigit membuka percakapan setelah aku memilih diam. Porsi bungkus nasi padang memang lebih banyak dibandingkan makan di tempat. Aku pernah bertanya pada penjualnya mengapa begitu dan mereka menjawab kalau dibungkus lebih banyak agar seluru
last updateLast Updated : 2024-09-15
Read more

Bab 13 Insiden di Toko

“Nanti saya belikan yang lain untukmu, Yu.”Sigit mengatakan itu sudah entah keberapa kalinya. Ibu berhasil merebut tas pemberian Sigit dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. Wajah Ibu senang dan dia tidak peduli darimana tas itu berasal. Aku sudah berusaha untuk mencegah tetapi tidak bisa. Aku takut tasnya rusak jika kutarik.“Kenapa kamu enggak cegah, sih?” aku menggerutu padanya yang malah pasrah saja tadi. Hari sudah beranjak malam tetapi aku tidak bisa tidur. Tas itu masih terbayang-bayang di pikiranku. Hanya sebentar aku memegangnya. Salahku tidak menyimpannya dengan segera ke dalam lemari.“Kamu tahu sendiri Ibu bagaimana.” Sigit berbicara. Dia memilih untuk merebahkan diri di tempat tidur dengan kaki masih menggantung di bawah, sementara aku duduk di kursi rias. Terdengar hela napasnya.“Seenggaknya ….,” aku berhenti berkata. Nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak tahu harus bagaimana. Sudah terjadi dan tidak mungkin bisa terulang lagi. “Padahal tadi kubilang itu tas dari kamu.
last updateLast Updated : 2024-09-15
Read more

Bab 14 Ditangkap Polisi

“Nah, lihat. Ini siapa?” Ibu duduk di kursi kasir. Dia menatap serius ponselnya yang terhubung ke CCTV. Matanya menatap Sigit. “Ini kamu, kan?!” tatapan Ibu tajam menusuk.Aku melongok dari balik punggung Ibu. Kulihat beliau menunjuk hasil CCTV yang ada di ponselnya. Punggung Sigit menghadap ke toko yang tertutup. Waktu menunjukkan sudah pukul delapan. Alisku berkerut. Pukul delapan malam masihlah ada orang yang ada di pasar untuk menutup tokonya.Aku menoleh pada Sigit yang berdiri diam di sisiku. Dia tidak menunjukkan ekspresi sama sekali atau akulah yang tidak bisa membaca isi pikirannya.“Itu ….” ucapanku terhenti tatkala melihat seorang wanita menghampiri Sigit. Wanita yang sama dengan tadi sore. Tidak lama, wanita itu mengajak Sigit pergi dengan merangkul tangannya. Aku menoleh lagi padanya. “Dia--”“Berisik, Ayu!” Ibu menggertakku.Aku terkejut lalu diam. Kulihat di CCTV ponsel Ibu, tidak lama Sigit pergi, dua orang pria datang. Mereka membuka paksa toko Ibu lalu mengacak-acak i
last updateLast Updated : 2024-09-16
Read more

Bab 15 Di Penjara

“Iya,” wanita paruh baya itu mengangguk meyakinkan. “Sigit datang ke rumah saya. Saya yang datang ke sini kok bareng anak saya. Kita bareng-bareng ke rumah saya.”“Ke rumah Ibu? Ngapain, Bu?” aku malah penasaran dengan yang dilakukan Sigit di rumah Ibu ini.Ibu tersenyum. Senyum yang menurutku maklum. “Sigit membantu saya angkat-angkat barang. Saya lagi mau bangun rumah,” ucapnya.Oh. Ada kelegaan yang muncul.“Dia bisa memperkirakan berapa habisnya material yang mau dipakai, jadi saya butuh dia untuk bantu-bantu sebenarnya.” Wanita paruh baya tersebut berkata lagi. Alisnya kemudian berkerut. “Saya bisa kok jadi saksi untuk Sigit. Benar.”Muncul secercah cahaya dalam diriku. Aku tersenyum. “Suami saya ada di kantor polisi, Bu. Tapi maaf, saya enggak bisa antar.”Walau aku ingin sekali mengantar, Ibu pasti marah besar. Ibu tidak suka tokonya tutup tanpa sepengetahuannya. Terlebih lagi ada CCTV yang sudah terpasang di toko ini. Aku hanya berharap Sigit bisa keluar dari kantor polisi dan
last updateLast Updated : 2024-09-16
Read more

Bab 16 Secerah Harapan

“Benar begitu, Bu?” aku menegaskan lagi apa yang dikatakan oleh Ibu.Ibu memutar mata. Dia mendorong badanku agar segera bergerak. Aku menghela napas pelan. Segera aku menuju pintu depan. Dan memang benar. Di depan sudah berdiri seorang pria seusia Sigit berdiri. Pria itu menggunakan jaket abu-abu dan celana jeans warna gelap.“Halo?” aku menyapanya.Pria yang berdiri canggung itu mendongak. Dia tersenyum tipis padaku. “Maaf, Sigit ada? Saya temannya dari kampung.”Aku menggeleng.Dia menghela napas. Di belakangnya terdapat mobil bak terbuka berwarna biru yang sepertinya sudah lama tidak dicuci. “Di mana saya bisa bertemu Sigit?”Aku membuka mulutku tetapi tidak ada kalimat yang keluar. Aku terlalu terkejut mendengar ucapan Ibu tadi mengenai Sigit yang ditahan di kantor polisi. Sepertinya penjelasan dari wanita paruh baya kemarin tidak membuat Sigit keluar.“Saya telepon ke HP dia tapi enggak diangkat sejak kemarin. Saya datang ada perlu sama dia sebenarnya.” Pria di hadapanku berkata
last updateLast Updated : 2024-09-21
Read more

Bab 17 Cukup Enggak Tahu Diri

“Mbak siapa ya?” pria di hadapanku mendongak. Dia mengerutkan alisnya melihat wanita berpakaian sedikit ketat itu menatapnya. “Saya merasa enggak kenal Mbak ini.”Wanita cantik itu terdiam lalu terkejut hingga menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Eh, maaf ternyata salah orang.” Dia mengulurkan sebelah tangannya pada pria tersebut. “Namaku Dinda.”Oh jadi namanya Dinda. Apakah itu trik dia untuk berkenalan? Memalukan sekali. aku mencoba untuk tidak memutar mataku atau mendengkus.“Oh,” pria di hadapanku mengangguk. “Adam,” tambahnya singkat.Oh, aku lupa menanyakan namanya dan kini aku tahu dari orang lain nama temannya Sigit. Adam. Aku manggut pelan seraya makan buburku. Kemudian aku kembali berpikir mengenai Dinda yang sehari balik tiga kali ke toko mencari Sigit. apakah itu trik dia juga?“Eh, Mbak yang jaga toko Maharani ya?” Dinda menyapaku. Aku terenyum mengangguk. “Jenguk Sigit juga?” tanyanya. Ditatapnya aku.Pertanyaa itu membuatku menganguk.“Tentu,” Adam menimpali. “Dia
last updateLast Updated : 2024-09-22
Read more

Bab 18 Sebatas Surat

“Adam,” panggilku ketika dia hendak melangkah.“Ya?” dia menoleh padaku.“Tadi kudengar kamu bilang bos. Siapa bos?”Adam tertawa pelan sebelum menjawab, “Sigit kuanggap seperti bos. Suka ngatur-ngatur.”“Oh.” Aku ikut tertawa sebab yang dia katakan memang benar adanya. “Dia memang begitu ya?”Adam mengangkat bahu. “Cita-cita jadi pengusaha malah beda dengan keinginannya.”“Oh.” Hanya itu yang kubalas. Kupikir Sigit seorang Bos suatu perusahaan. Aku tertawa pelan memikirkan hal itu. Mana mungkin Sigit seorang pengusaha? Tangannya saja kasar begitu khas pekerja keras. Seorang pengusaha atau bos besar biasanya merawat diri. Sigit kesehariannya aku tahu sekali.Aku menghela napas melihat Dinda yang masih bicara dengan Sigit, “Saya tunggu di luar saja,” kataku kemudian.Adam menoleh padaku. “Kenapa?”Aku menghela napas lagi. Kutunjuk Dinda dengan daguku. “Aku malas melihat tingkahnya yang seperti itu.”Adam menatap sekilas Dinda. “Loh,” ucapnya, “sebaiknya dihadapi dia supaya dia tau posi
last updateLast Updated : 2024-09-26
Read more

Bab 19 Permintaan Mendebarkan

“Ayu!”Aku bergegas menuju depan pintu utama. Suara itu membuatku lupa laparku yang tadi kurasakan hingga tubuhku lemas. Kemudian, kubuka pintu rumah lebar. Berdiri di hadapanku orang yang sehari semalam kemarin tidak kulihat. Serta merta aku memeluknya erat.“Ternyata kamu pulang.” Aku memejamkan mata merasakan betapa aku ingin sekali bertemu dia. Kurasakan dia kembali memelukku perlahan.“Kenapa kamu enggak jenguk aku, Yu?” tanyanya.Aku perlahan melepaskan pelukanku kemudian menunduk. Aku malu padanya jika harus berkata yang sesungguhnya mengenai perasaanku.“Ayu?” dia kembali memanggilku.“Dinda.” Aku menjawab dengan singkat. Aku tidak menyukai keberadaan Dinda di sekitarnya.“Dinda? Dinda yang mana?”Aku mendongak menatapnya. Mataku berkedip mendengar ucapannya. “Dinda perempuan yang sering sama kamu.” Aku berkata dengan nada kesal jika harus mengingatkannya pada perempuan gatal yang tidak tahu diri itu.“Oh, jadi namanya Dinda.” Dia manggut.Alisku naik. “Loh emangnya kamu engg
last updateLast Updated : 2024-09-26
Read more

Bab 20 Teman Utami

“Sigit?” aku memanggilnya. Kami berada dalam kamar. Aku menyanggupi permintaannya asalkan dia memakai pengaman. Aku masih terpikir mengenai surat perjanjian. Dan dia menyanggupi.“Hm?” dia menjawab seraya menutup mata.Aku menyamping lalu menatapnya. Kuulurkan tanganku mengusap matanya yang tertutup. “Kamu belum cerita. Bagaimana caranya Adam bebaskan kamu?”Sigit menggenggam tanganku di dadanya. Dibuka matanya lalu menoleh menatapku. “Bukti belum kuat. Lagipula ditahan di polres mestinya hanya satu kali dua puluh empat jam. Jika terbukti aku salah, polisi akan menindaklanjuti. Untuk sementara aku bebas.”Aku tersenyum. “Jadi CCTV itu belum bisa jadi bukti kuat?”Sigit mengangguk. Dia ikut miring menghadapku. Satu tangannya yang bebas terulur mengusap kepalaku. “Terima kasih.”“Untuk?” aku merasa belum melakukan apa pun yang membuatnya bebas selain menangisinya semalaman hingga kepalaku sakit.“Mau bersabar dan percaya aku.”Aku mengangguk. “Dinda juga membantu?”“Ya.” Sigit menganggu
last updateLast Updated : 2024-09-26
Read more
PREV
1234
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status