PoV Luna"Aku capek. Anak kamu nangis terus. Aku pusing karena gak tahu mau dia apa?!" omelku pada Anton. Dia pria dari anak yang aku kandung. Bukan Dhuha, mantan suamiku terdahulu. Anton baru sampai dari bekerja di tempat pengepulan sampah dan kalian tahu kan, baunya kayak apa? Jika bukan karena utang orang tuaku yang dibayarkan lelaki sampah ini, tidak mau aku menikahinya. "Mungkin lapar. Udah kamu kasih makan belum?" "Males. Kamu aja yang kasih makan. Orang dia anak kamu!" Bentakku kesal. Aku benar-benar tersandera menjadi istri dari pria yang benar-benar aku benci seumur hidupku. Pria yang mengambil kesempatan saat aku diluar kendali. Anton menaruh bajunya di keranjang cucian khusus. Ya, aku gak mau bajuku bercampur dengan bajunya. Sepulang bekerja, ia pasti menaruh pakaian motor dan baunya di sana. "Ya sudah, biar aku yang suapi." "Kamu dari luar, bau, kotor, kenapa gak mandi dulu! Cukup kamu aja yang bau sampah di rumah ini, jangan anak kamu juga. Bisa-bisa aku mati berdi
"Bagaimana, Kim? Apa Dhuha mau pulang ke Jakarta?" tanya Maria penuh harap. Hakim menutup pintu kamar Maria, lalu berjalan dan duduk di ujung kaki wanita yang tengah tergolek lemas itu. "Dhuha lagi ada kerjaan, Mami. Kata Dhuha secepatnya akan pulang, tapi gak bilang kapan." Wajah Maria semakin murung. "Mami punya anak satu-satunya lelaki. Mami kira, ia akan sangat sayang pada Mami, ternyata ia malah meninggalkan Mami demi perempuan janda bernama Aini.""Maaf, Mi, setahu Hakim, Dhuha pergi bukan karena Aini. Bukankah Aini sudah mengusir Dhuha? Dhuha pergi karena ia ingin memulai hidup baru." Maria tertawa miris. "Kamu pasti berasa di pihak wanita itu. Wanita itu pasti senang karena sekarang Mami kehilangan putra satu-satunya. Mendengar mamanya sakit saja, dia gak mau pulang. Pasti itu karena wanita bernama Aini.""Mami, Hakim pergi dulu ya. Ada janji meeting jam empat sore di kantor. Mami kabari aja kalau butuh sesuatu." Maria mengangguk tanpa semangat. "Mudah-mudahan urusan Dhuha
Keesokan harinya, Hakim langsung pergi ke Bandung, menuju restoran yang kemarin disebutkan oleh Lukman. Dengan hati berdebar, Hakim memasuki area parkir restoran yang cukup luas. Akhirnya, setelah sekian tahun lamanya mencari informasi tentang Aini, barulah ini ia benar-benar mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan wanita itu. Wanita yang sangat dicari almarhum opanya, hingga opa Fauzi menutup mata, tetapi Aini belum juga ditemukan. "Silakan, Mas, sudah reservasi?" tanya salah seorang pelayan restoran yang menyambut Hakim."Belum, Mbak.""Baik, boleh di sebelah sini, Mas." Pelayan wanita itu mengarahkan sebuah meja dengan kursi empat. Hakim sambil mengamati sekeliling restoran sambil tersenyum dalam hati. Dhuha, lo bakalan kaget kalau tahu siapa Aini sekarang. "Silakan, Mas, ini buku menunya!""Oh, saya pesan menu best seller di sini, Mbak.""Ada iga bakar madu dan leci ice lemon.""Boleh, itu saja.""Oh iya, ada lagi, Mas. Jika pembelanjaan sampai di atas dua ratus lima pul
"Bagaimana kabarnya, Mbak?" tanya Viona, mama dari Hakim pada Maria; iparnya yang masih terbaring lemas. "Kamu lihat aja begini, Vi. Bisa sih ke kamar mandi, tapi gak bisa berdiri lama-lama. Kakiku lemes." Viona duduk di ujung kaki kakak iparnya. "Udah dapat kabar dari Dhuha?" tanya Viona lagi. Maria menggelengkan kepala. "Nomorku dia blokir. Katanya dia gak mau diganggu siapapun. Ada anak yang bisa begitu sama orang tua. Apa cuma anakku saja? Hem... beda banget sama Hakim yang penurut. Gak pernah macam-macam di luaran sana. Beruntung kamu punya Hakim. Seandainya Dhuha itu seperti Hakim yang selalu tunduk apa kata orang tua." Viona mengulum senyum getir. Ia tahu maksud ucapan sang Ipar. "Setiap anak pasti ada kekurangannya, Mbak. Kalau Hakim sesempurna itu, sudah pasti sekarang dia punya istri. Lihat saja, aneka model wanita sudah saya sodorkan padanya, tetapi gak ada yang cocok. Minta yang sederhana katanya, bukan yang menor." Viona tertawa, begitu juga Maria. "Selera Hakim dan
"Pak Dhuha mau ke mana, Pak?" tanya Agnes pada Dhuha yang saat itu tengah merapikan meja kerjanya. Agnes masuk sambil membawa beberapa dokumen yang dibutuhkan Dhuha. "Saya hanya sedang ingin beres-beres saja, Nes. Berkasnya taruh saja di meja saya ya.""Perlu saya bantu, Pak?""Gaka usah, makasih, Nes. Kamu masih ada pekerjaan lain yang lebih penting. Lagian ini cuma beresin biasa kok." Wajah Agnes berubah sendu. Sejak Agnes dan tantenya berkunjung ke rumah Dhuha beberapa tempo hari, Dhuha langsung menjaga jarak. Ia tetap berkomunikasi baik dengan Agnes hanya untuk urusan pekerjaan. Sesekali ia mentraktir Agnes kopi saat pulang bekerja, tetapi sekarang tidak lagi. "Bapak nanti mau balik bareng saya lagi?" tanya Agnes sebelum benar-benar keluar dari ruangan Dhuha. "Tidak, kamu boleh duluan." Dhuha sekali lagi memberikan senyumnya. "Boleh ditutup pintunya, Nes!" Agnes pun tersentak dan langsung mengangguk paham. Setelah Agnes keluar, Dhuha bergegas merapikan bagian laci meja kerjany
PoV AiniBiasanya aku bisa bangun jam lima pagi, tetapi hari ini rasanya malas. Jam tujuh aku masih santai di kamar. Apalagi hari ini aku sedang datang bulan. Izzam dan Intan sudah diurus bibik. Biasanya aku ikut sarapan, tapi pagi ini rasanya malas melakukan apapun. Mungkin karena si Tamu bulanan yang datang tiba-tiba. Aku menandai kalender duduk yang ada di samping ranjangku. Tersenyum melihat tanda hati di tanggal 31 di bulan Oktober. Hari pernikahan yang selama ini aku impikan. Menikah dengan orang yang mencintai kita itu lebih baik daripada menikah tanpa cinta atau hanya kita saja yang cinta. Berarti tepat di hari pernikahan aku masa subur. Semoga saja nanti kembali diberi keturunan. Cklek"Ibu!" Izzam berjalan mendekat ke arahku dengan baju kaus dan celana gunung. Tidak ada seragam sekolah seperti sekolah lainnya jika anak kita bersekolah di sekolah alam. "Udah rapi anak solih Ibu. Ada apa?""Hari ini jadwalnya aku jualan di sekolah. Aku harus bawa uang kembalian.""Oh, iya,
"A-aini, ini Aini kan?""Salah sambung, saya Ainun!"Aku memutus panggilan dari lelaki yang mengaku Dhuha. Tidak mungkin laki-laki seperti Dhuha tiba-tiba menelepon, halo, Aini, apa kabar? How are you? Kesambet tiang listrik kali dia! Pasti orang gak waras yang mencoba menggodaku. Untunglah aku tak mudah tergoda. Apalagi dengan nama Dhuha. Mohon maaf, aku sudah kapok. Menerima telepon salah sambung tadi benar-benar merusak mood jalan-jalanku hari ini. Aku segera berdandan secantik mungkin demi mas Alex yang sebentar lagi akan menjadi suamiku. Dua minggu lagi tidak lama. Parfum kesukaan mas Alex juga sudah aku semprot kan ke seluruh tubuh ini. Setelah yakin dengan penampilanku, aku pun menunggu mas Alex di ruang tengah. "Ibu cantik sekali pagi ini. Mau pergi dengan Pak Alex?" tanya bik Amih.""Iya, Bik, saya mungkin pulang agak sore. Mau ngecek kesiapan resto untuk pernikahan saya sambil makan siang. Anak-anak hari ini pulang seperti biasa. Hanya Izzam yang pulang lebih sore karena
"Kenapa, Ai?""Gak tahu, Mas, sebenarnya saya gak terlalu jelas mendengarnya, tapi menyebut nama Anton.""Anton? Ada banyak nama Anton di dunia ini, Sayang. Sudah, jangan dipikirkan ya. Kita langsung ke resto saja." Aku mengangguk, lalu sekali lagi menoleh ke belakang. Anak kecil itu sudah tidak terlihat lagi, tapi aku mengenal jalan yang saat ini aku lalui. Jika suatu saat nanti aku bertemu, akan aku tanyakan lagi. "Mas, nanti kalau pulang malam lewat sini lagi ya, siapa tahu ketemu anak yang tadi." "Masih penasaran?" aku mengangguk. "Oke, apa sih yang tidak untuk calon ibu anak-anakku!" "Makasih, Mas Alex." Kami pun melanjutkan perjalanan sampai di area parkir restoran. Pak Mukminin yang hapal mobil mas Alex, langsung saja mengangkat tangan tanda hormat. "Siang, Pak, " sapa kami bersamaan. "Siang, Bu Aini, Pak Alex. Sebelah sini, Pak!" Pak Mukminin pun mengarahkan mobilku untuk dapat parkir karena parkiran mobil hampir penuh. "Jam makan siang ramai sekali," komentar mas Alex
Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal
Aini menghapus air matanya dengan ujung jari, berusaha menenangkan diri. Dhuha masih menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan di tengah gemuruh emosinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan Intan dan Izzam berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah, sesekali menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada wanita yang mengantar mereka.Siapa dia? Wanita itu tersenyum hangat, begitu akrab dengan Intan dan Izzam. Aini menelan ludah. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya—perasaan kehilangan yang semakin nyata. Wanita yang sama persis dengan yang ada di media sosial Alex tempo hari. Apa wanita itu sudah menjadi istri Alex? "Mas, aku ingin tahu siapa dia," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.Dhuha menoleh ke arahnya, menatap dengan mata penuh pengertian. "Kalau kamu penasaran, kita bisa cari tahu. Tapi kamu harus siap dengan jawabannya."Aini menarik napas panjang. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak tahu. Namun, melihat bagaimana anak-anaknya terlihat nyaman dengan wanita it
Maria menatap Miranti lekat-lekat, memastikan bahwa gadis itu benar-benar yakin dengan keputusannya. Sejak awal, ia tidak pernah membayangkan akan ada seseorang yang begitu rela mengorbankan dirinya seperti ini.“Tante akan bicara dengan Dhuha dan Aini,” ulang Maria, memastikan Miranti tidak berubah pikiran.Miranti mengangguk. “Terima kasih, Tante. Saya siap menghadapi mereka kapan pun. Kami hanya perlu bicara dari hati ke hati. Apapun nanti jawaban Aini dan Dhuha, saya juga gak keberatan."Maria menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya mulai mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal ini kepada putranya dan menantunya. Aini mungkin masih belum sepenuhnya terbuka terhadap gagasan ini, meskipun ia sendiri yang mengusulkannya. Dhuha? Maria yakin putranya masih berada dalam fase menolak.Namun, waktu terus berjalan.Setelah makan siang mereka selesai, Maria dan Miranti berpisah. Namun, bagi Maria, ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih rumit. Apa Dhuha akan set
Aini terdiam mendengar syarat yang diajukan Dhuha. Matanya menatap suaminya, mencari keyakinan di balik permintaannya."Satu tahun, Mas?" ulangnya pelan.Dhuha mengangguk. "Iya, Ai. Kita sudah menunggu sejauh ini. Aku ingin kita memberi waktu untuk pernikahan kita lebih matang sebelum kita mengambil keputusan sebesar ini. Lagipula, dokter bilang kamu masih punya peluang hamil secara alami. Kenapa kita tidak mencoba lebih lama? Kamu bukan tidak bisa hamil, tapi memang belum waktunya. Sayang, aku ingin kita benar-benar yakin akan langkah yang ke depannya kita tempuh ini. Termasuk segala hal berkaitan dengan dampaknya, terutama mama."Aini menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya setuju dengan usulannya, tapi setidaknya Dhuha tidak langsung menolaknya mentah-mentah. Ini sudah lebih baik daripada tidak ada kompromi sama sekali.Ria, yang sejak tadi memperhatikan mereka, akhirnya ikut angkat bicara. "Menurut saya, keputusan Mas Dhuha masuk akal, Kak Aini. Ini bukan hal kecil.