"Aku pergi dulu, jadilah wanita baik. Hmm..."CUP!Ketika Rohander pergi untuk urusan bisnis, mansion yang sebelumnya tegang terasa sedikit lebih sunyi. Agatha duduk di tepi tempat tidur, memandangi laut yang tenang di luar jendela, pikirannya dipenuhi dengan kebingungan dan rasa frustasi. Rasa terkekang yang selama ini dia pendam semakin membuatnya gelisah. Kesempatan ini harus dia manfaatkan. Tanpa Rohander di mansion, dia merasa ini adalah saatnya untuk mencoba melarikan diri.Agatha berjalan mondar-mandir di kamar, matanya berkeliaran mencari jalan keluar yang tak akan menarik perhatian para penjaga. Akhirnya, dia menatap balkon di luar kamar, satu-satunya jalan keluar yang cukup terbuka. Walaupun terlihat berbahaya, Agatha tak ragu. Dengan tekad kuat, dia membuka pintu balkon dan menatap ke bawah, kakinya menggigil melihat ketinggian."Aku bisa melakukan ini," gumamnya pelan. Tanpa pikir panjang, Agatha mulai memanjat pagar balkon, jari-jarinya berpegang erat pada tepian batu. K
Agatha duduk di ruang tengah mansion, tubuhnya terasa lelah setelah berbagai usaha melarikan diri yang selalu berakhir gagal. Matanya terpejam sejenak, mencoba melupakan perasaan putus asa yang mulai menggerogoti semangatnya. Di sampingnya, beberapa camilan tergeletak tak tersentuh, hanya menjadi saksi bisu dari keletihan fisik dan mental yang ia rasakan.Sementara itu, suara langkah kaki Rohander terdengar mendekat, dengan kehadirannya yang selalu membawa atmosfer berat. Agatha tetap diam, enggan memberi reaksi meski dalam hatinya ia tahu Rohander akan segera muncul dengan ejekan atau komentar sinisnya.Benar saja, begitu Rohander memasuki ruang tengah dan melihat Agatha yang duduk tak berdaya, dia mendengus sinis. "Kau menyerah begitu cepat? Padahal aku pikir kau wanita yang lebih tangguh daripada ini," katanya dengan nada mengejek, berdiri di depan Agatha yang tampak tak terpengaruh.Agatha membuka matanya, menatap Rohander dengan pandangan malas. “Terserah apa katamu. Aku terlalu
Agatha terbangun dengan napas tersengal, matanya yang dulu penuh dengan api perlawanan kini tampak sayu. Dia duduk di atas sofa, merasakan dinginnya kain di bawah tubuhnya. Tangannya bergetar pelan saat dia menyadari bahwa dia tidak sendirian—Rohander duduk di kursi di depannya, kedua lengannya disilangkan di dada, mata gelapnya tajam, memperhatikannya dengan intens.Cahaya sore yang menyelinap dari jendela membentuk bayangan halus di wajahnya, tapi Rohander tidak bergerak, hanya mengamati setiap perubahan kecil dalam ekspresi Agatha. Dia berusaha menutupi kekalutannya dengan tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja," suaranya terdengar pecah, nyaris seperti bisikan. Namun, di dalam dadanya, denyut ketegangan terus bertalu-talu, tak tertahankan.“Jangan berbohong, Agatha,” suara Rohander rendah, tapi ada sesuatu yang keras dan dingin di balik nada itu, yang membuat kata-katanya seperti cambukan halus. "Kau tidak baik-baik saja." Ujung bibirnya melengkung sedikit, hampir seolah mengejek, t
Pagi itu, suasana di mansion berubah. Rohander, yang biasanya menyendiri, kini menerima kunjungan para tokoh penting dari dunia bisnis dan kriminal yang hanya sesekali muncul di tempat itu. Setiap tamu yang tiba disambut dengan penjagaan ketat, menandakan betapa pentingnya pertemuan kali ini. Agatha, yang masih terperangkap dalam keputusasaannya, memperhatikan dari jendela kamarnya, merasa jengkel namun penasaran.Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka dan Rohander muncul, mengamati Agatha dengan pandangan tak tertebak. "Turun bersamaku. Aku ingin kau ada di sana."Agatha, yang masih belum pulih dari percakapan mereka sebelumnya, mendengus. “Apa aku harus ikut? Ini urusanmu, bukan urusanku.”Rohander tidak menjawab, hanya memberikan tatapan tegas yang membuat Agatha mengerti bahwa ini bukanlah undangan, melainkan perintah. Tanpa kata-kata, ia menuntunnya ke ruang pertemuan, tangannya menggenggam lengan Agatha dengan kuat namun terasa posesif.Ruangan itu dipenuhi oleh pria-pria berpe
Agatha mendadak menahan kepalanya, wajahnya memucat dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Rasa nyeri menjalar dari pelipisnya hingga ke leher, membuatnya tersentak. Instinctnya berontak, seolah ada suara yang berteriak di dalam kepalanya, memaksanya untuk bangkit dari tempatnya.Rohander, yang masih berada di dekatnya, langsung panik saat melihat ekspresi kesakitan di wajah Agatha. “Agatha! Apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa?” tanyanya, suaranya penuh kecemasan saat dia meraih lengan Agatha dengan lembut.Agatha, berusaha menenangkan, menarik napas dalam-dalam. “Aku… hanya butuh istirahat sebentar,” katanya, suaranya bergetar namun berusaha terdengar tenang. Dia tahu dia tidak bisa menunjukkan kelemahan di hadapan Rohander, apalagi di saat-saat seperti ini.Tanpa peringatan lebih lanjut, Rohander mengangkat Agatha, memangku tubuhnya dengan kuat, seolah dia adalah anak kecil yang sedang berpegangan pada orang tuanya. Agatha merasa wajahnya memanas, meskipun dalam keadaan sep
Agatha terbangun di pagi hari dengan sinar matahari menyelinap melalui tirai, menciptakan pola cahaya di lantai kayu. Suasana di dalam kamar terasa sunyi, hanya terdengar suara angin yang berdesir. Dia mengedarkan pandangannya, melihat potret dirinya yang terkurung di dalam rutinitas baru ini. Rohander sudah pergi bekerja, meninggalkannya dalam kesunyian yang menyakitkan.Sementara itu, pikirannya berputar tentang rencana untuk melarikan diri. Di bawah tumpukan bantal, dia menemukan handphone pribadinya yang tersembunyi. Bagaimana bisa benda ini ada di sini? Mungkin dia salah tempat, atau Rohander tidak menyadari keberadaannya. Agatha dengan cepat menyalakannya, jari-jarinya bergetar saat ia membuka daftar kontak, mencari seseorang yang bisa membantunya. Dia menelpon seseorang yang dia harap bisa memberinya informasi. Namun, ketika suara di ujung sana terdengar, dia tahu bahwa orang itu tidak dapat berbicara langsung. Pesan-pesan samar dan tersembunyi membuatnya frustrasi. Keputusasa
Saat Agatha melangkah keluar dari kafe, dia melihat mobil mewah hitam mengkilap menunggu di depan. Di balik kaca jendela, sosok Rohander tampak menantinya dengan senyuman, meski senyum itu kini terasa lebih menyakitkan bagi Agatha setelah mengetahui rahasia yang menyelubungi pria itu. Di sampingnya, Lila mengamati dengan tajam, merasakan ketegangan yang berpotensi pecah di antara mereka.“Jaga dirimu,” Lila berbisik sebelum Agatha melangkah lebih dekat ke mobil.“Aku akan,” jawab Agatha, mencoba menampakkan keberanian meski hatinya bergejolak.Rohander keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya, tetap dengan senyum yang sama. Namun, saat Agatha melangkah masuk, dia merasakan tatapan tajam Lila yang masih mengawasinya. Sebelum pintu ditutup, Lila melontarkan satu kalimat singkat namun bermakna, “Ingat, Agatha. Jaga dirimu.”Setelah pintu tertutup, Rohander meluncurkan mobil dengan kecepatan lembut. Namun suasana di dalamnya tampak kaku. Agatha tidak merasakan dorongan untuk berbic
Agatha berbalik, meninggalkan Rohander yang terdiam dalam kebingungan. Dia melangkah cepat ke arah jendela, matanya terpaku pada pemandangan luar yang seakan menjadi pelarian dari ketegangan di dalam ruangan. Gelombang ombak berdebur keras di pantai, menciptakan suara latar yang seolah menggema dengan jeritan hatinya. Dia ingin berlari, meninggalkan semua ini, tetapi di balik hatinya, dia tahu bahwa semua itu tak semudah yang diharapkan.Rohander masih berdiri di tempatnya, matanya meneliti ekspresi Agatha. Dia bisa melihat keputusasaan yang terpancar dari wajahnya. “Agatha,” suaranya terdengar pelan, namun Agatha tidak menoleh. Dia merasa lelah, sangat lelah untuk terus bertahan di antara cinta dan kebencian, antara harapan dan keputusasaan.“Jangan,” Agatha akhirnya berkata, suaranya serak. “Aku tidak ingin mendengarnya lagi. Apa pun yang kau katakan, itu tidak akan mengubah kenyataan.” Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang sudah mengancam akan jatuh.Rohander melan
Pisau di tangan Rohander memancarkan sinar biru yang tajam, membuat seluruh ruangan seperti terselimuti kabut dingin. Agatha merasakan hawa aneh menyusup ke kulitnya, seperti sesuatu sedang mencoba menyeretnya ke dalam kegelapan."Pisau itu…" Clara bergumam, matanya melebar. "Itu bukan senjata biasa. Dia menggunakan sesuatu yang tidak manusiawi!"Rohander tersenyum puas, mencium ketakutan di wajah mereka. "Kalian benar, Clara. Pisau ini adalah warisan dari tempat yang tak bisa kalian bayangkan. Hanya sedikit yang berani menyentuhnya, apalagi menggunakannya."“Omong kosong!” seru Agatha, mencoba menenangkan kegelisahannya. “Pisau itu tidak akan menyelamatkanmu dari apa yang sudah kau lakukan, Rohander!”“Oh, sayangku, ini bukan soal menyelamatkan,” Rohander mengayunkan pisau itu perlahan, dan sebuah retakan aneh muncul di udara, seperti kaca yang pecah. "Ini soal memastikan kau tak pernah pergi dariku."Retakan itu melebar, dan dari baliknya muncul bayangan-bayangan gelap berbentuk sep
Di dalam vila, Agatha merasakan detik-detik itu bergerak lebih lambat dari biasanya.Rohander berdiri di dekat perapian, tatapannya seperti pemangsa yang tidak sabar menunggu mangsanya jatuh ke dalam perangkap. Agatha menundukkan kepala, pura-pura menyerah sementara pikirannya bekerja cepat untuk memikirkan langkah selanjutnya."Kau tahu, Agatha," Rohander memulai, nada suaranya santai namun menusuk, "aku selalu kagum pada ketabahanmu. Bahkan ketika kau mencoba melarikan diri dariku, kau melakukannya dengan cara yang mengesankan."Agatha mendongak, matanya bertemu dengan matanya yang dingin. "Dan itu tidak memberitahumu sesuatu, Rohander? Aku tidak ingin berada di sini."Rohander menghela napas, seolah-olah dia bosan mendengar penolakan itu. "Mungkin aku harus lebih jelas. Kau tidak punya pilihan lagi. Aku sudah memberimu waktu dua tahun, Agatha. Cukup sudah."Sebelum Agatha sempat membalas, pintu ruang tamu terbuka. Seorang pria berseragam hitam masuk dan berbisik di telinga Rohander
Di luar, malam terasa mencekam. Suara tembakan masih terdengar berselang-seling, membuat langkah mereka semakin terburu-buru. Agatha berusaha menjaga ketenangannya meski tubuhnya masih lemah. Clara berjalan di depan, memimpin mereka menuju mobil yang sudah disiapkan di sisi lain properti.“Siapa yang menyerang?” tanya Rohander dengan nada penuh ancaman, matanya menyapu area sekitar seperti elang mengintai mangsa.“Orang-orang dari faksi yang selama ini bersembunyi,” jawab Clara cepat, tapi ia tidak memberi detail lebih jauh.“Apa maksudmu dengan ‘faksi’? Jelaskan, Clara!” desak Rohander, namun Clara tetap fokus berjalan.Agatha, yang berjalan di belakang mereka, mendesah pelan. “Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, ya, Rohander?” katanya dengan nada mengejek. “Selama ini kau sibuk menjaga kekuasaanmu, tapi kau lupa bahwa kekuasaan selalu menarik musuh dari bayang-bayang.”Rohander menoleh tajam. “Jika ini tentang pengkhianat dalam organisasiku, aku akan menyelesaikannya.”“Bukan hanya
Malam itu, setelah kejadian di galeri, Agatha duduk di balkon apartemennya, menatap ke arah langit malam yang dipenuhi bintang. Angin sejuk berhembus pelan, membawa ketenangan yang aneh namun tidak sepenuhnya menghapus kegelisahan di dalam dirinya. Pertemuan dengan Rohander tadi masih mengendap di pikirannya, mengusik setiap sudut emosi yang berusaha ia kubur selama dua tahun terakhir.Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Clara."Kau baik-baik saja? Aku melihat wajahmu setelah pria itu pergi."Agatha tersenyum tipis, meski sedikit pahit. Clara selalu perhatian padanya. Ia mengetik balasan dengan cepat."Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah peduli. Jangan khawatir, aku tahu apa yang harus kulakukan."Namun, apa benar ia tahu? Suara Rohander masih terngiang-ngiang di kepalanya, terutama kalimat terakhir yang diucapkannya: "Aku tidak akan menyerah."Agatha memejamkan matanya, mencoba menepis rasa takut dan keraguan. Ia telah bekerja keras untuk mencapai kehidupan yang damai ini, dan
Agatha melangkah ke meja kerjanya dengan penuh ketenangan, menatap lukisan-lukisan yang ia rawat dengan penuh dedikasi. Setiap karya seni itu kini tampak lebih hidup baginya—seperti sebuah refleksi dari dirinya yang baru. Dia menyadari bahwa setiap goresan warna pada kanvas, setiap detail yang halus, menggambarkan perjalanan panjang yang telah ia lewati. Semua itu membawanya pada pemahaman bahwa ada keindahan dalam kesendirian, dalam kebebasan untuk memilih tanpa ada yang menahan.Sore itu, galeri terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada lagi keributan atau konflik yang mengikatnya. Semua orang yang bekerja dengannya menghargai kedamaiannya, saling berbagi ide dan kreativitas. Agatha menyukai suasana itu, suasana di mana ia bisa berdiri sendiri tanpa harus takut atau khawatir.Tiba-tiba, pintu galeri terbuka, dan seorang wanita muda masuk dengan senyum ramah. Wajahnya asing bagi Agatha, tapi ada aura yang ramah dalam diri wanita itu. Agatha mengangkat pandangannya.“Selamat sore,
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Lila, dan meskipun hidup Agatha mulai berjalan lebih lancar, sesuatu tetap terasa hilang. Ia masih merasa ada yang mengganjal di hatinya, seperti potongan teka-teki yang belum lengkap. Namun, ia berusaha mengabaikannya dan fokus pada pekerjaannya di galeri seni, yang kini menjadi tempat di mana ia merasa paling nyaman.Suatu pagi, saat Agatha sedang memeriksa beberapa karya seni baru yang akan dipamerkan, ponselnya bergetar. Ia menatap layar, membaca pesan yang baru masuk. Dari nomor yang tidak dikenalnya."Agatha, kamu baik-baik saja?"Seketika, detak jantungnya meningkat. Ada kegugupan yang tiba-tiba merayap dalam dirinya. Pesan itu terlalu familiar, dan sekaligus asing. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Agatha membalas pesan itu."Siapa ini?" tanya Agatha, mencoba menjaga ketenangannya.Tak lama setelah itu, pesan balasan masuk. "Rohander."Tubuh Agatha membeku. Ia terdiam sejenak, matanya menatap layar ponsel dengan napas yang te
Dua tahun berlalu sejak Agatha terakhir kali meninggalkan dunia yang pernah ia kenal—dunia yang penuh dengan ancaman, kontrol, dan ketakutan. Hidupnya kini jauh berbeda, meskipun tidak sempurna, namun jauh lebih damai daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Di luar jendela apartemennya, cahaya pagi menembus perlahan melalui tirai tipis, membawa kehangatan yang menenangkan.Agatha berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terlihat lebih tenang, meski ada jejak kelelahan yang masih tersisa di matanya. Ia merapikan rambutnya dengan cepat, mencoba menutupinya, dan berpikir sejenak. Setiap hari sejak meninggalkan Rohander, ia merasa seolah hidupnya mulai terbentuk kembali, walaupun dengan jalan yang sulit.Ia menghela napas, membuka pintu apartemennya, dan merasakan udara pagi yang segar. Melangkah keluar, Agatha menyapa tetangga yang lewat dengan senyum kecil. Kehidupan barunya di kota kecil ini terasa seperti sebuah pelarian, namun juga sebuah kesempatan untuk meraih kedamaian yang s
Rohander berdiri di tengah ruangannya, tubuhnya terdiam sejenak sebelum meledak dalam kemarahan yang tak terkontrol. Mata merahnya menatap ke arah dokumen-dokumen yang berserakan di meja, namun pikirannya benar-benar terfokus pada satu hal: Agatha.Dia telah menghilang. Dengan bantuan dari para pelayan dan dokter yang dianggapnya sebagai sekutu, Agatha berhasil kabur. Dan Rohander merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Sakitnya bukan hanya karena kehilangan, tapi karena dia merasa dikhianati."Bodoh!" teriak Rohander, menghempaskan kursi ke dinding dengan amarah yang membakar. "Tidak mungkin dia lari begitu saja! Tidak mungkin!"Beberapa anak buahnya yang berdiri di sampingnya langsung mundur, takut melihat amarah yang begitu dalam di mata Rohander. Mereka tahu bahwa pria ini, yang biasa terlihat dingin dan terkontrol, sekarang berada di luar kendali.Salah satu orang yang lebih berani melangkah maju. "Tuan, kami sudah memeriksa segala jalur pelarian yang mungkin. Mereka sudah j
Rohander berdiri terpaku, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar. Setiap kata Agatha, setiap keputusan yang ia ambil, seolah menusuk hatinya lebih dalam. Namun, yang paling membuatnya hancur adalah kenyataan bahwa dia tahu Agatha benar—bahwa dia telah kehilangan semua kepercayaan yang ada.Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Tangan Rohander mengepal erat, wajahnya terdistorsi oleh campuran amarah, rasa sakit, dan penyesalan. Namun, meskipun begitu, dia tetap tidak bergerak. Agatha sudah membuat pilihannya, dan ini adalah akibat dari semua yang telah dia lakukan.Di sisi lain, Agatha yang sedang melangkah menuju pesawat, matanya terfokus ke depan, namun hatinya berdebar kencang. Setiap detik terasa begitu berat, tetapi ia tahu bahwa ia harus melangkah maju, bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Keputusan ini, meski sulit, adalah langkah yang tak terelakkan untuk kebebasannya.Saat ia melangkah memasuki pesawat, beberapa perawat dan dokter yang telah mengikutinya ikut naik, dan begitu