Semua Bab Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa: Bab 11 - Bab 15

15 Bab

Bab 11 Curiga

“Dari mana saja kamu?!” suara Ibu menggelegar. “Jam berapa ini?!” lagi, Ibu mengetuk pergelangan tangannya yang tidak memakai jam tangan.Aku mendongak melihat jam dinding. “Jam delapan lewat,” balasku pelan pada Ibu.Ibu mengulurkan tangannya tidak sabar. “Mana uang hari ini?”Aku memberikan kantung plastik hitam pada Ibu. “Ini, Bu,” jawabku. Aku tidak punya tas jadi semua uangnya kumasukkan ke dalam kantung plastik.Ibu membuka plastiknya dengan tidak sabar. Ibu menghitung uangnya dengan tidak sabar. “Kenapa cuma segini?! Biasanya banyak!”Aku menunduk. “Memang segitu, Bu.” Mau semana lagi uang yang harus didapat? Satu milyar? Apakah itu maunya Ibu? Aku tidak tahu jalan pikirannya.Ibu menggeram seperti singa marah lalu mengulurkan tangannya mencubit lengan kiriku. Sakit sekali karena Ibu memuntirnya tanpa ampun. Aku meringis berusaha meredam teriakanku.“Satu minggu ini dapatnya segini terus!” suara Ibu menggelegar. Aku heran Ayah tidak keluar dari kamarnya mendengar suara Ibu. “Ba
Baca selengkapnya

Bab 12 Tas Pemberian

“Enggak perlu.” Perasaanku sudah tidak karuan hari ini. Aku tidak mau mendengarkan ucapan mabuk kepayangnya pada Wanita cantik yang aku tidak tahu namanya siapa itu.“Okay,” ucap Sigit.Aku memutar mata. Dia tidak berniat meluruskan jika memang tidak benar. Dia pun tidak berniat untuk mendesakku mendengarkan penjelasannya. Aku berdecak pelan. Lagipula apa ekspektasiku mengenai Sigit? Surat perjanjian kontrak yang tersimpan rapi di lemari pakaian mengingatkanku bahwa pernikahan ini sebatas kebutuhan belaka.Aku butuh suami agar tidak dicap sebagai perawan tua. Namun, aku tidak tahu kebutuhan dia menikahiku karena apa. Mungkin sama denganku. Usianya sudah cukup matang. 33 tahun menurut yang kutahu dari Ibu. “Nasi padang tadi masih buat kamu kenyang?”Sigit membuka percakapan setelah aku memilih diam. Porsi bungkus nasi padang memang lebih banyak dibandingkan makan di tempat. Aku pernah bertanya pada penjualnya mengapa begitu dan mereka menjawab kalau dibungkus lebih banyak agar seluru
Baca selengkapnya

Bab 13 Insiden di Toko

“Nanti saya belikan yang lain untukmu, Yu.”Sigit mengatakan itu sudah entah keberapa kalinya. Ibu berhasil merebut tas pemberian Sigit dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. Wajah Ibu senang dan dia tidak peduli darimana tas itu berasal. Aku sudah berusaha untuk mencegah tetapi tidak bisa. Aku takut tasnya rusak jika kutarik.“Kenapa kamu enggak cegah, sih?” aku menggerutu padanya yang malah pasrah saja tadi. Hari sudah beranjak malam tetapi aku tidak bisa tidur. Tas itu masih terbayang-bayang di pikiranku. Hanya sebentar aku memegangnya. Salahku tidak menyimpannya dengan segera ke dalam lemari.“Kamu tahu sendiri Ibu bagaimana.” Sigit berbicara. Dia memilih untuk merebahkan diri di tempat tidur dengan kaki masih menggantung di bawah, sementara aku duduk di kursi rias. Terdengar hela napasnya.“Seenggaknya ….,” aku berhenti berkata. Nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak tahu harus bagaimana. Sudah terjadi dan tidak mungkin bisa terulang lagi. “Padahal tadi kubilang itu tas dari kamu.
Baca selengkapnya

Bab 14 Ditangkap Polisi

“Nah, lihat. Ini siapa?” Ibu duduk di kursi kasir. Dia menatap serius ponselnya yang terhubung ke CCTV. Matanya menatap Sigit. “Ini kamu, kan?!” tatapan Ibu tajam menusuk.Aku melongok dari balik punggung Ibu. Kulihat beliau menunjuk hasil CCTV yang ada di ponselnya. Punggung Sigit menghadap ke toko yang tertutup. Waktu menunjukkan sudah pukul delapan. Alisku berkerut. Pukul delapan malam masihlah ada orang yang ada di pasar untuk menutup tokonya.Aku menoleh pada Sigit yang berdiri diam di sisiku. Dia tidak menunjukkan ekspresi sama sekali atau akulah yang tidak bisa membaca isi pikirannya.“Itu ….” ucapanku terhenti tatkala melihat seorang wanita menghampiri Sigit. Wanita yang sama dengan tadi sore. Tidak lama, wanita itu mengajak Sigit pergi dengan merangkul tangannya. Aku menoleh lagi padanya. “Dia--”“Berisik, Ayu!” Ibu menggertakku.Aku terkejut lalu diam. Kulihat di CCTV ponsel Ibu, tidak lama Sigit pergi, dua orang pria datang. Mereka membuka paksa toko Ibu lalu mengacak-acak i
Baca selengkapnya

Bab 15 Di Penjara

“Iya,” wanita paruh baya itu mengangguk meyakinkan. “Sigit datang ke rumah saya. Saya yang datang ke sini kok bareng anak saya. Kita bareng-bareng ke rumah saya.”“Ke rumah Ibu? Ngapain, Bu?” aku malah penasaran dengan yang dilakukan Sigit di rumah Ibu ini.Ibu tersenyum. Senyum yang menurutku maklum. “Sigit membantu saya angkat-angkat barang. Saya lagi mau bangun rumah,” ucapnya.Oh. Ada kelegaan yang muncul.“Dia bisa memperkirakan berapa habisnya material yang mau dipakai, jadi saya butuh dia untuk bantu-bantu sebenarnya.” Wanita paruh baya tersebut berkata lagi. Alisnya kemudian berkerut. “Saya bisa kok jadi saksi untuk Sigit. Benar.”Muncul secercah cahaya dalam diriku. Aku tersenyum. “Suami saya ada di kantor polisi, Bu. Tapi maaf, saya enggak bisa antar.”Walau aku ingin sekali mengantar, Ibu pasti marah besar. Ibu tidak suka tokonya tutup tanpa sepengetahuannya. Terlebih lagi ada CCTV yang sudah terpasang di toko ini. Aku hanya berharap Sigit bisa keluar dari kantor polisi dan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12
DMCA.com Protection Status