Home / Romansa / OBSESI PRIA BERKUASA / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of OBSESI PRIA BERKUASA: Chapter 51 - Chapter 60

75 Chapters

Ajari aku

Dentuman senjata bergema di sepanjang halaman mansion. Rohander berdiri di depan anak buahnya, tangannya kokoh menggenggam pistol sementara pandangannya tetap fokus pada Lucas di kejauhan. Asap tipis mengepul dari tembakan sebelumnya, membungkus udara dengan aroma mesiu yang tajam.Di balik tembok batu mansion, Agatha memeluk tubuhnya sendiri. Bukan karena takut, tapi karena desakan perasaan yang tak ia mengerti. Kedua tangannya sedikit gemetar saat ia meraba lehernya, di mana jejak luka tipis bekas peluru Lucas beberapa hari lalu masih samar terasa.Namun, alih-alih gentar, dia mendapati dirinya malah tersenyum. Bukan senyum kemenangan, melainkan senyum penuh kebingungan. Lucas menginginkannya? Bukan hanya sebagai adik yang hilang, tetapi karena sesuatu yang lebih besar. Apa maksudnya?Suara teriakan seseorang di luar membuyarkan pikirannya. Agatha mengintip dari balik jendela. Rohander berlutut di tengah halaman, berusaha menahan rasa sakit di bahunya yang terkena peluru. Darah mene
Read more

Pilihannya atau rencana?

Langkah Agatha dan Lucas menuju ke dalam kegelapan malam, jauh dari reruntuhan mansion yang seharusnya menjadi rumahnya. Suara desau angin seakan mengiringi perjalanan mereka, membawa harapan sekaligus ancaman. Di belakang mereka, Rohander berdiri tertegun, merasakan sakit yang menyengat di dadanya. Tidak hanya karena Agatha yang memilih pergi, tetapi juga karena ketidakpastian akan masa depan yang menanti mereka semua.Agatha menoleh sebentar, melihat Rohander yang terdiam, tatapannya penuh keraguan. Di dalam hatinya, rasa bersalah mulai menghantui, tetapi tekad untuk mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya lebih kuat. Dia kembali mengalihkan pandangannya ke Lucas yang melangkah mantap, wajahnya tampak tenang seperti lautan yang tenang namun menyimpan badai di bawah permukaannya.“Ke mana kita pergi?” Agatha bertanya, berusaha mengabaikan kegelisahan yang bergejolak di dalam dirinya.Lucas berhenti sejenak, menatapnya dengan serius. “Tempat yang aman,” katanya, suara rendah dan pe
Read more

Meskipun hanya kebencian yang kau miliki untukku

Ruangan itu penuh ketegangan, seperti udara berat yang sulit untuk dihirup. Agatha berdiri di dekat jendela, merasakan setiap getaran yang memantul dari dinding-dinding dingin mansion. Perasaan gelisah yang sudah mengikutinya selama dua hari ini semakin kuat. Sesuatu yang buruk akan terjadi, ia tahu itu.Langkah-langkah kaki menggema di lorong. Pintu terbuka, tetapi sosok yang muncul bukanlah Lucas. Itu adalah pria berwajah dingin, dengan tatapan obsesi yang memancar dari sorot matanya. Senyum tipis menghiasi bibirnya saat dia mendekat, langkahnya seperti irama maut."Agatha," suaranya tenang, tapi dingin. "Apa kau sudah siap?"Agatha mundur, rasa waspada memuncak dalam dadanya. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya dengan suara gemetar, meskipun ia berusaha mempertahankan sikap tegar. Tatapannya tetap pada pria itu, seperti mencoba membaca niatnya, tetapi senyumnya hanya semakin menakutkan.Sebelum pria itu bisa menjawab, pintu kembali terbuka dengan keras. Rohander muncul, wajahnya penu
Read more

Kalian semua sama saja!

Untuk pertama kalinya, Agatha tampak benar-benar hancur. Wajahnya tak lagi dipenuhi amarah atau keberanian seperti biasanya—hanya kepedihan dan kehilangan yang terukir jelas di sana. Namun, Rohander, dengan dingin dan keputusannya yang tak tergoyahkan, mengambil tindakan yang lebih keras. Dia tahu Agatha sedang berada di ujung kehancuran, tetapi dia tidak bisa membiarkannya bebas, terutama dalam kondisinya sekarang.Rohander menarik Agatha ke dalam kamar besar yang sunyi dan kosong, lalu menutup pintu dengan kunci tebal. Agatha berdiri di tengah ruangan, menatap pintu dengan tatapan kosong sebelum akhirnya tersadar dengan apa yang sedang terjadi. Dengan suara gemetar dan tercekik, ia mulai berteriak.“Kau pikir ini akan menyelesaikan semuanya, Rohander?!” teriak Agatha, memukul pintu dengan telapak tangannya yang semakin memerah. "Kau pikir dengan mengurungku di sini, kau bisa menghilangkan rasa sakit ini?!" Rohander berdiri di luar kamar, mendengar setiap kata yang dilontarkan Agath
Read more

Usaha pelarian yang sia-sia

"Aku pergi dulu, jadilah wanita baik. Hmm..."CUP!Ketika Rohander pergi untuk urusan bisnis, mansion yang sebelumnya tegang terasa sedikit lebih sunyi. Agatha duduk di tepi tempat tidur, memandangi laut yang tenang di luar jendela, pikirannya dipenuhi dengan kebingungan dan rasa frustasi. Rasa terkekang yang selama ini dia pendam semakin membuatnya gelisah. Kesempatan ini harus dia manfaatkan. Tanpa Rohander di mansion, dia merasa ini adalah saatnya untuk mencoba melarikan diri.Agatha berjalan mondar-mandir di kamar, matanya berkeliaran mencari jalan keluar yang tak akan menarik perhatian para penjaga. Akhirnya, dia menatap balkon di luar kamar, satu-satunya jalan keluar yang cukup terbuka. Walaupun terlihat berbahaya, Agatha tak ragu. Dengan tekad kuat, dia membuka pintu balkon dan menatap ke bawah, kakinya menggigil melihat ketinggian."Aku bisa melakukan ini," gumamnya pelan. Tanpa pikir panjang, Agatha mulai memanjat pagar balkon, jari-jarinya berpegang erat pada tepian batu. K
Read more

Sebuah fakta

Agatha duduk di ruang tengah mansion, tubuhnya terasa lelah setelah berbagai usaha melarikan diri yang selalu berakhir gagal. Matanya terpejam sejenak, mencoba melupakan perasaan putus asa yang mulai menggerogoti semangatnya. Di sampingnya, beberapa camilan tergeletak tak tersentuh, hanya menjadi saksi bisu dari keletihan fisik dan mental yang ia rasakan.Sementara itu, suara langkah kaki Rohander terdengar mendekat, dengan kehadirannya yang selalu membawa atmosfer berat. Agatha tetap diam, enggan memberi reaksi meski dalam hatinya ia tahu Rohander akan segera muncul dengan ejekan atau komentar sinisnya.Benar saja, begitu Rohander memasuki ruang tengah dan melihat Agatha yang duduk tak berdaya, dia mendengus sinis. "Kau menyerah begitu cepat? Padahal aku pikir kau wanita yang lebih tangguh daripada ini," katanya dengan nada mengejek, berdiri di depan Agatha yang tampak tak terpengaruh.Agatha membuka matanya, menatap Rohander dengan pandangan malas. “Terserah apa katamu. Aku terlalu
Read more

Bahkan jika hanya kebencian

Agatha terbangun dengan napas tersengal, matanya yang dulu penuh dengan api perlawanan kini tampak sayu. Dia duduk di atas sofa, merasakan dinginnya kain di bawah tubuhnya. Tangannya bergetar pelan saat dia menyadari bahwa dia tidak sendirian—Rohander duduk di kursi di depannya, kedua lengannya disilangkan di dada, mata gelapnya tajam, memperhatikannya dengan intens.Cahaya sore yang menyelinap dari jendela membentuk bayangan halus di wajahnya, tapi Rohander tidak bergerak, hanya mengamati setiap perubahan kecil dalam ekspresi Agatha. Dia berusaha menutupi kekalutannya dengan tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja," suaranya terdengar pecah, nyaris seperti bisikan. Namun, di dalam dadanya, denyut ketegangan terus bertalu-talu, tak tertahankan.“Jangan berbohong, Agatha,” suara Rohander rendah, tapi ada sesuatu yang keras dan dingin di balik nada itu, yang membuat kata-katanya seperti cambukan halus. "Kau tidak baik-baik saja." Ujung bibirnya melengkung sedikit, hampir seolah mengejek, t
Read more

Kau bukan bonekaku, tapi kau milikku

Pagi itu, suasana di mansion berubah. Rohander, yang biasanya menyendiri, kini menerima kunjungan para tokoh penting dari dunia bisnis dan kriminal yang hanya sesekali muncul di tempat itu. Setiap tamu yang tiba disambut dengan penjagaan ketat, menandakan betapa pentingnya pertemuan kali ini. Agatha, yang masih terperangkap dalam keputusasaannya, memperhatikan dari jendela kamarnya, merasa jengkel namun penasaran.Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka dan Rohander muncul, mengamati Agatha dengan pandangan tak tertebak. "Turun bersamaku. Aku ingin kau ada di sana."Agatha, yang masih belum pulih dari percakapan mereka sebelumnya, mendengus. “Apa aku harus ikut? Ini urusanmu, bukan urusanku.”Rohander tidak menjawab, hanya memberikan tatapan tegas yang membuat Agatha mengerti bahwa ini bukanlah undangan, melainkan perintah. Tanpa kata-kata, ia menuntunnya ke ruang pertemuan, tangannya menggenggam lengan Agatha dengan kuat namun terasa posesif.Ruangan itu dipenuhi oleh pria-pria berpe
Read more

Jangan mencoba memisahkan kami

Agatha mendadak menahan kepalanya, wajahnya memucat dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Rasa nyeri menjalar dari pelipisnya hingga ke leher, membuatnya tersentak. Instinctnya berontak, seolah ada suara yang berteriak di dalam kepalanya, memaksanya untuk bangkit dari tempatnya.Rohander, yang masih berada di dekatnya, langsung panik saat melihat ekspresi kesakitan di wajah Agatha. “Agatha! Apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa?” tanyanya, suaranya penuh kecemasan saat dia meraih lengan Agatha dengan lembut.Agatha, berusaha menenangkan, menarik napas dalam-dalam. “Aku… hanya butuh istirahat sebentar,” katanya, suaranya bergetar namun berusaha terdengar tenang. Dia tahu dia tidak bisa menunjukkan kelemahan di hadapan Rohander, apalagi di saat-saat seperti ini.Tanpa peringatan lebih lanjut, Rohander mengangkat Agatha, memangku tubuhnya dengan kuat, seolah dia adalah anak kecil yang sedang berpegangan pada orang tuanya. Agatha merasa wajahnya memanas, meskipun dalam keadaan sep
Read more

Beban berat

Agatha terbangun di pagi hari dengan sinar matahari menyelinap melalui tirai, menciptakan pola cahaya di lantai kayu. Suasana di dalam kamar terasa sunyi, hanya terdengar suara angin yang berdesir. Dia mengedarkan pandangannya, melihat potret dirinya yang terkurung di dalam rutinitas baru ini. Rohander sudah pergi bekerja, meninggalkannya dalam kesunyian yang menyakitkan.Sementara itu, pikirannya berputar tentang rencana untuk melarikan diri. Di bawah tumpukan bantal, dia menemukan handphone pribadinya yang tersembunyi. Bagaimana bisa benda ini ada di sini? Mungkin dia salah tempat, atau Rohander tidak menyadari keberadaannya. Agatha dengan cepat menyalakannya, jari-jarinya bergetar saat ia membuka daftar kontak, mencari seseorang yang bisa membantunya. Dia menelpon seseorang yang dia harap bisa memberinya informasi. Namun, ketika suara di ujung sana terdengar, dia tahu bahwa orang itu tidak dapat berbicara langsung. Pesan-pesan samar dan tersembunyi membuatnya frustrasi. Keputusasa
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status