Home / Romansa / OBSESI PRIA BERKUASA / Chapter 61 - Chapter 70

All Chapters of OBSESI PRIA BERKUASA: Chapter 61 - Chapter 70

75 Chapters

Kau adalah segalanya bagiku

Saat Agatha melangkah keluar dari kafe, dia melihat mobil mewah hitam mengkilap menunggu di depan. Di balik kaca jendela, sosok Rohander tampak menantinya dengan senyuman, meski senyum itu kini terasa lebih menyakitkan bagi Agatha setelah mengetahui rahasia yang menyelubungi pria itu. Di sampingnya, Lila mengamati dengan tajam, merasakan ketegangan yang berpotensi pecah di antara mereka.“Jaga dirimu,” Lila berbisik sebelum Agatha melangkah lebih dekat ke mobil.“Aku akan,” jawab Agatha, mencoba menampakkan keberanian meski hatinya bergejolak.Rohander keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya, tetap dengan senyum yang sama. Namun, saat Agatha melangkah masuk, dia merasakan tatapan tajam Lila yang masih mengawasinya. Sebelum pintu ditutup, Lila melontarkan satu kalimat singkat namun bermakna, “Ingat, Agatha. Jaga dirimu.”Setelah pintu tertutup, Rohander meluncurkan mobil dengan kecepatan lembut. Namun suasana di dalamnya tampak kaku. Agatha tidak merasakan dorongan untuk berbic
Read more

Di mana kebebasan itu sekarang?

Agatha berbalik, meninggalkan Rohander yang terdiam dalam kebingungan. Dia melangkah cepat ke arah jendela, matanya terpaku pada pemandangan luar yang seakan menjadi pelarian dari ketegangan di dalam ruangan. Gelombang ombak berdebur keras di pantai, menciptakan suara latar yang seolah menggema dengan jeritan hatinya. Dia ingin berlari, meninggalkan semua ini, tetapi di balik hatinya, dia tahu bahwa semua itu tak semudah yang diharapkan.Rohander masih berdiri di tempatnya, matanya meneliti ekspresi Agatha. Dia bisa melihat keputusasaan yang terpancar dari wajahnya. “Agatha,” suaranya terdengar pelan, namun Agatha tidak menoleh. Dia merasa lelah, sangat lelah untuk terus bertahan di antara cinta dan kebencian, antara harapan dan keputusasaan.“Jangan,” Agatha akhirnya berkata, suaranya serak. “Aku tidak ingin mendengarnya lagi. Apa pun yang kau katakan, itu tidak akan mengubah kenyataan.” Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang sudah mengancam akan jatuh.Rohander melan
Read more

Untuk apa pil itu?

Rohander berdiri terpaku di samping tempat tidur, menatap tubuh Agatha yang terbaring dengan wajah pucat. Nafasnya tertahan saat seorang pria berpakaian serba hitam—dokter pribadinya—membolak-balikkan pergelangan tangan Agatha dengan cepat, seolah mencari sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana.“Apa yang terjadi padanya?” suara Rohander terdengar tegang, hampir pecah oleh kepanikan. Dokter itu tidak menjawab, melainkan terus memeriksa tangan Agatha. Wajahnya berubah serius saat menemukan bekas luka tipis di pergelangan tangan Agatha. Luka itu samar, hampir tidak terlihat jika tidak diperhatikan dengan saksama, namun cukup bagi dokter untuk menampakkan ekspresi ngeri yang jarang ia tunjukkan.“Ini tidak mungkin...” gumam dokter itu pelan, namun cukup jelas untuk didengar oleh Rohander. “Bagaimana bisa...?”“Apa maksudmu?!” Rohander kini tidak sabar. Tangannya mengepal, hampir ingin menarik pria itu agar memberi jawaban yang lebih jelas. “Katakan, apa yang terjadi pada Agatha?!”Dok
Read more

Hancur di depannya

Ketika Agatha terbangun, matanya perlahan menyesuaikan diri dengan cahaya lembut di kamar. Namun, detik berikutnya, tatapannya bertemu dengan Rohander yang berdiri di ujung tempat tidur, seperti bayangan gelap yang mengintai. Matanya menatap Agatha dengan tajam, penuh amarah yang terkendali, tapi diam. Keheningan yang mencekam membuat ruangan terasa semakin kecil dan sesak.Agatha menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat. Ada ketegangan yang begitu tebal, tapi dia tidak bisa mengerti apa yang sedang terjadi. Perlahan, ia mencoba berbicara, suaranya serak dan lembut, “Apa yang terjadi, Rohander?”Sebelum dia bisa menyelesaikan pertanyaannya. Sebuah botol kecil dilemparkan ke kasur tepat di depannya, memantul dan mendarat di dekat tangannya. Agatha menatap botol itu sejenak, matanya membelalak. Itu adalah botol pil yang selama ini dia sembunyikan, pil yang dia gunakan untuk… mengatasi situasi.Rohander akhirnya bersuara, nadanya dalam dan dingin, "Kau bisa menjelaskan ini, Agatha?
Read more

Suara penuh kesedihan

Rohander merangkak mendekati Agatha, menggeser kursi dengan lembut dan duduk di samping tempat tidurnya. Dengan hati-hati, ia mencoba untuk mendekat, namun Agatha langsung memalingkan wajahnya, enggan untuk menatapnya. Ia bisa merasakan panas amarah yang masih menyelimuti Rohander, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti mengandung ancaman. “Agatha, dengarkan aku!” suaranya menggema, penuh ketegangan. “Ini semua demi keselamatanmu. Kenapa kau terus melawan?”Agatha tidak menjawab, hanya menatap kosong ke dinding, berusaha mengabaikan ketegangan di udara. Namun, hatinya penuh gejolak. Setiap detik yang berlalu, ia merasa terjepit di antara pilihan-pilihan sulit yang dihadapinya.“Jika kau terus begini, kau tidak akan mendapatkan apa pun! Kau hampir mencapai batasmu!” teriaknya, semakin mendekat.Akhirnya, Agatha menoleh, matanya bersinar dengan semangat yang membara. “Batasku? Rohander, kau tidak tahu seberapa dalam rasa sakit ini!” suaranya naik, dipenuhi kemarahan dan keputus
Read more

Agatha bukan sekedar objek kekuasaan

Rohander bergegas mengikuti dokter yang membawa Agatha ke dalam ruangan darurat di rumah sakit miliknya. Tangannya mengepal, matanya penuh ketegangan saat ia melihat tubuh Agatha yang tak sadarkan diri terbaring di atas brankar. Semua orang bergerak cepat, staf medis mengerumuni Agatha dengan alat-alat yang tidak henti-hentinya berbunyi, membuat Rohander semakin panik.Tak lama, dokter pribadi yang ia percayai sejak lama muncul, dengan wajah serius. Rohander menghampirinya, tatapannya penuh ancaman. "Tangani dia dengan baik. Jika tidak, kau tahu konsekuensinya." Suaranya dingin, namun nada penuh amarahnya tak bisa disembunyikan.Dokter menelan ludah, lalu mengangguk. "Kami akan melakukan yang terbaik, Tuan Rohander."Rohander berdiri di luar ruang operasi, berjalan mondar-mandir dengan tangan menggenggam kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Sesekali ia berhenti, memejamkan mata, teringat kembali wajah Agatha yang kesakitan, darah yang mengalir dari hidungnya, dan tatapan kosongnya s
Read more

Sebagai penentu hidup

Ruangan VVIP rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara mesin-mesin yang memonitor kondisi Agatha, yang tidur dengan wajah pucat dan lelah di atas ranjang. Di sampingnya, Rohander duduk terdiam, tatapannya terpaku pada wajah Agatha yang terlihat tenang dalam tidurnya, meski seluruh tubuhnya dikelilingi berbagai alat medis. Raut wajahnya, yang biasanya dingin dan penuh kendali, kini dipenuhi kegelisahan dan ketakutan yang dalam.Rohander menggenggam tangan Agatha erat, seakan takut ia akan menghilang begitu saja jika ia melepaskannya. "Agatha..." bisiknya, suaranya parau, nyaris tersendat. "Aku tidak pernah membayangkan ini akan sejauh ini… aku tidak pernah berpikir aku bisa merasa setakut ini. Kehilangan kamu… itu adalah mimpi buruk yang tak ingin aku hadapi."Matanya memerah, dan tanpa bisa ia kendalikan, air mata mulai menetes di pipinya, perlahan-lahan. Tangannya bergetar, tapi tetap mencengkeram tangan Agatha dengan kuat. Selama ini, ia selalu merasa bahwa ia adalah pusat kendal
Read more

Mengambil segalanya tanpa sisa

Cahaya lembut menembus kelopak mata Agatha, mengusik tidurnya yang gelisah. Perlahan, ia membuka matanya, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya di kamar yang terasa asing. Seketika itu juga, wajah Rohander muncul dalam pandangannya, dingin dan penuh amarah, berdiri tegak di samping tempat tidurnya.“Kau akhirnya bangun juga,” kata Rohander, suaranya tajam, seperti belati yang menusuk tanpa ampun.Agatha masih terlalu lemah untuk merespons dengan lantang, tapi tatapannya tak kalah sengit. Ia mencoba duduk, namun kepalanya masih terasa berat. Rohander tidak menawarkan bantuan, malah menatapnya dengan ekspresi penuh kekecewaan.“Sepertinya tidur panjangmu tidak membuatmu jadi lebih bijak,” lanjutnya. “Apa kau tahu apa yang sudah kau lakukan pada dirimu sendiri, Agatha?”Agatha mengerutkan kening, merasa muak dengan nada suara dingin itu. "Aku tidak perlu ceramah darimu, Rohander," jawabnya pelan namun tajam, menatap lurus ke arahnya. “Lagipula, aku hanya mengambil pil itu karena... kar
Read more

Janji dan perkataan yang terus berulang

Rohander mendekat perlahan, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Agatha yang tampak gemetar di atas seprai putih itu. Namun, sebelum jemarinya sempat menyentuh kulitnya, Agatha menarik tangannya dengan gerakan tiba-tiba, dan menatapnya tajam, matanya basah oleh air mata.“Jangan sentuh aku, Rohander,” suaranya rendah, bergetar dengan ancaman yang membuatnya terhenti seketika. Tangan Rohander menggantung di udara, lalu ia menariknya kembali, telapak tangannya mengepal dengan frustrasi yang tak bisa ia kendalikan.“Agatha… aku hanya ingin melindungimu,” kata Rohander, suaranya terdengar penuh kepasrahan. Ia memandang Agatha dengan harapan, mencoba membujuknya, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang tampak hampa, tidak lagi meyakinkan. Setiap kata yang ia ucapkan terasa memuakkan, seperti berulang-ulang menggumamkan mantra yang sama, selalu “melindungimu,” “menjagamu,” “demi kebaikanmu.” Agatha mengerutkan kening, bibirnya gemetar menahan amarah dan luka yang begitu dalam. I
Read more

Kau sudah lama kehilanganku

Agatha melangkah dengan hati-hati, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berjalan menuju kebebasan yang begitu dekat namun penuh bahaya. Di balik langkahnya yang penuh keteguhan, ada perasaan bergejolak di dalam dada. Keputusan ini bukan hanya tentang melarikan diri dari Rohander—ini adalah tentang kebebasan, tentang menghentikan siklus yang sudah terlalu lama mengikatnya.Di lorong rumah sakit yang sunyi itu, para perawat yang semula cemas kini bergerak lebih cepat, menyiapkan barang-barang mereka dengan ketegangan yang bisa dirasakan di udara. Mereka tahu betul bahwa jika mereka terlambat atau salah langkah, konsekuensinya bisa sangat fatal. Agatha mempercepat langkahnya, berusaha mengatasi rasa lelah dan pusing yang mulai menguasainya.Sampai di pintu keluar, Agatha berhenti sejenak, menatap ke luar jendela yang menghadap ke parkiran. Di sana, kendaraan telah siap menunggu. Mobil yang akan membawa mereka keluar dari kehidupan yang selama ini mengikat mereka. Saat itu, matanya me
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status