Agatha terbangun dengan napas tersengal, matanya yang dulu penuh dengan api perlawanan kini tampak sayu. Dia duduk di atas sofa, merasakan dinginnya kain di bawah tubuhnya. Tangannya bergetar pelan saat dia menyadari bahwa dia tidak sendirian—Rohander duduk di kursi di depannya, kedua lengannya disilangkan di dada, mata gelapnya tajam, memperhatikannya dengan intens.Cahaya sore yang menyelinap dari jendela membentuk bayangan halus di wajahnya, tapi Rohander tidak bergerak, hanya mengamati setiap perubahan kecil dalam ekspresi Agatha. Dia berusaha menutupi kekalutannya dengan tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja," suaranya terdengar pecah, nyaris seperti bisikan. Namun, di dalam dadanya, denyut ketegangan terus bertalu-talu, tak tertahankan.“Jangan berbohong, Agatha,” suara Rohander rendah, tapi ada sesuatu yang keras dan dingin di balik nada itu, yang membuat kata-katanya seperti cambukan halus. "Kau tidak baik-baik saja." Ujung bibirnya melengkung sedikit, hampir seolah mengejek, t
Pagi itu, suasana di mansion berubah. Rohander, yang biasanya menyendiri, kini menerima kunjungan para tokoh penting dari dunia bisnis dan kriminal yang hanya sesekali muncul di tempat itu. Setiap tamu yang tiba disambut dengan penjagaan ketat, menandakan betapa pentingnya pertemuan kali ini. Agatha, yang masih terperangkap dalam keputusasaannya, memperhatikan dari jendela kamarnya, merasa jengkel namun penasaran.Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka dan Rohander muncul, mengamati Agatha dengan pandangan tak tertebak. "Turun bersamaku. Aku ingin kau ada di sana."Agatha, yang masih belum pulih dari percakapan mereka sebelumnya, mendengus. “Apa aku harus ikut? Ini urusanmu, bukan urusanku.”Rohander tidak menjawab, hanya memberikan tatapan tegas yang membuat Agatha mengerti bahwa ini bukanlah undangan, melainkan perintah. Tanpa kata-kata, ia menuntunnya ke ruang pertemuan, tangannya menggenggam lengan Agatha dengan kuat namun terasa posesif.Ruangan itu dipenuhi oleh pria-pria berpe
Agatha mendadak menahan kepalanya, wajahnya memucat dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Rasa nyeri menjalar dari pelipisnya hingga ke leher, membuatnya tersentak. Instinctnya berontak, seolah ada suara yang berteriak di dalam kepalanya, memaksanya untuk bangkit dari tempatnya.Rohander, yang masih berada di dekatnya, langsung panik saat melihat ekspresi kesakitan di wajah Agatha. “Agatha! Apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa?” tanyanya, suaranya penuh kecemasan saat dia meraih lengan Agatha dengan lembut.Agatha, berusaha menenangkan, menarik napas dalam-dalam. “Aku… hanya butuh istirahat sebentar,” katanya, suaranya bergetar namun berusaha terdengar tenang. Dia tahu dia tidak bisa menunjukkan kelemahan di hadapan Rohander, apalagi di saat-saat seperti ini.Tanpa peringatan lebih lanjut, Rohander mengangkat Agatha, memangku tubuhnya dengan kuat, seolah dia adalah anak kecil yang sedang berpegangan pada orang tuanya. Agatha merasa wajahnya memanas, meskipun dalam keadaan sep
Agatha terbangun di pagi hari dengan sinar matahari menyelinap melalui tirai, menciptakan pola cahaya di lantai kayu. Suasana di dalam kamar terasa sunyi, hanya terdengar suara angin yang berdesir. Dia mengedarkan pandangannya, melihat potret dirinya yang terkurung di dalam rutinitas baru ini. Rohander sudah pergi bekerja, meninggalkannya dalam kesunyian yang menyakitkan.Sementara itu, pikirannya berputar tentang rencana untuk melarikan diri. Di bawah tumpukan bantal, dia menemukan handphone pribadinya yang tersembunyi. Bagaimana bisa benda ini ada di sini? Mungkin dia salah tempat, atau Rohander tidak menyadari keberadaannya. Agatha dengan cepat menyalakannya, jari-jarinya bergetar saat ia membuka daftar kontak, mencari seseorang yang bisa membantunya. Dia menelpon seseorang yang dia harap bisa memberinya informasi. Namun, ketika suara di ujung sana terdengar, dia tahu bahwa orang itu tidak dapat berbicara langsung. Pesan-pesan samar dan tersembunyi membuatnya frustrasi. Keputusasa
Saat Agatha melangkah keluar dari kafe, dia melihat mobil mewah hitam mengkilap menunggu di depan. Di balik kaca jendela, sosok Rohander tampak menantinya dengan senyuman, meski senyum itu kini terasa lebih menyakitkan bagi Agatha setelah mengetahui rahasia yang menyelubungi pria itu. Di sampingnya, Lila mengamati dengan tajam, merasakan ketegangan yang berpotensi pecah di antara mereka.“Jaga dirimu,” Lila berbisik sebelum Agatha melangkah lebih dekat ke mobil.“Aku akan,” jawab Agatha, mencoba menampakkan keberanian meski hatinya bergejolak.Rohander keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya, tetap dengan senyum yang sama. Namun, saat Agatha melangkah masuk, dia merasakan tatapan tajam Lila yang masih mengawasinya. Sebelum pintu ditutup, Lila melontarkan satu kalimat singkat namun bermakna, “Ingat, Agatha. Jaga dirimu.”Setelah pintu tertutup, Rohander meluncurkan mobil dengan kecepatan lembut. Namun suasana di dalamnya tampak kaku. Agatha tidak merasakan dorongan untuk berbic
Agatha berbalik, meninggalkan Rohander yang terdiam dalam kebingungan. Dia melangkah cepat ke arah jendela, matanya terpaku pada pemandangan luar yang seakan menjadi pelarian dari ketegangan di dalam ruangan. Gelombang ombak berdebur keras di pantai, menciptakan suara latar yang seolah menggema dengan jeritan hatinya. Dia ingin berlari, meninggalkan semua ini, tetapi di balik hatinya, dia tahu bahwa semua itu tak semudah yang diharapkan.Rohander masih berdiri di tempatnya, matanya meneliti ekspresi Agatha. Dia bisa melihat keputusasaan yang terpancar dari wajahnya. “Agatha,” suaranya terdengar pelan, namun Agatha tidak menoleh. Dia merasa lelah, sangat lelah untuk terus bertahan di antara cinta dan kebencian, antara harapan dan keputusasaan.“Jangan,” Agatha akhirnya berkata, suaranya serak. “Aku tidak ingin mendengarnya lagi. Apa pun yang kau katakan, itu tidak akan mengubah kenyataan.” Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang sudah mengancam akan jatuh.Rohander melan
Rohander berdiri terpaku di samping tempat tidur, menatap tubuh Agatha yang terbaring dengan wajah pucat. Nafasnya tertahan saat seorang pria berpakaian serba hitam—dokter pribadinya—membolak-balikkan pergelangan tangan Agatha dengan cepat, seolah mencari sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana.“Apa yang terjadi padanya?” suara Rohander terdengar tegang, hampir pecah oleh kepanikan. Dokter itu tidak menjawab, melainkan terus memeriksa tangan Agatha. Wajahnya berubah serius saat menemukan bekas luka tipis di pergelangan tangan Agatha. Luka itu samar, hampir tidak terlihat jika tidak diperhatikan dengan saksama, namun cukup bagi dokter untuk menampakkan ekspresi ngeri yang jarang ia tunjukkan.“Ini tidak mungkin...” gumam dokter itu pelan, namun cukup jelas untuk didengar oleh Rohander. “Bagaimana bisa...?”“Apa maksudmu?!” Rohander kini tidak sabar. Tangannya mengepal, hampir ingin menarik pria itu agar memberi jawaban yang lebih jelas. “Katakan, apa yang terjadi pada Agatha?!”Dok
Ketika Agatha terbangun, matanya perlahan menyesuaikan diri dengan cahaya lembut di kamar. Namun, detik berikutnya, tatapannya bertemu dengan Rohander yang berdiri di ujung tempat tidur, seperti bayangan gelap yang mengintai. Matanya menatap Agatha dengan tajam, penuh amarah yang terkendali, tapi diam. Keheningan yang mencekam membuat ruangan terasa semakin kecil dan sesak.Agatha menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat. Ada ketegangan yang begitu tebal, tapi dia tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Perlahan, ia mencoba berbicara, suaranya serak dan lembut, “Apa yang terjadi, Rohander?”Sebelum dia bisa menyelesaikan pertanyaannya. Sebuah botol kecil dilemparkan ke kasur tepat di depannya, memantul dan mendarat di dekat tangannya. Agatha menatap botol itu sejenak, matanya membelalak. Itu adalah botol pil yang selama ini dia sembunyikan, pil yang dia gunakan untuk… mengatasi situasi.Rohander akhirnya bersuara, nadanya dalam dan dingin, "Kau bisa menjelaskan ini, Agatha?
Agatha melangkah ke meja kerjanya dengan penuh ketenangan, menatap lukisan-lukisan yang ia rawat dengan penuh dedikasi. Setiap karya seni itu kini tampak lebih hidup baginya—seperti sebuah refleksi dari dirinya yang baru. Dia menyadari bahwa setiap goresan warna pada kanvas, setiap detail yang halus, menggambarkan perjalanan panjang yang telah ia lewati. Semua itu membawanya pada pemahaman bahwa ada keindahan dalam kesendirian, dalam kebebasan untuk memilih tanpa ada yang menahan.Sore itu, galeri terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada lagi keributan atau konflik yang mengikatnya. Semua orang yang bekerja dengannya menghargai kedamaiannya, saling berbagi ide dan kreativitas. Agatha menyukai suasana itu, suasana di mana ia bisa berdiri sendiri tanpa harus takut atau khawatir.Tiba-tiba, pintu galeri terbuka, dan seorang wanita muda masuk dengan senyum ramah. Wajahnya asing bagi Agatha, tapi ada aura yang ramah dalam diri wanita itu. Agatha mengangkat pandangannya.“Selamat sore,
Beberapa minggu berlalu sejak pertemuannya dengan Lila, dan meskipun hidup Agatha mulai berjalan lebih lancar, sesuatu tetap terasa hilang. Ia masih merasa ada yang mengganjal di hatinya, seperti potongan teka-teki yang belum lengkap. Namun, ia berusaha mengabaikannya dan fokus pada pekerjaannya di galeri seni, yang kini menjadi tempat di mana ia merasa paling nyaman.Suatu pagi, saat Agatha sedang memeriksa beberapa karya seni baru yang akan dipamerkan, ponselnya bergetar. Ia menatap layar, membaca pesan yang baru masuk. Dari nomor yang tidak dikenalnya."Agatha, kamu baik-baik saja?"Seketika, detak jantungnya meningkat. Ada kegugupan yang tiba-tiba merayap dalam dirinya. Pesan itu terlalu familiar, dan sekaligus asing. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Agatha membalas pesan itu."Siapa ini?" tanya Agatha, mencoba menjaga ketenangannya.Tak lama setelah itu, pesan balasan masuk. "Rohander."Tubuh Agatha membeku. Ia terdiam sejenak, matanya menatap layar ponsel dengan napas yang te
Dua tahun berlalu sejak Agatha terakhir kali meninggalkan dunia yang pernah ia kenal—dunia yang penuh dengan ancaman, kontrol, dan ketakutan. Hidupnya kini jauh berbeda, meskipun tidak sempurna, namun jauh lebih damai daripada yang ia bayangkan sebelumnya. Di luar jendela apartemennya, cahaya pagi menembus perlahan melalui tirai tipis, membawa kehangatan yang menenangkan.Agatha berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terlihat lebih tenang, meski ada jejak kelelahan yang masih tersisa di matanya. Ia merapikan rambutnya dengan cepat, mencoba menutupinya, dan berpikir sejenak. Setiap hari sejak meninggalkan Rohander, ia merasa seolah hidupnya mulai terbentuk kembali, walaupun dengan jalan yang sulit.Ia menghela napas, membuka pintu apartemennya, dan merasakan udara pagi yang segar. Melangkah keluar, Agatha menyapa tetangga yang lewat dengan senyum kecil. Kehidupan barunya di kota kecil ini terasa seperti sebuah pelarian, namun juga sebuah kesempatan untuk meraih kedamaian yang s
Rohander berdiri di tengah ruangannya, tubuhnya terdiam sejenak sebelum meledak dalam kemarahan yang tak terkontrol. Mata merahnya menatap ke arah dokumen-dokumen yang berserakan di meja, namun pikirannya benar-benar terfokus pada satu hal: Agatha.Dia telah menghilang. Dengan bantuan dari para pelayan dan dokter yang dianggapnya sebagai sekutu, Agatha berhasil kabur. Dan Rohander merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Sakitnya bukan hanya karena kehilangan, tapi karena dia merasa dikhianati."Bodoh!" teriak Rohander, menghempaskan kursi ke dinding dengan amarah yang membakar. "Tidak mungkin dia lari begitu saja! Tidak mungkin!"Beberapa anak buahnya yang berdiri di sampingnya langsung mundur, takut melihat amarah yang begitu dalam di mata Rohander. Mereka tahu bahwa pria ini, yang biasa terlihat dingin dan terkontrol, sekarang berada di luar kendali.Salah satu orang yang lebih berani melangkah maju. "Tuan, kami sudah memeriksa segala jalur pelarian yang mungkin. Mereka sudah j
Rohander berdiri terpaku, seolah dunia di sekitarnya berhenti berputar. Setiap kata Agatha, setiap keputusan yang ia ambil, seolah menusuk hatinya lebih dalam. Namun, yang paling membuatnya hancur adalah kenyataan bahwa dia tahu Agatha benar—bahwa dia telah kehilangan semua kepercayaan yang ada.Tak ada lagi yang bisa dia lakukan. Tangan Rohander mengepal erat, wajahnya terdistorsi oleh campuran amarah, rasa sakit, dan penyesalan. Namun, meskipun begitu, dia tetap tidak bergerak. Agatha sudah membuat pilihannya, dan ini adalah akibat dari semua yang telah dia lakukan.Di sisi lain, Agatha yang sedang melangkah menuju pesawat, matanya terfokus ke depan, namun hatinya berdebar kencang. Setiap detik terasa begitu berat, tetapi ia tahu bahwa ia harus melangkah maju, bahwa ia tidak bisa mundur lagi. Keputusan ini, meski sulit, adalah langkah yang tak terelakkan untuk kebebasannya.Saat ia melangkah memasuki pesawat, beberapa perawat dan dokter yang telah mengikutinya ikut naik, dan begitu
Agatha melangkah dengan hati-hati, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berjalan menuju kebebasan yang begitu dekat namun penuh bahaya. Di balik langkahnya yang penuh keteguhan, ada perasaan bergejolak di dalam dada. Keputusan ini bukan hanya tentang melarikan diri dari Rohander—ini adalah tentang kebebasan, tentang menghentikan siklus yang sudah terlalu lama mengikatnya.Di lorong rumah sakit yang sunyi itu, para perawat yang semula cemas kini bergerak lebih cepat, menyiapkan barang-barang mereka dengan ketegangan yang bisa dirasakan di udara. Mereka tahu betul bahwa jika mereka terlambat atau salah langkah, konsekuensinya bisa sangat fatal. Agatha mempercepat langkahnya, berusaha mengatasi rasa lelah dan pusing yang mulai menguasainya.Sampai di pintu keluar, Agatha berhenti sejenak, menatap ke luar jendela yang menghadap ke parkiran. Di sana, kendaraan telah siap menunggu. Mobil yang akan membawa mereka keluar dari kehidupan yang selama ini mengikat mereka. Saat itu, matanya me
Rohander mendekat perlahan, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Agatha yang tampak gemetar di atas seprai putih itu. Namun, sebelum jemarinya sempat menyentuh kulitnya, Agatha menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba, dan menatapnya tajam, matanya basah oleh air mata.“Jangan sentuh aku, Rohander,” suaranya rendah, bergetar dengan ancaman yang membuatnya terhenti seketika. Tangan Rohander menggantung di udara, lalu ia menariknya kembali, telapak tangannya mengepal dengan frustrasi yang tak bisa ia kendalikan.“Agatha… aku hanya ingin melindungimu,” kata Rohander, suaranya terdengar penuh kepasrahan. Ia memandang Agatha dengan harapan, mencoba membujuknya, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tampak hampa, tidak lagi meyakinkan. Setiap kata yang ia ucapkan terasa memuakkan, seperti berulang-ulang menggumamkan mantra yang sama, selalu “melindungimu,” “menjagamu,” “demi kebaikanmu.” Agatha mengerutkan kening, bibirnya gemetar menahan amarah dan luka yang begitu dalam. I
Cahaya lembut menembus kelopak mata Agatha, mengusik tidurnya yang gelisah. Perlahan, ia membuka matanya, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya di kamar yang terasa asing. Seketika itu juga, wajah Rohander muncul dalam pandangannya, dingin dan penuh amarah, berdiri tegak di samping tempat tidurnya.“Kau akhirnya bangun juga,” kata Rohander, suaranya tajam, seperti belati yang menusuk tanpa ampun.Agatha masih terlalu lemah untuk merespons dengan lantang, tapi tatapannya tak kalah sengit. Ia mencoba duduk, namun kepalanya masih terasa berat. Rohander tidak menawarkan bantuan, malah menatapnya dengan ekspresi penuh kekecewaan.“Sepertinya tidur panjangmu tidak membuatmu jadi lebih bijak,” lanjutnya. “Apa kau tahu apa yang sudah kau lakukan pada dirimu sendiri, Agatha?”Agatha mengerutkan kening, merasa muak dengan nada suara dingin itu. "Aku tidak perlu ceramah darimu, Rohander," jawabnya pelan namun tajam, menatap lurus ke arahnya. “Lagipula, aku hanya mengambil pil itu karena... kar
Ruangan VVIP rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara mesin-mesin yang memonitor kondisi Agatha, yang tidur dengan wajah pucat dan lelah di atas ranjang. Di sampingnya, Rohander duduk terdiam, tatapannya terpaku pada wajah Agatha yang terlihat tenang dalam tidurnya, meski seluruh tubuhnya dikelilingi berbagai alat medis. Raut wajahnya, yang biasanya dingin dan penuh kendali, kini dipenuhi kegelisahan dan ketakutan yang dalam.Rohander menggenggam tangan Agatha erat, seakan takut ia akan menghilang begitu saja jika ia melepaskannya. "Agatha..." bisiknya, suaranya parau, nyaris tersendat. "Aku tidak pernah membayangkan ini akan sejauh ini… aku tidak pernah berpikir aku bisa merasa setakut ini. Kehilangan kamu… itu adalah mimpi buruk yang tak ingin aku hadapi."Matanya memerah, dan tanpa bisa ia kendalikan, air mata mulai menetes di pipinya, perlahan-lahan. Tangannya bergetar, tapi tetap mencengkeram tangan Agatha dengan kuat. Selama ini, ia selalu merasa bahwa ia adalah pusat kendal