Semua Bab Aku, Istri Warisan untuk Sang Konglomerat : Bab 21 - Bab 30

43 Bab

21. Dimarahi Ganindra

"Ups, sorry!" seru Aruna. Saking terkejutnya dia dengan pemandangan yang dilihat barusan, Aruna secara refleks menutup kembali pintu di depannya dengan sedikit bantingan. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu main nyelonong aja?" tegur Dimas dari balik gigi yang terkatup rapat. Dia terlihat sangat geram dengan tindakan yang baru saja Aruna lakukan. "Maaf ... " ucap Aruna tanpa ada niatan untuk melontarkan alasan apapun. "Kamu tahu tidak, kalau tindakan yang baru saja kamu lakukan itu sangat fatal. Kamu harus bersiap dimarahi oleh Bos!" ujar Dimas. Aruna tanpa sadar menelan ludah dengan susah payah sambil merutuki diri sendiri di dalam hati. Kedatangan Bimo hari ini membuatnya terlalu gugup hingga dirinya bertindak berlebihan. "Dasar wanita nggak punya adab!" maki wanita itu saat keluar dari ruangan Ganindra. Dia menatap Aruna dengan sorot mata miring penuh dengan ketidakpuasan. "M
Baca selengkapnya

22. Menjadi Perbincangan

"Untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya, aku akan memaafkanmu. Tapi kalau hal seperti ini terulang lagi, jangan harap aku akan berbaik hati. Apa kamu mengerti?!" desis Ganindra tepat di depan wajah Aruna yang sudah pucat pasi. Aroma kayu yang menenangkan dari parfum yang digunakan oleh Ganindra pun tidak bisa membuat debaran di balik dada Aruna sedikit lebih tenang. "A-Aku mengerti. sekali lagi aku minta maaf," ujar Aruna dengan sungguh-sungguh. Pengalaman seperti ini cukup sekali saja dia rasakan. Dia tidak mau mengulanginya lagi. "Ingat saja baik-baik. Hanya karena kita terjerat dalam hubungan pernikahan, bukan berarti sesuatu akan berubah di antara kita. Di perusahaan ini, aku tetap bosnya. Sedangkan kamu adalah karyawan. Jangan pernah bertingkah sok dekat. Aku tidak suka!" tukas Ganindra menahan geram. Kata demi kata yang dilontarkan oleh pria di depannya ini membuat hati Aruna entah kenapa serasa ditusuk-tusuk.
Baca selengkapnya

23. Undangan Kanina

Aruna duduk di dalam pantry sambil menyesap teh dinginnya ketika tiga orang wanita tiba-tiba mendobrak pintu untuk masuk. Para wanita yang berpenampilan rapi ala-ala wanita karir yang bekerja di balik meja sepanjang hari itu menatap dengan tatapan mencibir ke arah Aruna. "Heh! Apa benar kamu yang namanya Aruna Anastasia?" tanya salah seorang wanita berambut sebahu pada Aruna. Cara bicaranya yang agak kasar membuat sudut mata Aruna berkedut pelan. "Benar!" jawab Aruna dengan kooperatif. "Iuuuh, padahal kamu nggak cantik-cantik banget. Tapi kok bisa Pak Ganindra mau sama kamu?" tukas seorang wanita berambut pendek padanya. Mata wanita itu bergerak naik turun menatap Aruna dengan sorot jijik. "Ayo ikuti kami ke toilet," perintah wanita lain berambut panjang bergelombang yang diwarnai dengan warna pirang. "Untuk apa kita ke toilet. Kalau ada yang ingin kalian bicarakan, kita bisa melakukannya di sini," tolak Arun
Baca selengkapnya

24. Amara Jadi Adik Adopsi

"Aku selalu ketinggalan gosip soal kamu dan Pak Ganindra di kantor," keluh Amara saat mereka baru saja pulang kerja. "Menjadi bahan gosip seseorang itu tidak menyenangkan. Bagus kalau kamu tidak tahu banyak," timpal Aruna dengan asal-asalan. "Tsk! Jadi gimana? Aku dengar si Bimo datang lagi? Kali ini dia koar-koar kalau kamu akan menikah dengan Pak Ganindra 'kan. Tahu darimana dia soal ini? Terus kamu juga katanya dibully sama karyawan kantor itu?" rentetan pertanyaan Amara membuat Aruna menggulung mata dengan dramatis. "Ya gitu deh," jawab Aruna singkat. "Lalu apa rencanamu terkait ini semua?" Aruna mengangkat bahu pelan. Dia belum memiliki ide untuk apapun. Saat ini kepalanya terlalu penuh akan segala hal. Dia perlu mengurai masalah ini satu demi satu. "Pokoknya yang pasti aku harus berlatih tinju dengan lebih giat. Biar nanti kalau a
Baca selengkapnya

25. Elang Sistoyo

Sebuah koper berwarna merah menyala tergeletak di samping kaki jenjang Aruna. Saat ini dia telah tiba di depan Azura Penthouse yang akan menjadi tempat tinggal barunya. "Baik-baik di sini ya, kakakku!" seloroh Amara tanpa turun dari sepeda motor bututnya. "Kamu juga jaga diri sendiri dan ibu baik-baik ya, adikku!" balas Aruna tidak kalah mendramatisir suasana. "Sudah pasti, kakak!" "Huek!" Mereka lantas berseru dengan kompak, lalu tertawa renyah bersama. Setelah berpamitan karena harus segera berangkat kerja, Amara pun meninggalkan Aruna seorang diri di depan gerbang bangunan mewah yang menjulang tinggi itu. Sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Ganindra, Aruna terlebih dahulu harus melaporkan kedatangannya pada penjaga yang sedang bertugas. "Permisi, Pak. Nama saya Aruna. Pak Ganindra meminta saya melapor dulu agar diizinkan untuk masuk," sapa Aruna pada seorang penjaga
Baca selengkapnya

26. Elang Sistoyo (2)

"Kamu sudah datang? Kamu sudah makan malam belum? Mau makan bareng nggak?" Aruna memberondong Ganindra dengan berbagai macam pertanyaan begitu pria itu masuk ke dalam Penthouse. Namun, Ganindra hanya menoleh sekilas melalui sudut matanya sebelum kemudian melanjutkan langkah menuju kamar tidur utama. Suara yang sempat terbentuk di dalam Penthouse mewah tapi dingin itu kembali tenggelam. Hanya menyisakan keheningan kikuk. Aruna yang perutnya sudah keroncong sejak tadi pun menyeret langkahnya dengan gontai menuju dapur. Seharusnya dia tidak perlu sok-sokan menunggu Ganindra pulang dengan dalih mau makan bersama. Apa yang bisa diharapkan dari pria yang membangun tembok begitu tinggi di antara mereka itu? "Jangan buru-buru, Aruna. Santai saja," bisik Aruna menghibur diri sendiri seraya terus memasak mie. Makan malam yang akan dia santap sebagai pengganjal perut untuk malam ini. "Tinggal seatap dengan Ganindra benar-benar tidak s
Baca selengkapnya

27. Sarapan Sederhana

Aruna mengerjapkan matanya berulang kali karena bentakan Ganindra. Tapi dia dengan cepat tersadar. Kedua lengan lalu dilipat di depan dada. "Di dalam kesepakatan kita, tidak ada tuh poin yang memintaku untuk mematuhi setiap omonganmu. Jadi kenapa aku harus menuruti keinginanmu? Lagipula terserah aku dong mau ngobrol dengan siapa saja," tukas Aruna dengan nada menantang. Ganindra yang sudah berada di setengah jalan menuju kamarnya pun segera berbalik. Derap langkahnya yang memberikan kesan tidak ingin dibantah menghampiri Aruna. Dengan kasar Ganindra lantas mendesak Aruna di antara tembok dan dirinya sendiri. "Kalau begitu, ini akan menjadi peraturan tidak tertulis di antara kita mulai sekarang. Kamu harus menuruti kata-kataku!" desis Ganindra tepat di depan wajah Aruna. Tipisnya jarak di antara mereka membuat sekujur tubuh Aruna merinding. Maklum, dia tidak terbiasa berada dalam jarak seperti ini dengan lawan jenis. Meski
Baca selengkapnya

28. Pulang Terlambat

Hari demi hari berganti. Dalam seminggu setelah tinggal bersama dengan Ganindra, mulai terbentuk kebiasaan di antara mereka berdua. Aruna akan bangun pagi-pagi sekali untuk joging, kemudian memasak sarapan setelahnya. Akan tetapi, di malam hari Aruna akan ditinggalkan seorang diri. Ganindra baru akan pulang ke tempat tinggal mereka begitu jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam ke atas. Rutinitas mereka yang terus berulang seperti itu pada akhirnya membuat Aruna bosan. Dia yang semula akan bergegas kembali begitu sesi latihan tinjunya selesai pun, kini lebih memilih untuk berlama-lama di rumah Amara. Lebih baik dia membicarakan rencana-rencana masa depan mereka, daripada harus tenggelam dalam rasa sepi yang tidak biasa dia rasakan di tempat itu. "Ngomong-ngomong, Run. Kamu sama Amara kerja dari pagi sampai sore. Dengan semua agenda yang mau kamu realisasikan itu, kamu yakin bakal efektif? Kalau semua kegiatan dilakukan saat ada waktu libu
Baca selengkapnya

29. Menghadiri Ulang Tahun Kanina

"Kamu kenapa ngasih tahunya dadakan sih? Aku 'kan belum beli gaun buat dipakai ke acara ulang tahun Kanina!" protes Aruna di sepanjang jalan menuju bandara. "Kamu jangan norak. Di Bali banyak orang yang jualan baju," timpal Ganindra mulai terdengar tidak sabar. Sudah tidak terhitung berapa kali dia mendengar Aruna mengeluhkan hal yang sama sejak dia bangun tidur tadi. "Aku tahu. Tapi emangnya kamu mau nemenin aku pergi beli?" sambar Aruna yang membuat bibir Ganindra langsung terkunci rapat. " ... " "Aku nggak mau ya kayak orang bodoh gara-gara kamu. Pokoknya kalau kamu nggak mau nganter aku beli gaun baru, aku nggak bakal datang ke acara ulang tahun si Kanina itu!" tukas Aruna dengan nada final. Ganindra pun mendecakkan lidah dengan kasar. "Emang kamu nggak punya gaun lama buat dipakai?" tanyanya mulai kesal. "Aku 'kan orang miskin. Jadi maaf-maaf aja nih kalau aku nggak pernah punya gaun. Ka
Baca selengkapnya

30. Menghadiri Ulang Tahun Kanina (2)

Acara ulang tahun Kanin akan diadakan pada jam tujuh malam. Jadi Aruna sudah mulai sibuk bersiap-siap dari sejak pukul lima sore. Lima buah gaun dengan berbagai warna dan bentuk yang dibeli siang tadi berjejer berantakan di atas ranjang hotel. Aruna sedikit kebingungan harus menggunakan gaun yang mana. [Kamu suka warna apa?] Aruna mengirim pesan random pada Ganindra tanpa ada harapan untuk dibalas. Namun, lagi-lagi tindakan pria itu membuat Aruna tekejut. [Hitam,] Adalah pesan balasan yang kemudian Aruna terima. Tanpa banyak berpikir lagi, Aruna segera menyisihkan gaun lain yang tidak dia butuhkan. Begitu dirinya tidak lagi dipusingkan oleh masalah pakaian, Aruna begegas ke kamar mandi untuk memoles dirinya sendiri. Dua jam adalah waktu yang dia butuhkan untuk seluruh proses hingga dirinya siap. Sebuah gaun ketat berwarna hitam sepanjang lutut membebat tubuh Aruna yang bisa dibilang tidak ter
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status