"Pak Dhuha mau ke mana, Pak?" tanya Agnes pada Dhuha yang saat itu tengah merapikan meja kerjanya. Agnes masuk sambil membawa beberapa dokumen yang dibutuhkan Dhuha. "Saya hanya sedang ingin beres-beres saja, Nes. Berkasnya taruh saja di meja saya ya.""Perlu saya bantu, Pak?""Gaka usah, makasih, Nes. Kamu masih ada pekerjaan lain yang lebih penting. Lagian ini cuma beresin biasa kok." Wajah Agnes berubah sendu. Sejak Agnes dan tantenya berkunjung ke rumah Dhuha beberapa tempo hari, Dhuha langsung menjaga jarak. Ia tetap berkomunikasi baik dengan Agnes hanya untuk urusan pekerjaan. Sesekali ia mentraktir Agnes kopi saat pulang bekerja, tetapi sekarang tidak lagi. "Bapak nanti mau balik bareng saya lagi?" tanya Agnes sebelum benar-benar keluar dari ruangan Dhuha. "Tidak, kamu boleh duluan." Dhuha sekali lagi memberikan senyumnya. "Boleh ditutup pintunya, Nes!" Agnes pun tersentak dan langsung mengangguk paham. Setelah Agnes keluar, Dhuha bergegas merapikan bagian laci meja kerjany
PoV AiniBiasanya aku bisa bangun jam lima pagi, tetapi hari ini rasanya malas. Jam tujuh aku masih santai di kamar. Apalagi hari ini aku sedang datang bulan. Izzam dan Intan sudah diurus bibik. Biasanya aku ikut sarapan, tapi pagi ini rasanya malas melakukan apapun. Mungkin karena si Tamu bulanan yang datang tiba-tiba. Aku menandai kalender duduk yang ada di samping ranjangku. Tersenyum melihat tanda hati di tanggal 31 di bulan Oktober. Hari pernikahan yang selama ini aku impikan. Menikah dengan orang yang mencintai kita itu lebih baik daripada menikah tanpa cinta atau hanya kita saja yang cinta. Berarti tepat di hari pernikahan aku masa subur. Semoga saja nanti kembali diberi keturunan. Cklek"Ibu!" Izzam berjalan mendekat ke arahku dengan baju kaus dan celana gunung. Tidak ada seragam sekolah seperti sekolah lainnya jika anak kita bersekolah di sekolah alam. "Udah rapi anak solih Ibu. Ada apa?""Hari ini jadwalnya aku jualan di sekolah. Aku harus bawa uang kembalian.""Oh, iya,
"A-aini, ini Aini kan?""Salah sambung, saya Ainun!"Aku memutus panggilan dari lelaki yang mengaku Dhuha. Tidak mungkin laki-laki seperti Dhuha tiba-tiba menelepon, halo, Aini, apa kabar? How are you? Kesambet tiang listrik kali dia! Pasti orang gak waras yang mencoba menggodaku. Untunglah aku tak mudah tergoda. Apalagi dengan nama Dhuha. Mohon maaf, aku sudah kapok. Menerima telepon salah sambung tadi benar-benar merusak mood jalan-jalanku hari ini. Aku segera berdandan secantik mungkin demi mas Alex yang sebentar lagi akan menjadi suamiku. Dua minggu lagi tidak lama. Parfum kesukaan mas Alex juga sudah aku semprot kan ke seluruh tubuh ini. Setelah yakin dengan penampilanku, aku pun menunggu mas Alex di ruang tengah. "Ibu cantik sekali pagi ini. Mau pergi dengan Pak Alex?" tanya bik Amih.""Iya, Bik, saya mungkin pulang agak sore. Mau ngecek kesiapan resto untuk pernikahan saya sambil makan siang. Anak-anak hari ini pulang seperti biasa. Hanya Izzam yang pulang lebih sore karena
"Kenapa, Ai?""Gak tahu, Mas, sebenarnya saya gak terlalu jelas mendengarnya, tapi menyebut nama Anton.""Anton? Ada banyak nama Anton di dunia ini, Sayang. Sudah, jangan dipikirkan ya. Kita langsung ke resto saja." Aku mengangguk, lalu sekali lagi menoleh ke belakang. Anak kecil itu sudah tidak terlihat lagi, tapi aku mengenal jalan yang saat ini aku lalui. Jika suatu saat nanti aku bertemu, akan aku tanyakan lagi. "Mas, nanti kalau pulang malam lewat sini lagi ya, siapa tahu ketemu anak yang tadi." "Masih penasaran?" aku mengangguk. "Oke, apa sih yang tidak untuk calon ibu anak-anakku!" "Makasih, Mas Alex." Kami pun melanjutkan perjalanan sampai di area parkir restoran. Pak Mukminin yang hapal mobil mas Alex, langsung saja mengangkat tangan tanda hormat. "Siang, Pak, " sapa kami bersamaan. "Siang, Bu Aini, Pak Alex. Sebelah sini, Pak!" Pak Mukminin pun mengarahkan mobilku untuk dapat parkir karena parkiran mobil hampir penuh. "Jam makan siang ramai sekali," komentar mas Alex
"Kamu yakin gak papa? Kamu gak perlu terkejut menatapku seperti itu. Kamu seperti gugup? Apa ada seseorang yang menelepon?""Tidak ada apa-apa, Mas. Hanya saat genggam telepon ini tangan saya licin, jadi henponnya nyium lantai deh. Mana mati lagi. Dah, di jalan nanti saya coba nyalain. Ayo, kita makan di luar. Katanya udah lapar." Aku menyambar tas selempang yang ada di atas meja kerjaku, dan langsung menggandeng lengan mas Alex. Mas Alex gak boleh tahu kalau Mas Dhuha menghubungiku. Mas Alex gak boleh tahu kalau ternyata mas Hakim pernah ke restoran dan pasti mencari informasi tentangku. Aku harus bisa bersikap biasa demi menjaga perasaan mas Alex. Aku gak mungkin mengecewakannya. Gak mungkin bikin sedih mama Asma. Mereka sekeluarga sudah teramat baik bagiku. Sepanjang jalan aku tidak tenang setelah melihat CCTV. Mas Hakim ke restoranku sudah tiga kali. Hanya saat pertama kali saja nampak berbicara dengan Nung, salah satu karyawanku yang senior di sana. Aku jadi penasaran mereka bi
"Aku Hakim, bukan Dhuha, Mbak. Astaghfirullah, kamu hampir saja celaka." Aku tersentak. "H-hakim, t-tapi... ini saya gerah! Mas Hakim, t-tolong saya!""Iya, sebentar.""Kita mau kemana? Saya sudah gak tahan, gerah tolong!" Aku tidak tahu harus melakukan apa karena tubuhku gelisah. Aku belum pernah seperti ini sebelumnya. Ini benar-benar tersiksa. Aku haus, aku gerah, dan tidak tahu bagaimana melukiskannya. Kepalaku juga pusing. Tubuhku seolah-olah ingin disentuh. Kenapa ini? Apa aku alergi makanan yang tadi aku makan. "Kita ke sini, Mbak Aini masuk ke dalam kamar mandi. Guyur dengan air dingin yang lama! Tolong, saya akan segera panggil dokter. Mbak Aini tolong bantu saya. Mbak Aini baru saja minum obat perang sang dan itu bisa berakibat fatal jika bertemu dengan lelaki hidung belang. Masuk, Mbak! Cepat!" Hakim mendorong tubuhku masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar hotel. Tanganku gemetar menggeser kran air ke arah kanan yang bertanda biru. "Assh!" Aku mendesis, tapi juga i
"Alhamdulillah, sudah sadar juga Mbak Putri kita," ucap Hakim diikuti senyuman yang melebar di wajahnya. Aku membuang muka. Jelas saja malu bertemh Dhuha dan Hakim disaat aku bangun tidur seperti ini. Sudah pasti rambutku seperti singa dan air liur ku mengering di pinggir bibir ini. Ish! Pertemuan empat tahun yang sangat tidak perlu untuk diingat. "Kalian berdua dari tadi di kamar ini melihat aku tidur?" tanyaku kesal, tanpa mau melihat keduanya. "Iya." Mereka menjawab serentak. "Kenapa?""Gak papa." Keduanya lagi-lagi menjawab serentak. "Terus sekarang aku udah bangun, kenapa masih di situ? Keluar sana!" Kataku lagi. Aku segera menarik selimut hanya untuk mengendurkan rasa grogi ku saja. "Lo keluar, Kim. Gue mau.... ""Kamu juga keluar! Kalian berdua keluar! Kenapa malah liat-liatan? Gak denger kupingnya?" "Dengar!""Ya udah, sana!" Aku pun bergerak turun dari ranjang, tapi kakiku tidak hati-hati sehingga... Hap! "Hampir nyium lantai'kan kepalanya! Hati-hati, Ai!""Lepas, bu
"Kenapa sih, hobi banget jadi janda? Biar dapat berondong, iya? Berondong kayak Alex yang hampir ambil kesempatan atas diri kamu yang dikuasai obat? Untung ada Hakim datang, coba kalau aku, bisa sama aku kan! Bukan malah diguyur air dingin. Kamu gak sakit, Ai? Gak masuk angin kena guyur air shower lama banget?" "Udah selesai ngomongnya?! Sekarang keluar!""Gak mau! Mau di sini saja. Kenapa sih, lagian kita masih suami istri?"Itu-itu terus alasan pria ini bila aku usir. "Aku lapar, aku mau pulang. Izzam dan Intan pasti cariin aku, Dhuha. Aku mau pulang." Suaraku yang setengah memohon membuat pria itu tertawa pelan. "Sama suami gak boleh panggil nama, dosa!" Katanya santai. "Panggil, Mas Dhuha kayak sebelumnya atau panggil sayang juga boleh," tambahnya lagi. "Bodo amat! Saya gak punya suami, titik!" Balasku tidak mau kalah. "Terus saya apa? Ini suaminya Ibu Aini, S.E." Aku berhasil menjauh dari Dhuha. Jika kami terus saja berasa dalam satu ruangan yang sama, maka kami akan berten
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang