Rohander berdiri terpaku di samping tempat tidur, menatap tubuh Agatha yang terbaring dengan wajah pucat. Nafasnya tertahan saat seorang pria berpakaian serba hitam—dokter pribadinya—membolak-balikkan pergelangan tangan Agatha dengan cepat, seolah mencari sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana.“Apa yang terjadi padanya?” suara Rohander terdengar tegang, hampir pecah oleh kepanikan. Dokter itu tidak menjawab, melainkan terus memeriksa tangan Agatha. Wajahnya berubah serius saat menemukan bekas luka tipis di pergelangan tangan Agatha. Luka itu samar, hampir tidak terlihat jika tidak diperhatikan dengan saksama, namun cukup bagi dokter untuk menampakkan ekspresi ngeri yang jarang ia tunjukkan.“Ini tidak mungkin...” gumam dokter itu pelan, namun cukup jelas untuk didengar oleh Rohander. “Bagaimana bisa...?”“Apa maksudmu?!” Rohander kini tidak sabar. Tangannya mengepal, hampir ingin menarik pria itu agar memberi jawaban yang lebih jelas. “Katakan, apa yang terjadi pada Agatha?!”Dok
Ketika Agatha terbangun, matanya perlahan menyesuaikan diri dengan cahaya lembut di kamar. Namun, detik berikutnya, tatapannya bertemu dengan Rohander yang berdiri di ujung tempat tidur, seperti bayangan gelap yang mengintai. Matanya menatap Agatha dengan tajam, penuh amarah yang terkendali, tapi diam. Keheningan yang mencekam membuat ruangan terasa semakin kecil dan sesak.Agatha menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat. Ada ketegangan yang begitu tebal, tapi dia tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Perlahan, ia mencoba berbicara, suaranya serak dan lembut, “Apa yang terjadi, Rohander?”Sebelum dia bisa menyelesaikan pertanyaannya. Sebuah botol kecil dilemparkan ke kasur tepat di depannya, memantul dan mendarat di dekat tangannya. Agatha menatap botol itu sejenak, matanya membelalak. Itu adalah botol pil yang selama ini dia sembunyikan, pil yang dia gunakan untuk… mengatasi situasi.Rohander akhirnya bersuara, nadanya dalam dan dingin, "Kau bisa menjelaskan ini, Agatha?
Rohander merangkak mendekati Agatha, menggeser kursi dengan lembut dan duduk di samping tempat tidurnya. Dengan hati-hati, ia mencoba untuk mendekat, namun Agatha langsung memalingkan wajahnya, enggan untuk menatapnya. Ia bisa merasakan panas amarah yang masih menyelimuti Rohander, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti mengandung ancaman. “Agatha, dengarkan aku!” suaranya menggema, penuh ketegangan. “Ini semua demi keselamatanmu. Kenapa kau terus melawan?”Agatha tidak menjawab, hanya menatap kosong ke dinding, berusaha mengabaikan ketegangan di udara. Namun, hatinya penuh gejolak. Setiap detik yang berlalu, ia merasa terjepit di antara pilihan-pilihan sulit yang dihadapinya.“Jika kau terus begini, kau tidak akan mendapatkan apa pun! Kau hampir mencapai batasmu!” teriaknya, semakin mendekat.Akhirnya, Agatha menoleh, matanya bersinar dengan semangat yang membara. “Batasku? Rohander, kau tidak tahu seberapa dalam rasa sakit ini!” suaranya naik, dipenuhi kemarahan dan keputus
Rohander bergegas mengikuti dokter yang membawa Agatha ke dalam ruangan darurat di rumah sakit miliknya. Tangannya mengepal, matanya penuh ketegangan saat ia melihat tubuh Agatha yang tak sadarkan diri terbaring di atas brankar. Semua orang bergerak cepat, staf medis mengerumuni Agatha dengan alat-alat yang tidak henti-hentinya berbunyi, membuat Rohander semakin panik.Tak lama, dokter pribadi yang ia percayai sejak lama muncul, dengan wajah serius. Rohander menghampirinya, tatapannya penuh ancaman. "Tangani dia dengan baik. Jika tidak, kau tahu konsekuensinya." Suaranya dingin, namun nada penuh amarahnya tak bisa disembunyikan.Dokter menelan ludah, lalu mengangguk. "Kami akan melakukan yang terbaik, Tuan Rohander."Rohander berdiri di luar ruang operasi, berjalan mondar-mandir dengan tangan menggenggam kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Sesekali ia berhenti, memejamkan mata, teringat kembali wajah Agatha yang kesakitan, darah yang mengalir dari hidungnya, dan tatapan kosongnya s
Ruangan VVIP rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara mesin-mesin yang memonitor kondisi Agatha, yang tidur dengan wajah pucat dan lelah di atas ranjang. Di sampingnya, Rohander duduk terdiam, tatapannya terpaku pada wajah Agatha yang terlihat tenang dalam tidurnya, meski seluruh tubuhnya dikelilingi berbagai alat medis. Raut wajahnya, yang biasanya dingin dan penuh kendali, kini dipenuhi kegelisahan dan ketakutan yang dalam.Rohander menggenggam tangan Agatha erat, seakan takut ia akan menghilang begitu saja jika ia melepaskannya. "Agatha..." bisiknya, suaranya parau, nyaris tersendat. "Aku tidak pernah membayangkan ini akan sejauh ini… aku tidak pernah berpikir aku bisa merasa setakut ini. Kehilangan kamu… itu adalah mimpi buruk yang tak ingin aku hadapi."Matanya memerah, dan tanpa bisa ia kendalikan, air mata mulai menetes di pipinya, perlahan-lahan. Tangannya bergetar, tapi tetap mencengkeram tangan Agatha dengan kuat. Selama ini, ia selalu merasa bahwa ia adalah pusat kendal
Cahaya lembut menembus kelopak mata Agatha, mengusik tidurnya yang gelisah. Perlahan, ia membuka matanya, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya di kamar yang terasa asing. Seketika itu juga, wajah Rohander muncul dalam pandangannya, dingin dan penuh amarah, berdiri tegak di samping tempat tidurnya.“Kau akhirnya bangun juga,” kata Rohander, suaranya tajam, seperti belati yang menusuk tanpa ampun.Agatha masih terlalu lemah untuk merespons dengan lantang, tapi tatapannya tak kalah sengit. Ia mencoba duduk, namun kepalanya masih terasa berat. Rohander tidak menawarkan bantuan, malah menatapnya dengan ekspresi penuh kekecewaan.“Sepertinya tidur panjangmu tidak membuatmu jadi lebih bijak,” lanjutnya. “Apa kau tahu apa yang sudah kau lakukan pada dirimu sendiri, Agatha?”Agatha mengerutkan kening, merasa muak dengan nada suara dingin itu. "Aku tidak perlu ceramah darimu, Rohander," jawabnya pelan namun tajam, menatap lurus ke arahnya. “Lagipula, aku hanya mengambil pil itu karena... kar
Rohander mendekat perlahan, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Agatha yang tampak gemetar di atas seprai putih itu. Namun, sebelum jemarinya sempat menyentuh kulitnya, Agatha menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba, dan menatapnya tajam, matanya basah oleh air mata.“Jangan sentuh aku, Rohander,” suaranya rendah, bergetar dengan ancaman yang membuatnya terhenti seketika. Tangan Rohander menggantung di udara, lalu ia menariknya kembali, telapak tangannya mengepal dengan frustrasi yang tak bisa ia kendalikan.“Agatha… aku hanya ingin melindungimu,” kata Rohander, suaranya terdengar penuh kepasrahan. Ia memandang Agatha dengan harapan, mencoba membujuknya, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tampak hampa, tidak lagi meyakinkan. Setiap kata yang ia ucapkan terasa memuakkan, seperti berulang-ulang menggumamkan mantra yang sama, selalu “melindungimu,” “menjagamu,” “demi kebaikanmu.” Agatha mengerutkan kening, bibirnya gemetar menahan amarah dan luka yang begitu dalam. I
Agatha melangkah dengan hati-hati, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berjalan menuju kebebasan yang begitu dekat namun penuh bahaya. Di balik langkahnya yang penuh keteguhan, ada perasaan bergejolak di dalam dada. Keputusan ini bukan hanya tentang melarikan diri dari Rohander—ini adalah tentang kebebasan, tentang menghentikan siklus yang sudah terlalu lama mengikatnya.Di lorong rumah sakit yang sunyi itu, para perawat yang semula cemas kini bergerak lebih cepat, menyiapkan barang-barang mereka dengan ketegangan yang bisa dirasakan di udara. Mereka tahu betul bahwa jika mereka terlambat atau salah langkah, konsekuensinya bisa sangat fatal. Agatha mempercepat langkahnya, berusaha mengatasi rasa lelah dan pusing yang mulai menguasainya.Sampai di pintu keluar, Agatha berhenti sejenak, menatap ke luar jendela yang menghadap ke parkiran. Di sana, kendaraan telah siap menunggu. Mobil yang akan membawa mereka keluar dari kehidupan yang selama ini mengikat mereka. Saat itu, matanya me
Agatha memejamkan mata sejenak, perasaan yang selama ini ia coba hindari kembali muncul. Ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Walaupun ia tahu apa yang Rohander lakukan padanya adalah kejam dan manipulatif, ia juga tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Ada banyak kenangan indah, meskipun semuanya telah terdistorsi oleh kebohongan dan kekuasaan yang dipaksakan."Rohander..." bisik Agatha pelan, hatinya berdetak lebih cepat.Ia tidak tahu apa yang harus dirasakannya sekarang. Cinta? Kebencian? Penyesalan? Semua perasaan itu berbaur, sulit untuk dipisahkan. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah akhir dari perjalanan panjang yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi.Tepat saat itu, seorang agen datang mendekatinya, mengabarkan bahwa semua proses penangkapan telah selesai dan bahwa Rohander kini berada dalam tahanan. “Kau sudah melakukan yang benar, Agatha,” kata agen tersebut dengan nada penuh pengertian. “Kebenaran telah terungkap, dan semuanya akan
Agatha terus berlari, meski napasnya mulai memburu dan tubuhnya terasa lelah. Ia tidak berhenti, bahkan ketika langkah-langkahnya semakin berat, pikirannya tetap tajam dan penuh perhitungan. Ia tahu bahwa selama ini ada sesuatu yang salah dengan segala yang terjadi padanya—sesuatu yang lebih besar dari sekadar manipulasi, sesuatu yang lebih gelap dan lebih berbahaya.Langkah kaki Agatha terhenti saat ia sampai di sebuah jembatan tua yang sepi. Di sana, berdiri seorang pria yang tidak ia kenal. Agatha langsung merasa ada yang aneh dengan kehadirannya. Pria itu mengenakan jas hitam, wajahnya tersembunyi sebagian oleh topi lebar yang ia kenakan. Namun, ada sesuatu di mata pria itu yang membuat Agatha merasa familiar—sesuatu yang mengingatkannya pada Rahander.“Agatha,” pria itu memulai, suaranya rendah namun tegas. “Aku tahu kamu akan datang. Aku tidak bisa membiarkanmu berlari tanpa tahu kebenarannya.”Agatha menatapnya dengan tajam, kecurigaan mulai memenuhi dirinya. “Kau siapa? Apa
Agatha terbangun tengah malam, matanya terbuka lebar saat mendapati kamar yang gelap. Suasana malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya, hanya ada suara angin yang menderu pelan di luar. Ia menoleh ke samping tempat tidur, namun Rohander tidak ada di sana.Perasaan curiga mulai merayapi pikirannya. Rohander yang pergi tanpa memberitahunya, tanpa alasan, itu terasa aneh. Sebelumnya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam sikap Rohander, dan sekarang perasaan itu semakin menguat.Agatha duduk di pinggir tempat tidur, menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi tak bisa mengabaikan kekhawatiran yang membangkitkan rasa cemas di hatinya.Beberapa saat kemudian, terdengar suara derap langkah kaki dari luar, dan pintu kamar perlahan terbuka. Agatha mengerutkan kening. Ternyata, Rohander kembali, dengan wajah yang tampak lelah dan bingung. Sepertinya, dia tidak mengharapkan Agatha terbangun.Namun, sebelum Agatha sempat bertanya apa yang sedang terjadi, Rohande
Dengan keteguhan di hati, Agatha dan Rohander mulai menyelidiki lebih dalam tentang siapa yang berada di balik semua kekacauan ini. Mereka bertemu dengan lebih banyak orang yang terlibat dalam jaringan ini, orang-orang yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang, orang-orang yang memiliki kekuatan luar biasa dan niat yang lebih gelap dari yang bisa mereka bayangkan. Setiap langkah mereka semakin membawa mereka lebih dekat pada kebenaran yang menakutkan, tetapi sekaligus memberi mereka sedikit harapan.Di tengah perjalanan mereka, mereka menemukan petunjuk yang mengarah pada sebuah organisasi rahasia yang disebut Elysium. Organisasi ini memiliki sejarah panjang dalam eksperimen manusia, dan Agatha ternyata memiliki hubungan langsung dengan mereka. Tidak hanya sebagai subjek eksperimen, tapi juga sebagai bagian dari proyek mereka yang lebih besar, yang tujuannya adalah untuk menciptakan entitas yang bisa mengendalikan pikiran dan realitas.Suatu malam, setelah berjam-jam mene
Beberapa hari setelah keputusan mereka untuk bergerak maju, masalah demi masalah mulai satu per satu terpecahkan. Agatha dan Rohander bekerja sama, menggali lebih dalam ke dalam misteri yang mengelilingi mereka. Setiap langkah yang mereka ambil, meskipun penuh risiko, memberikan jawaban yang lebih jelas tentang siapa yang berada di balik semua ini dan apa tujuan mereka.Di sebuah pertemuan tertutup, Rohander akhirnya berhasil menghubungi seseorang dari jaringan lamanya yang bisa dipercaya. Seorang informan yang dikenal dengan nama "Apex," yang ternyata mengetahui lebih banyak daripada yang semula mereka duga."Aku sudah mendapatkan informasi baru," kata Apex melalui ponsel kepada Rohander saat mereka berada di ruang bawah tanah yang terisolasi. "Liam yang kau temui beberapa hari lalu adalah bagian dari jaringan yang lebih besar, lebih gelap. Mereka bukan hanya sekedar ancaman biasa. Mereka memiliki koneksi jauh lebih dalam, yang berhubungan dengan keluarga politik besar yang berkuas
Liam menutup pintu dengan lembut, matanya tetap tajam menatap Agatha dan Rohander, mencoba mengukur reaksi mereka. Agatha, yang masih terkejut, mulai merasakan kekhawatiran mendalam di dadanya. "Liam... apa maksudmu dengan kekuatan yang lebih besar itu?" Suaranya sedikit tercekat, seolah tak siap menerima kenyataan yang baru saja datang menghampiri mereka.Liam menghela napas panjang, seolah berat untuk berbicara. "Aku tak bisa menjelaskan semuanya sekarang, Agatha, tapi ada orang-orang yang selama ini mengamati kalian berdua. Mereka tahu apa yang terjadi, mereka tahu tentang Rohander, tentang apa yang telah terjadi di masa lalu, dan mereka akan melakukan apa saja untuk memastikan kekuasaan mereka tetap terjaga."Rohander berdiri lebih tegak, tampaknya sudah mulai memahami bahwa ini lebih dari sekadar masalah antara dia dan Agatha. "Siapa mereka, Liam?" tanyanya dengan suara yang lebih serius, penuh tekad. "Apa yang mereka inginkan dari kami?"Liam menatap Rohander sejenak sebelum a
Agatha menatap kalung itu dengan cemas, jari-jarinya gemetar saat menyentuh liontin yang tampaknya begitu akrab namun terasa asing. Suasana di ruangan itu semakin tegang, hanya ada detakan jantung mereka yang terdengar jelas di antara keheningan yang berat.Rohander, yang masih berlutut di depan Agatha, memandangi wajahnya dengan penuh harapan, meski ada kekhawatiran yang jelas di matanya. “Agatha, aku tahu aku telah melukai kepercayaanmu. Tapi, aku tidak pernah bermaksud untuk membahayakanmu. Semua yang aku lakukan, aku lakukan karena aku takut kehilanganmu.”Agatha menarik napas panjang, matanya masih tertuju pada kalung yang kini terasa sangat berat di tangannya. “Kehilangan? Atau karena aku terlalu penting bagimu sehingga kamu tak bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi di sekitarmu?” tanyanya pelan, suara itu terdengar hampir seperti bisikan.Rohander menatapnya dalam, seperti mencari jawaban dari setiap kata yang keluar dari mulut Agatha. "Aku tak tahu lagi apa yang harus ak
Rohander berdiri mematung, wajahnya yang biasanya tenang berubah gelap. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Agatha tahu ada sesuatu yang besar yang dia sembunyikan, sesuatu yang bahkan dia tak ingin mengungkapkannya.“Rohander,” suara Agatha terdengar tajam. “Siapa ini di belakangku? Apa maksud semua ini?”Rohander mengulurkan tangan, mencoba mengambil foto itu, tetapi Agatha dengan cepat menariknya kembali. “Jangan. Kau tidak akan bisa mengalihkan pembicaraan kali ini. Aku butuh jawaban.”Dia mendesah berat, lalu mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. “Agatha, ini bukan waktu yang tepat. Tolong percayalah padaku.”“Percaya?” Agatha tertawa sinis, emosinya meluap. “Kau telah memanipulasiku, menyuntikkan bahan kimia ke tubuhku, mencoba menghapus ingatanku. Dan sekarang kau bilang aku harus percaya?!”Rohander menatapnya penuh kesakitan, tetapi tetap tak berkata apa-apa.“Apa yang kau sembunyikan dariku, Rohander?” tuntut Agatha. Dia mengangkat kunci kecil yang ada di dala
Rohander melepaskan pelukan itu perlahan, meskipun terasa berat. Matanya memandang wajah Agatha yang sedikit memerah, entah karena emosi atau mungkin kelelahan. Dia ingin mengatakan lebih banyak, menjelaskan lebih dalam, tetapi tatapan Agatha memintanya untuk diam—setidaknya untuk saat ini.“Aku butuh waktu,” ucap Agatha akhirnya, suaranya tenang tapi ada luka yang masih tergambar jelas di sana. “Kita tidak bisa melupakan semuanya begitu saja, Rohander. Semua yang sudah kau lakukan… itu terlalu banyak.”Rohander mengangguk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku tidak akan berhenti berusaha. Jika itu berarti memberimu waktu, maka aku akan menunggu, Agatha. Berapa lama pun itu.”Agatha menelan ludah, perasaan yang bercampur aduk kembali menyerang. “Kau bilang begitu, tapi aku tahu kau tidak sabar, Rohander. Kau tidak tahu bagaimana caranya menunggu. Kau terlalu… obsesif.”Rohander terkekeh kecil, meski lemah. “Aku sedang belajar, Agatha. Dan ini pelajaran tersu