Home / Fiksi Remaja / About Me: Alshameyzea / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of About Me: Alshameyzea : Chapter 81 - Chapter 90

143 Chapters

Bab 30. Program Arshaka

"Dalam setiap tatapan dan setiap ucapan, ada dunia yang mungkin tidak kita pahami sepenuhnya, tetapi tetap menyentuh jiwa kita."°°°°Seusai pelajaran terakhir, Keenan memaksaku pulang bersamanya. Dia bersikeras hanya ingin menemaniku berjalan kaki, namun aku menolak dengan halus. "Ada urusan OSIS mendadak," kataku, mencoba menjelaskan agar dia tidak merasa diabaikan.Beda dari biasanya, Keenan tidak marah. Dia malah tersenyum, menerima alasanku tanpa protes. Perubahan sikapnya sejak kejadian seminggu lalu sungguh nyata. Keenan yang dulu mudah tersulut emosi dan memaksaku menuruti kehendaknya kini tampak lebih dewasa. Meskipun sedikit terkejut dengan perubahannya, tapi aku senang.Kini, aku duduk sendirian di depan ruang OSIS. Napasku terasa berat saat kuperiksa jam tangan untuk kesekian kalinya. Hampir satu jam berlalu, dan bayangannya belum juga terlihat. Aku sudah menunggu di depan kelasku tadi, berharap dia muncul, tapi ternyata tidak. Akhirnya, aku memutuskan untuk menunggu di
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more

Bab 30. Program Arshaka (Part 2)

"Berkasnya lo yang nyimpen. Besok bawa," ucap Arshaka lagi, kali ini tanpa menoleh. Nada suaranya tegas, seolah tak memberi ruang untuk argumen.Aku hanya mengangguk pelan, meskipun dia tak melihatnya. Dengan tangan sedikit gemetar, aku meraih map kertas itu dan memasukkannya ke dalam ransel. Kertas-kertas di dalamnya terasa dingin di tanganku, sama dinginnya dengan suasana di antara kami. Gerakanku cepat dan tanpa suara, seolah-olah aku takut mengganggu ketenangan ruangan yang kini dikuasai oleh Arshaka.Ransel itu kini tergantung di bahuku, beratnya seperti menambah beban di dalam pikiranku. Aku berbalik, siap melangkah keluar tanpa menoleh lagi, namun tiba-tiba, suara Arshaka memecah keheningan, menghentikan langkahku seketika."Lo udah sholat Ashar?" Suaranya terdengar tenang, tanpa ada tanda-tanda emosi. Dia bahkan tidak mengangkat kepalanya, tangannya masih sibuk mengetik sesuatu di laptopnya."Udah," jawabku cepat, mencoba menjaga suaraku tetap stabil.Aku menunggu sejenak,
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more

Bab 30. Program Arshaka (Part 3)

Di sana, di penyeberangan yang sepi itu, aku pernah tergeletak tak berdaya, tenggelam dalam kegelapan selama dua hari yang terasa seperti kekekalan. Ingatan itu menghentikan langkahku, dan tampaknya, bukan hanya aku yang merasakannya. Arshaka pun berhenti, seolah merasakan beban yang sama menghantam dadanya.Aku ingat betul, pada hari kejadian itu, kami pulang bersama. Ada sedikit cekcok di antara kami—hal yang biasa terjadi. Tapi sekarang, aku tak lagi punya keberanian untuk meninggikan suaraku di depannya. Ketakutan itu muncul, membekukan seluruh keberanianku. Mungkin karena sikap dinginnya selama seminggu terakhir, atau karena perdebatan sengit saat pemilihan struktur inti OSIS. Entah mengapa, hatiku seperti terkunci rapat setiap kali aku melihatnya.Lamunanku terhenti oleh suara tepuk tangan Arshaka yang tiba-tiba membahana, memecah keheningan. Aku menoleh, melihat dia tengah menghentikan sebuah angkot. Tak butuh waktu lama, angkot itu segera berhenti di depan kami."Masuk," p
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more

Bab 31. Gelang dan Jejak Masa Lalu

"Kadang, untuk memahami masa depan, kita harus menyelami kedalaman kenangan yang terlupakan."⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆Aku melangkahkan kaki menuju rumah, namun pikiranku penuh dengan berbagai hal yang mengganggu. Bayangan sikap Arshaka yang dingin tapi masih peduli terus mengiang, lalu kekhawatiran tentang program OSIS yang dia ajukan, entah apakah akan diterima oleh kepala sekolah atau tidak, serta momen ketika dia dengan tenang mengangkat telepon dari Clara, memberikan perhatian yang membuat hatiku terasa sesak."Al! Kalau jalan jangan sambil ngelamun!" Teriakan Aline memecah lamunanku, membuatku tersentak.Aku tersadar, hampir saja aku menabrak tiang di depan rumah. 'Aku kenapa sih?' Dengan langkah pelan, aku mendekati Aline yang ternyata sudah berdiri di depan pintu, menungguku."Dari mana aja? Baru pulang jam segini," omel Aline, nada suaranya seperti seorang ibu yang sedang memarahi anaknya yang pulang terlambat karena terlalu asyik bermain.Aku menarik napas panjang sebelum menjawab,
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more

Bab 31. Gelang dan Jejak Masa Lalu (Part 2)

"Aline, kamu naruh gelang ke dalam tasku?" tanyaku heran.Aline yang baru selesai memasukkan buku ke dalam ranselnya, menoleh ke arahku dan menggeleng."Terus? Ini gelang siapa?" tanyaku lagi sambil menunjukkan gelang tersebut. Aline menghampiriku, mengambil gelang itu dari tanganku dan memperhatikannya dengan seksama."Entah." jawab Aline sambil mengangkat kedua bahunya."Eh, Al, cantik loh gelangnya. Kok bisa sih, nyasar di tas kamu. Aneh banget." tambah Aline, matanya tak lepas dari gelang itu.Aku mencoba mengingat-ingat, wajah-wajah yang mungkin memberikan gelang ini. Tapi semua terasa samar. 'Keenan? Atau..'"Al, bandulnya mirip banget sama kalung kamu yang hilang itu, bulan dan bintang," ucap Aline, membuat hatiku bergetar hebat.Aku segera menoleh, perasaan sesak menghimpit dadaku. Kalung itu... yang sudah lama hilang, tak pernah kembali. Kalung yang tak tergantikan, penuh kenangan dari masa lalu."Btw, kalung kamu belum ketemu?" tanya Aline, suaranya sarat dengan simpati.Ak
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more

Bab 31. Gelang dan Jejak Masa Lalu (Part 3)

Kamar kedua orang tuaku yang telah lama kosong itu terasa hampa dan sunyi, dinding-dindingnya seakan menyimpan kesedihan yang tak pernah terucapkan. Cahaya lampu temaram memantulkan bayang-bayang samar di permukaan perabotan, memberikan kesan bahwa ruangan ini telah lama ditinggalkan. Meskipun aku rutin membersihkan setiap sudutnya, debu tetap saja menempel di setiap permukaan, seolah-olah tidak ada upaya yang bisa benar-benar mengusir rasa sepi yang mengendap di tempat ini.Tidak ada kenangan hangat yang melekat di kamar ini. Semua memori yang kupunya adalah tentang nenek—bukan kedua orang tuaku. Kamar ini lebih seperti persinggahan singkat, tempat mereka singgah sebentar sebelum kembali bergegas ke kehidupan mereka yang jauh di luar negeri. Aku masih ingat dengan jelas hari itu, ketika aku hanya bisa menatap nanar kepergian mereka setelah sehari sebelumnya mereka membawaku dari rumah nenek. Malam itu, aku menangis sejadi-jadinya di balik jendela kamarku, memandangi bulan dan bintang
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more

Bab 31. Gelang dan Jejak Masa Lalu (Part 4)

Aku dan Aline saling menatap, mencoba mencerna informasi ini. Perasaan aneh menyusup dalam diriku. Tanganku bergerak membuka halaman berikutnya, di mana tertulis lagi kutipan yang sama seperti sebelumnya—kutipan tentang bulan dan bintang. Aku tidak menyangka bahwa ibuku ternyata juga mencintai langit malam seperti aku. Di sekeliling kutipan itu, ada lukisan tangan berupa bintang-bintang kecil yang menghiasi setiap sudut halaman. Jumlahnya banyak sekali, hingga hampir memenuhi seluruh halaman. Aku menatapnya dengan penuh haru, bertanya-tanya dalam hati apakah ibuku lebih menyukai bintang daripada bulan, seperti diriku? Atau ini hanya perasaanku saja?Aku terus membuka halaman-halaman berikutnya, sampai akhirnya mataku tertumbuk pada sebuah sketsa. Di situ, terlukis dua anak perempuan dengan ransel di punggung mereka, saling berpelukan dan tertawa bersama, seperti dua sahabat yang baru saja pulang dari sekolah. Mereka terlihat begitu bahagia, saling menatap dengan penuh kehangatan. Sia
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more

Bab 32. Badai Emosi

"Saat seseorang yang dulu kita kenal dengan baik mulai menjauh, kita sering kali bertanya-tanya apakah kita yang berubah, ataukah mereka yang memang tidak lagi sama."⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆Pagi itu, aku dan Aline melangkah keluar rumah dengan semangat yang perlahan membangun diri setelah malam yang panjang. Hujan yang turun sejak Subuh membasahi kota, meninggalkan jejak basah di jalanan dan titik-titik air yang bergelantungan di ujung dedaunan, seolah-olah alam baru saja mencuci dirinya. Saat jam menunjukkan pukul setengah enam, hujan mulai mereda, menyisakan embun yang membuat udara pagi terasa lebih segar dan hidup."Al? Kondisi kamu udah fit, kan?" Aline bertanya dengan nada yang penuh perhatian, memecah keheningan yang nyaman.Aku mengangguk perlahan, merasakan bahwa batukku yang sempat mengganggu sudah tak lagi muncul. Tubuhku pun terasa lebih baik setelah meminum obat dari...Pikiranku mendadak terhenti, memutar kembali kejadian semalam. Ada perasaan aneh yang menyelinap, campuran ant
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more

Bab 32. Badai Emosi (Part 2)

"Ya, kan masih hampir," Kafka membalas santai, semakin menyulut emosi Aline."Heh! Lo, tuh, ya!" Aline kembali menunjuk Kafka dengan gerakan yang lebih tajam, namun Kafka hanya mengangkat satu alisnya, tetap dengan wajah datarnya yang seolah menantang."Udah-udah, ini masih pagi loh," ucapku, mencoba meredakan ketegangan sambil memegang lengan Aline."Dia duluan, Al," Aline berkilah, memasang wajah kecutnya."Kok gue? Kan gue cuma nawarin tumpangan," Kafka menanggapi lagi, kali ini dengan sedikit anggukan.Aku menghela napas panjang, jika ini terus dibiarkan, mereka bisa sahut-sahutan sampai bel masuk berbunyi. Jam sudah menunjukkan hampir pukul enam."Kita jalan kaki aja, Kaf. Nggak apa-apa, makasih ya atas tawarannya," ujarku dengan nada tenang, mencoba menghentikan debat yang tak berujung ini."Nah kan, lo nggak denger apa yang Alsha bilang, hah!" Aline kembali membentak, kali ini dengan ekspresi yang lebih lega."Okay," Kafka mengangguk patuh, berbalik dan masuk kembali ke mobilny
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more

Bab 32. Badai Emosi (Part 3)

Aline yang biasanya penuh semangat tiba-tiba terdiam. Dia menghela napas panjang, mungkin sedikit kecewa karena kehadiran Keenan yang tak terduga ini membuatku tak sempat menjawab pertanyaannya. Tatapan Aline sedikit meredup, meski tak bisa disembunyikan sepenuhnya.Aku sendiri hanya bisa tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan sedikit kegugupan yang muncul karena sapaan akrabnya itu.Keenan tersenyum lebih lebar, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi memilih menahannya. Sementara Kafka, Abhi, dan Nevan berdiri sedikit di belakang, seakan membiarkan Keenan yang memimpin percakapan ini."Baru ngobrol bentar, udah dipotong aja," gumam Aline akhirnya, masih sedikit kesal tapi mencoba untuk tidak memperlihatkannya.Abhi, yang selalu ceria, tampak tak menyadari suasana hati Aline. "Ngomongin apa sih, neng? Kok serius amat," tanyanya dengan nada iseng, membuat Kafka melirik Aline sebentar sebelum kembali memasang wajah datarnya.Aku hanya menggelengkan kepala, berusaha mengalihkan
last updateLast Updated : 2024-10-06
Read more
PREV
1
...
7891011
...
15
DMCA.com Protection Status