"Kadang, untuk memahami masa depan, kita harus menyelami kedalaman kenangan yang terlupakan."⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆Aku melangkahkan kaki menuju rumah, namun pikiranku penuh dengan berbagai hal yang mengganggu. Bayangan sikap Arshaka yang dingin tapi masih peduli terus mengiang, lalu kekhawatiran tentang program OSIS yang dia ajukan, entah apakah akan diterima oleh kepala sekolah atau tidak, serta momen ketika dia dengan tenang mengangkat telepon dari Clara, memberikan perhatian yang membuat hatiku terasa sesak."Al! Kalau jalan jangan sambil ngelamun!" Teriakan Aline memecah lamunanku, membuatku tersentak.Aku tersadar, hampir saja aku menabrak tiang di depan rumah. 'Aku kenapa sih?' Dengan langkah pelan, aku mendekati Aline yang ternyata sudah berdiri di depan pintu, menungguku."Dari mana aja? Baru pulang jam segini," omel Aline, nada suaranya seperti seorang ibu yang sedang memarahi anaknya yang pulang terlambat karena terlalu asyik bermain.Aku menarik napas panjang sebelum menjawab,
"Aline, kamu naruh gelang ke dalam tasku?" tanyaku heran.Aline yang baru selesai memasukkan buku ke dalam ranselnya, menoleh ke arahku dan menggeleng."Terus? Ini gelang siapa?" tanyaku lagi sambil menunjukkan gelang tersebut. Aline menghampiriku, mengambil gelang itu dari tanganku dan memperhatikannya dengan seksama."Entah." jawab Aline sambil mengangkat kedua bahunya."Eh, Al, cantik loh gelangnya. Kok bisa sih, nyasar di tas kamu. Aneh banget." tambah Aline, matanya tak lepas dari gelang itu.Aku mencoba mengingat-ingat, wajah-wajah yang mungkin memberikan gelang ini. Tapi semua terasa samar. 'Keenan? Atau..'"Al, bandulnya mirip banget sama kalung kamu yang hilang itu, bulan dan bintang," ucap Aline, membuat hatiku bergetar hebat.Aku segera menoleh, perasaan sesak menghimpit dadaku. Kalung itu... yang sudah lama hilang, tak pernah kembali. Kalung yang tak tergantikan, penuh kenangan dari masa lalu."Btw, kalung kamu belum ketemu?" tanya Aline, suaranya sarat dengan simpati.Ak
Kamar kedua orang tuaku yang telah lama kosong itu terasa hampa dan sunyi, dinding-dindingnya seakan menyimpan kesedihan yang tak pernah terucapkan. Cahaya lampu temaram memantulkan bayang-bayang samar di permukaan perabotan, memberikan kesan bahwa ruangan ini telah lama ditinggalkan. Meskipun aku rutin membersihkan setiap sudutnya, debu tetap saja menempel di setiap permukaan, seolah-olah tidak ada upaya yang bisa benar-benar mengusir rasa sepi yang mengendap di tempat ini.Tidak ada kenangan hangat yang melekat di kamar ini. Semua memori yang kupunya adalah tentang nenek—bukan kedua orang tuaku. Kamar ini lebih seperti persinggahan singkat, tempat mereka singgah sebentar sebelum kembali bergegas ke kehidupan mereka yang jauh di luar negeri. Aku masih ingat dengan jelas hari itu, ketika aku hanya bisa menatap nanar kepergian mereka setelah sehari sebelumnya mereka membawaku dari rumah nenek. Malam itu, aku menangis sejadi-jadinya di balik jendela kamarku, memandangi bulan dan bintang
Aku dan Aline saling menatap, mencoba mencerna informasi ini. Perasaan aneh menyusup dalam diriku. Tanganku bergerak membuka halaman berikutnya, di mana tertulis lagi kutipan yang sama seperti sebelumnya—kutipan tentang bulan dan bintang. Aku tidak menyangka bahwa ibuku ternyata juga mencintai langit malam seperti aku. Di sekeliling kutipan itu, ada lukisan tangan berupa bintang-bintang kecil yang menghiasi setiap sudut halaman. Jumlahnya banyak sekali, hingga hampir memenuhi seluruh halaman. Aku menatapnya dengan penuh haru, bertanya-tanya dalam hati apakah ibuku lebih menyukai bintang daripada bulan, seperti diriku? Atau ini hanya perasaanku saja?Aku terus membuka halaman-halaman berikutnya, sampai akhirnya mataku tertumbuk pada sebuah sketsa. Di situ, terlukis dua anak perempuan dengan ransel di punggung mereka, saling berpelukan dan tertawa bersama, seperti dua sahabat yang baru saja pulang dari sekolah. Mereka terlihat begitu bahagia, saling menatap dengan penuh kehangatan. Sia
"Saat seseorang yang dulu kita kenal dengan baik mulai menjauh, kita sering kali bertanya-tanya apakah kita yang berubah, ataukah mereka yang memang tidak lagi sama."⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆Pagi itu, aku dan Aline melangkah keluar rumah dengan semangat yang perlahan membangun diri setelah malam yang panjang. Hujan yang turun sejak Subuh membasahi kota, meninggalkan jejak basah di jalanan dan titik-titik air yang bergelantungan di ujung dedaunan, seolah-olah alam baru saja mencuci dirinya. Saat jam menunjukkan pukul setengah enam, hujan mulai mereda, menyisakan embun yang membuat udara pagi terasa lebih segar dan hidup."Al? Kondisi kamu udah fit, kan?" Aline bertanya dengan nada yang penuh perhatian, memecah keheningan yang nyaman.Aku mengangguk perlahan, merasakan bahwa batukku yang sempat mengganggu sudah tak lagi muncul. Tubuhku pun terasa lebih baik setelah meminum obat dari...Pikiranku mendadak terhenti, memutar kembali kejadian semalam. Ada perasaan aneh yang menyelinap, campuran ant
"Ya, kan masih hampir," Kafka membalas santai, semakin menyulut emosi Aline."Heh! Lo, tuh, ya!" Aline kembali menunjuk Kafka dengan gerakan yang lebih tajam, namun Kafka hanya mengangkat satu alisnya, tetap dengan wajah datarnya yang seolah menantang."Udah-udah, ini masih pagi loh," ucapku, mencoba meredakan ketegangan sambil memegang lengan Aline."Dia duluan, Al," Aline berkilah, memasang wajah kecutnya."Kok gue? Kan gue cuma nawarin tumpangan," Kafka menanggapi lagi, kali ini dengan sedikit anggukan.Aku menghela napas panjang, jika ini terus dibiarkan, mereka bisa sahut-sahutan sampai bel masuk berbunyi. Jam sudah menunjukkan hampir pukul enam."Kita jalan kaki aja, Kaf. Nggak apa-apa, makasih ya atas tawarannya," ujarku dengan nada tenang, mencoba menghentikan debat yang tak berujung ini."Nah kan, lo nggak denger apa yang Alsha bilang, hah!" Aline kembali membentak, kali ini dengan ekspresi yang lebih lega."Okay," Kafka mengangguk patuh, berbalik dan masuk kembali ke mobilny
Aline yang biasanya penuh semangat tiba-tiba terdiam. Dia menghela napas panjang, mungkin sedikit kecewa karena kehadiran Keenan yang tak terduga ini membuatku tak sempat menjawab pertanyaannya. Tatapan Aline sedikit meredup, meski tak bisa disembunyikan sepenuhnya.Aku sendiri hanya bisa tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan sedikit kegugupan yang muncul karena sapaan akrabnya itu.Keenan tersenyum lebih lebar, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi memilih menahannya. Sementara Kafka, Abhi, dan Nevan berdiri sedikit di belakang, seakan membiarkan Keenan yang memimpin percakapan ini."Baru ngobrol bentar, udah dipotong aja," gumam Aline akhirnya, masih sedikit kesal tapi mencoba untuk tidak memperlihatkannya.Abhi, yang selalu ceria, tampak tak menyadari suasana hati Aline. "Ngomongin apa sih, neng? Kok serius amat," tanyanya dengan nada iseng, membuat Kafka melirik Aline sebentar sebelum kembali memasang wajah datarnya.Aku hanya menggelengkan kepala, berusaha mengalihkan
"Kita duduk di sini, Al," ucap Rey dengan suara lembut. Aku mengikutinya ke sebuah meja di sudut kantin sekolah, tempat yang cukup tenang, jauh dari keramaian. Rey, menata kursi dengan gerakan yang cekatan, menatapku sejenak, memastikan aku merasa nyaman sebelum mengisyaratkan untuk duduk. Aku baru saja duduk, dan belum sempat mengucapkan sepatah kata pun, Rey sudah membuka kotak nasi yang ia bawa. Bau harum nasi hangat segera menyeruak, membuat perutku yang sejak pagi kosong menggerutu lembut."Ini, Al, sarapan dulu. Lo masih dalam masa pemulihan, kan?" ucap Rey sambil menyodorkan kotak nasi itu ke arahku, suaranya terdengar penuh perhatian.Aku mengangguk, membenarkan ucapannya. Dua bulan sejak kecelakaan itu, tubuhku masih belum sepenuhnya pulih. Tanpa ragu, aku meraih kotak nasi yang dia tawarkan, lalu mulai makan dengan harapan segera menyelesaikan makananku dan mengucapkan terima kasih. Rey berdiri sejenak, membuatku sedikit bingung."Gue mau beli air minum dulu," katanya, sebe
“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"