Semua Bab Malam Pertama dengan Janda Anak 2: Bab 81 - Bab 90

210 Bab

81. Malam Panas Waktu Itu

"Den, lu di mana? Bantuin gue, mobil mogok nih!""Yah, Bos, istri saya mau lahiran nih. Udah mules, jadi gak bisa ditinggal.""Eh, cepet amat. Baru bulan lalu nikah, udah mau lahiran sekarang? Serius lu? Hamil apaan cepet banget?""Ha ha... Nikahnya udah setahun Bos. Masa lupa sih! Maaf ya Bos Anton, saya beneran lagi gak bisa. Mau saya telepon Udin?""Gak usah, si Udin nanti malah nyuruh gue. Ya udah, gue akalin dulu deh!" "Mobil yang mana dibawa, yang lama ya?""Iya, pick up lama.""Saya udah bilang itu mobil rusak. Bos masih pake aja!"Aku segera menutup telepon. Udah lagi susah, malah kena omel. Suara gemuruh langit yang akan segera menumpahkan air hujan membuatku semakin tak fokus memperbaiki mesin mobil. Mesin udah aku cek, semuanya aman. Memang mesinnya aja udah tua. Aku juga sampai masuk ke kolong mobil untuk mengecek bagian bawah. Sayangnya aku gak bawa senter. Terpaksa menggunakan senter HP. Bep! Aduh, batrei ponselku sudah mau habis pula. Mau nelepon tukang service, ma
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-18
Baca selengkapnya

82. Keputusan Aini

"Jangan bohong, Mas. Dari mana Mas Alex tahu kalau mas Dhuha sakit?" tanya Aini tak yakin. "Pria bernama Hakim yang menelepon. Sepupunya kan?" Aini terkejut. "Iya, Mas Hakim." "Mau jenguk?" Aini menggelengkan kepala. "Gak, Mas. Saya sebenarnya udah selesai dengan lelaki itu hanya saja.... ""Pikirkan dulu, Ai. Ayah bayi kamu lagi sakit dan dia bilang ingin ketemu kamu. Kalau kamu mau, bisa aku anter. Gak nginep di Jakarta gak papa kalau mau langsung pulang ke Surabaya. Mumpung aku masih di sini. Biar aku temani." Aini tidak menjawab. Jujur hatinya ingin sekali menjenguk Dhuha, tetapi ia khawatir bertemu dengan Maria. Ia sudah berjanji untuk tidak muncul lagi di Jakarta, tetapi di sudut hatinya yang lain, Aini ingin mengunjungi Dhuha. Bagaimana kalau umur suaminya tidak lama lagi? Semalaman Aini tidak nyenyak tidur karena teringat Dhuha. Perutnya juga sejak tadi pagi; mendengar kabar Dhuha sakit, tak hentinya melakukan kontraksi. Wanita itu mengambil ponsel yang ada di atas naka
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-19
Baca selengkapnya

83. Hakim Mendengar Semuanya

"Mbak Aini jadi ke sini kan? Sudah di mana?"SendIstri Orang 1"Jadi, ini lagi di jalan. Saya naik kereta api.""Apinya kecil apa gede?"SendIstri Orang 1"Wkwkwkwk... bisa aja, Mas Hakim."Hakim tertawa cekikan di sofa. Dhuha menatap heran sepupunya yang sejak tadi hanya senyam-senyum di depan ponsel. "Lu lagi chatting sama siapa, Kim?" tanya Dhuha dengan suara serak. "Cewek lu? Siapa?"Hakim menoleh pada Dhuha. "Istri orang ha ha.... ""Jangan sembarangan lu, Kim. Ditembak m@ti lakinya nanti lu!" Hakim malah terbahak. "Kagak bakalan, orang lakinya lemes." Kening Dhuha mengerut. Jika saja ia bisa merampas ponsel sepupunya itu, sudah pasti ia lakukan sejak tadi. "Lakinya sakit?""Iya, mau sakaratul maut." "Oh, kasihan sekali istrinya mau ditinggal mati." Hakim malah semakin terbahak mendengar komentar Dhuha. Pria itu memutuskan untuk segera keluar dari kamar perawatan Dhuha agar tidak terus-terusan menggoda orang sakit. Dhuha hanya bisa termenung melihat langit-langit kamar p
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-21
Baca selengkapnya

84. Dhuha Cemburu

a ke sini untuk melihat kondisi Mas Dhuha. Ternyata benar-benar memprihatinkan. Mas sakit apa? Apa beneran gak lama lagi?" awalnya Dhuha tersenyum tipis, tetapi setelah pertanyaan Aini barusan, senyumnya hilang. Wanita itu duduk di kursi samping Dhuha. "Gak lama lagi apanya?" tanya Dhuha berpura-pura tak paham. "Kata dokter kondisi Mas Dhuha kritis ya. Namanya umur gak ada yang tahu, Mas. Mas harus.... ""Maksud kamu apa, Ai? Aku mau mati, gitu? Kamu senang jadi janda dua kali?" Aini menahan senyumnya. "Bukannya emang udah janda ya, Mas?""Kata siapa? Udah, kalau kita ngobrol, pasti akan bertengkar. Sekarang kamu suapin aku buah. Itu, di piring kecil ada buah, suapin aku. Biar kita gak usah bicara!" Aini menoleh pada meja kecil yang ditunjuk Dhuha dengan dagunya. Aini melakukan apa yang diperintahkan oleh Dhuha. Wanita itu mengambil buah jeruk, lalu mengupas kulitnya. Sabar Aini, Dhuha lagi sakit dan kamu harus ekstra sabar. Gak sakit aja menguji kesabaran, apalagi sakit. Ungkap A
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-21
Baca selengkapnya

85. Cuma Kangen

"Sejak kapan perut pindah ke atas!?" tanya Aini sewot sambil mengusap kasar bibirnya. Ia hendak bergeser, tetapi Dhuha menahannya. "Kita itu bukan suami istri lagi, Mas! Jadi gak bisa sembarangan cium! Zie na!""Kata siapa cerai? Nggak!" Dhuha menjauhkan tubuhnya dari Aini. Ia tahu istrinya belum benar-benar menerima keadaan seperti ini setelah fitnah yang pernah ia tuduhkan pada Aini. "Saya mau pulang!""Nggak, jangan! Iya, iya, boleh pulang. Tapi kamu nunggu Alex dulu. Perut kamu udah gede gitu. Berapa bulan sekarang usianya?" Dhuha mengalah. Suaranya ia pelan kan agar Aini tidak merajuk. "Delapan," jawab Aini singkat. "Oh, udah lama juga ya. Terakhir itu kita yang sore-sore ya. Itu mungkin langsung jadi, Ai!" Aini memutar bola mata malasnya. "Anaknya laki-laki atau perempuan?""Gak usah kepo, Mas. Bukannya Mas bilang ini bukan anak Mas? Kenapa sekarang berubah lagi?" Dhuha menghela napas. Ia tahu ia salah dan gak mudah membetulkan kembali apa yang sudah dirusak olehnya. "Tapi
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-23
Baca selengkapnya

86. Aku Suapi, Ya!

"Apa-apaan ini, Kim? Kenapa jadi begini?" tanya Dhuha sambil meremas kasar rambutnya. Hakim pun tidak tahu harus berkomentar apa karena ia pun jika menjadi Dhuha, akan sangat bingung. "Sabar, Dhu, ini ujian buat lo!" "Maaf, Pak, silakan buat keputusan sekarang." Dhuha menatap Hakim dengan mata berkaca-kaca. Perawat memberikan dua lembar pernyataan yang harus ditanda tangani oleh Dhuha. Pria itu memegang pulpen dengan tangan gemetaran. Istri atau anaknya. Dua-duanya... Apa ini teguran karena dia meragukan buah hatinya?"Istri saya, Dok. Saya pilih istri saya." Dokter pun mengangguk dan langsung masuk ke ruangan operasi. Dhuha menunggu dengan cemas. Ia bolak-balik berdiri karena tak sabar dengan hasil tindakan dokter hari ini. Kaki tangannya ikut dingin, begitu juga perutnya. "Dhuha, bagaimana Aini?" Alex tiba di samping Dhuha dengan sama paniknya. "Masih di dalam. Belum keluar sudah empat puluh lima menit." "Apa yang terjadi? Bukankah Aini baik-baik saja sebelumnya?" tanya Laex
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-23
Baca selengkapnya

87. Keputusan yang Diambil

PoV Dhuha"Dhu, mami Maria sakit. Lo gak mau pulang nengokin? Ini udah hari kesepuluh dirawat. Dia nanyain lo terus?" Aku diam. Sejak mama terang-terangan menentangku berumah tangga dengan Aini, aku pun memutuskan untuk mengalah. Di satu sisi, ada mama, tapi di sisi lain, ada Aini yang aku sayangi, tetapi ia tidak pernah memaafkanku lagi. Kematian putri kami dan penolakan mama yang membuat Aini membenciku. Empat tahun bukan waktu yang sebentar, tetapi sampai detik ini, aku tidak bisa melupakannya. Istriku pergi setelah bayi kami dimakamkan waktu itu. Nama yang begitu indah sudah disiapkan oleh Aini untuk putri kami. Hania Rahmah binti Fajar Pratama. Nama yang sangat sederhana, tetapi aku suka. Aini marah dan tidak memaafkanku. Ia juga terang-terangan diusir mama karena mama menganggap Aini tidak becus mengandung cucunya. Strata sosial masih yang paling penting bagi mama saat itu. Tidak tahu kalau sekarang. Lalu apa kalimat talak aku ucapkan pada Aini? Aku tidak mau dan aku tidak t
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-23
Baca selengkapnya

88. Keluarga Toxic

PoV Luna"Aku capek. Anak kamu nangis terus. Aku pusing karena gak tahu mau dia apa?!" omelku pada Anton. Dia pria dari anak yang aku kandung. Bukan Dhuha, mantan suamiku terdahulu. Anton baru sampai dari bekerja di tempat pengepulan sampah dan kalian tahu kan, baunya kayak apa? Jika bukan karena utang orang tuaku yang dibayarkan lelaki sampah ini, tidak mau aku menikahinya. "Mungkin lapar. Udah kamu kasih makan belum?" "Males. Kamu aja yang kasih makan. Orang dia anak kamu!" Bentakku kesal. Aku benar-benar tersandera menjadi istri dari pria yang benar-benar aku benci seumur hidupku. Pria yang mengambil kesempatan saat aku diluar kendali. Anton menaruh bajunya di keranjang cucian khusus. Ya, aku gak mau bajuku bercampur dengan bajunya. Sepulang bekerja, ia pasti menaruh pakaian motor dan baunya di sana. "Ya sudah, biar aku yang suapi." "Kamu dari luar, bau, kotor, kenapa gak mandi dulu! Cukup kamu aja yang bau sampah di rumah ini, jangan anak kamu juga. Bisa-bisa aku mati berdi
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-24
Baca selengkapnya

89. Kekesalan Maria

"Bagaimana, Kim? Apa Dhuha mau pulang ke Jakarta?" tanya Maria penuh harap. Hakim menutup pintu kamar Maria, lalu berjalan dan duduk di ujung kaki wanita yang tengah tergolek lemas itu. "Dhuha lagi ada kerjaan, Mami. Kata Dhuha secepatnya akan pulang, tapi gak bilang kapan." Wajah Maria semakin murung. "Mami punya anak satu-satunya lelaki. Mami kira, ia akan sangat sayang pada Mami, ternyata ia malah meninggalkan Mami demi perempuan janda bernama Aini.""Maaf, Mi, setahu Hakim, Dhuha pergi bukan karena Aini. Bukankah Aini sudah mengusir Dhuha? Dhuha pergi karena ia ingin memulai hidup baru." Maria tertawa miris. "Kamu pasti berasa di pihak wanita itu. Wanita itu pasti senang karena sekarang Mami kehilangan putra satu-satunya. Mendengar mamanya sakit saja, dia gak mau pulang. Pasti itu karena wanita bernama Aini.""Mami, Hakim pergi dulu ya. Ada janji meeting jam empat sore di kantor. Mami kabari aja kalau butuh sesuatu." Maria mengangguk tanpa semangat. "Mudah-mudahan urusan Dhuha
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-26
Baca selengkapnya

90. Kolak Pisang

Keesokan harinya, Hakim langsung pergi ke Bandung, menuju restoran yang kemarin disebutkan oleh Lukman. Dengan hati berdebar, Hakim memasuki area parkir restoran yang cukup luas. Akhirnya, setelah sekian tahun lamanya mencari informasi tentang Aini, barulah ini ia benar-benar mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan wanita itu. Wanita yang sangat dicari almarhum opanya, hingga opa Fauzi menutup mata, tetapi Aini belum juga ditemukan. "Silakan, Mas, sudah reservasi?" tanya salah seorang pelayan restoran yang menyambut Hakim."Belum, Mbak.""Baik, boleh di sebelah sini, Mas." Pelayan wanita itu mengarahkan sebuah meja dengan kursi empat. Hakim sambil mengamati sekeliling restoran sambil tersenyum dalam hati. Dhuha, lo bakalan kaget kalau tahu siapa Aini sekarang. "Silakan, Mas, ini buku menunya!""Oh, saya pesan menu best seller di sini, Mbak.""Ada iga bakar madu dan leci ice lemon.""Boleh, itu saja.""Oh iya, ada lagi, Mas. Jika pembelanjaan sampai di atas dua ratus lima pul
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-27
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
7891011
...
21
DMCA.com Protection Status