"Kenapa sih, hobi banget jadi janda? Biar dapat berondong, iya? Berondong kayak Alex yang hampir ambil kesempatan atas diri kamu yang dikuasai obat? Untung ada Hakim datang, coba kalau aku, bisa sama aku kan! Bukan malah diguyur air dingin. Kamu gak sakit, Ai? Gak masuk angin kena guyur air shower lama banget?" "Udah selesai ngomongnya?! Sekarang keluar!""Gak mau! Mau di sini saja. Kenapa sih, lagian kita masih suami istri?"Itu-itu terus alasan pria ini bila aku usir. "Aku lapar, aku mau pulang. Izzam dan Intan pasti cariin aku, Dhuha. Aku mau pulang." Suaraku yang setengah memohon membuat pria itu tertawa pelan. "Sama suami gak boleh panggil nama, dosa!" Katanya santai. "Panggil, Mas Dhuha kayak sebelumnya atau panggil sayang juga boleh," tambahnya lagi. "Bodo amat! Saya gak punya suami, titik!" Balasku tidak mau kalah. "Terus saya apa? Ini suaminya Ibu Aini, S.E." Aku berhasil menjauh dari Dhuha. Jika kami terus saja berasa dalam satu ruangan yang sama, maka kami akan berten
"Gimana?" Hakim menghampiri Dhuha di apartemen yang pria itu sewa untuk beberapa hari ke depan. "Baru aja nganter Aini. Masih begitu. Dia kayaknya gak mudah maafin gue," jawab Dhuha tanpa semangat. "Ya, wajar, Dhu. Lu tiba-tiba nongol disaat dia mau nikah," balas Hakim. "Ya, karena lu yang ngabarin gue. Mungkin kalau lu gak ngabarin gue, maka selamanya emang gue anggap Aini itu udah nikah." Dhuha memberikan satu cangkir kopi susu pada sepupunya itu. Hakim menerimanya, menyesapnya pelan-pelan karena masih sangat panas. "Tapi lu seneng kan, ternyata Aini belum jadi istri orang? Secara agama, lo masih suami Aini. Mending lo jumpai Alex. Gue mau nemenin. Gue di sini sampa lusa. Ada kerjaan juga emang." "Benar juga ide lu. Mending gue aja Alex ketemu ya.""Gak usah ditelepon, langsung samperin aja ke kantornya. Kalau lo ajak ketemu, belum tentu mau!" Dhuha berpikir sejenak. Pria itu menyesap kopinya perlahan. "Bener sih, mending kita samperin aja ke sana. Tunggu ya, gue mandi dulu."
"Hei, mau ke mana lo?!" Hakim dan Dhuha berhenti melangkah. Aris mengeratkan pelukan pada Dhuha dengan wajah yang ia sembunyikan di bahu pria itu. "Anak saya mau dibawa ke mana? Mau nyulik lo ya? Sini!" Pria berperawakan kurus tinggi itu hendak mengambil Aris dari gendongan Dhuha, tetapi tidak mudah. Dhuha menahan tubuhnya dan Hakim pun turut menepis tangan pria yang berpenampilan seperti pengamen itu. "Ini anak gue, lo yang nyulik, bang zat!" Sebelah tangan Dhuha menarik baju pria itu dengan kuat. "Sini, lo, ikut gue ke kantor polisi. Ikut gue ke rumah sakit, biar tahu lo adalah penculik sebenarnya! Ikut!""Lepas!" Pria itu berhasil lepas dan berlari sekencang mungkin meninggalkan Dhuha dan Hakim yang kini menjadi pusat perhatian orang banyak. Aris menangis sesegukan karena takut. "Maaf, Pak, Bu, ini anak saya. Pria tadi yang menculiknya. Saya akan bawa ke rumah sakit. Bapak Ibu ada yang mau ikut saya untuk memastikan ucapan saya tidak bohong!" Ajakan Dhuha tentu saja membuat ora
Dhuha akhirnya membawa Aris ke apartemen yang sudah ia sewa. Anak kecil itu mandi dengan bersih karena sengaja dimandikan oleh Dhuha. Setelah mandi, Aris pun makan nasi dengan lahap. Begitu kenyang, anak umur empat tahun itu tertidur. Wajahnya sangat lelah . Dhuha memperhatikan Aris yang terlelap, hingga sesekali anak kecil itu sesegukan. "Udah tidur?" tanya Hakim setengah berbisik. Dhuha mengangguk. Lalu Dhuha keluar dari kamarnya bersama Hakim. "Lu kabari Aini. Minta Aini hubungi Anton. Aini pasti pegang nomor teman baiknya itu. Aris malam ini sampai besok, biarkan dahulu di sini. Kita gak tahu keadaan di Jakarta sana seperti apa. Kehidupan berat apa yang dijalani Aris saat bersama Luna," ujar Dhuha sedih. "Gue percaya ucapan Aris. Anak kecil gak mungkin bicara omong kosong," komentar Hakim. "Iya, makanya lo telepon Aini atau lo datang ke rumahnya sekalian cari tahu kabarnya. Telepon gue soalnya udah di blokir. Kalau gue yang datang, gue gak bakalan dibukain pintu. Kalau, lu, mu
"Lex, kamu mau pulang jam berapa? Ini sudah sore. Kita mau ke rumah Aini.""Alex ada lemburan, Ma. Besok saja kita ke sana. Alex udah mastiin keadaan Aini. Aink baik-baik saja. Cuma lagi healing katanya lagi gak pengen diganggu.""Masa, sih? Bukannya Aini yang minta kita berdua ke rumahnya?""Iya, Ma, tapi masih bisa besok. Alex ada lemburan. Besok siang kita ke sana, oke?" Bu Asma tidak punya pilihan lain, selain setuju dengan ucapan putranya. Sebenarnya ia sangat penasaran dengan apa yang akan disampaikan Aini, tetapi ia harus bersabar sampai besok. Bu Asma pun mengetik pesan untuk Aini yang mengabarkan bahwa ia dan Alex tidak bisa berkunjung malam ini karena putranya itu lembur. Namun, pesan yang ia kirimkan hanya ceklis satu saja. Apa aku sendirian saja ke sana? Tapi kata Aini, dia minta aku dan Alex. Duh, ada apa sih, benar-benar penasaran jadinya. Batin bu Asma. Kring! Kring! Ponselnya pun berdering. Muncul nama salah satu temannya di layar ponsel. "Halo, iya, Mbak.""Halo,
"Makasih udah selamatin Aris." Aini tersenyum tipis. Wanita itu merapikan selimut Aris yang tersingkap. "Aris pernah aku anggap anakku, Ai, sebelum tes DNA." Aini tertawa. "Ya, hanya bayiku saja yang tak pernah dianggap anak." Dhuha merasa sudah mengucapkan kalimat yang salah. Keinginan untuk rujuk dengan Aini tidak mudah. Ada banyak hal yang sangat menyinggung wanita itu baik sebagai istri, maupun ibu. Dhuha berjalan masuk dan duduk di dekat Aini. "Tidak seperti itu maksudnya, Ai. Kamu selalu saja salah paham denganku. Aku minta maaf jika ucapanku menyinggung kamu, tapi aku gak bermaksud. Aku suka anak-anak Ai. Sebagaimana aku dekat dengan Izzam dan Intan." Aini membuang pandangannya. Ia lekas berdiri dan keluar dari kamar Dhuha. Sudah ada Hakim yang menunggu di kursi tamu. "Bagaimana, Mbak?" tanya Hakim. "Besok akan kita bawa ke Jakarta. Aris harus segera dipertemukan dengan Anton." "Mbak Aini ikut nganter?" Aini mengangguk. "Apa gak papa anak-anak ditinggal ke Jakarta?" "Bi
"Aini, tunggu! Aini!" Aini terpaksa menahan langkahnya karena pergelanhan tangannya dipegang sedikit kuat oleh Alex. "Ada apa lagi, Mas? Bukannya semua sudah jelas, bahwa Mas Alex mau mengambil manfaat dari saya! Mas, padahal semuanya akan halal dalam hitungan hari, tapi Mas malah gak sabar. " Aini menjeda sebentar ucapannya, sambil menarik napas begitu dalam. Ia pun sebenarnya masih bingung harus berbuat apa. Maju kena, mundur juga kena. "Lagian, Dhuha kembali. Dia ada di Indonesia dan ia bilang, saya masih sah sebagai istrinya. Saya juga merasa ini semakin rumit. Sudahlah, Mas, saya masuk dulu. Ini sudah malam, saya capek mau istirahat. Mas pulang ya, nanti kita bicara lagi." Alex pun akhirnya melepas pergelangan tangan Aini. Membiarkan wanita itu masuk ke dalam rumah dengan keadaan lelah. "Dhuha hanya alasan kamu saja, kan, Ai? Aini, Aini! kita tetap perlu bicara!" seru Alex, tetapi Aini malah menutup pintu, lalu mengunci rumahnya. Hakim hanya memantau saja dari luar pagar dan
"Kamu kenal di mana sama calon menantuku ini, Mbak Mar?" tanya bu Asma terkejut saat Aini dan wanita mantan mertuanya itu saling sapa. "Di Jakarta, pernah ketemu, tapi hanya sebatas kenal saja, Ma. Biar saya siapkan menu yang sudah dipesan Mama ya. Tunggu sebentar.""Makasih, Sayang. Kamu pasti jadi repot ada Mama dan teman-teman Mama." Ainu tersenyum begitu tulus. "Gak papa, Ma. Mari, Om, Tante, saya permisi dulu." Aini pun segera keluar dari ruangan VIP yang ad akan transparannya itu. Jantung wanita itu berdetak cepat. Keduanya tangannya dingin, sampai-sampai ia harus duduk di kursi kosong di dekat lorong dapur. "Bu Aini gak papa?" tanya Muslim; salah pelayan restoran yang kebetulan memperhatikan keadaan Aini. "Air, tolong ambilkan saya air, Mus!""Baik, Bu, tunggu sebentar!" lelaki muda itu segera menuangkan air dalam gelas besar, lalu membawanya lagi pada Aini yang sedang mengusap peluh dengan tangannya. Keringat belum berhenti bercucuran di dahi dan kening wanita itu. Aini me
Pagi itu, udara dingin masih terasa menyelimuti kota Bandung. Sisa hujan semalam masih ada. Aroma air hujan yang bertemu tanah, aspal, menimbulkan aroma khasnya. Alex berdiri di depan gedung apartemen Dhuha, matanya menatap pintu masuk dengan keraguan. Dia tahu apa yang dilakukannya mungkin tak akan mudah, tapi ia sudah bulat untuk mencoba sekali lagi. Setelah menarik napas panjang, ia masuk ke dalam lobi dan menaiki lift menuju lantai tempat Aini tinggal.Ayo, Alex, kamu harus tahu Aini tidak bisa dipaksa. Semakin dipaksa, semakin jauh ia pergi. Langkahnya terasa berat ketika ia berdiri di depan pintu. Dia mengetuk perlahan, memastikan suara ketukannya tidak terlalu keras agar tidak menarik perhatian penghuni lain. Ia tahu Dhuha pasti sudah berangkat kerja, sesuai informasi yang ia dapatkan. Ketika pintu terbuka, wajah Aini muncul dari celah pintu. Wanita itu terlihat terkejut, matanya membelalak saat melihat siapa yang berdiri di depannya."Alex? Apa yang kamu lakukan di sini?" t
Suci berdiri mematung di depan tangga, menatap punggung Alex yang memeluk kedua anaknya. Izzam masih menggenggam erat tangan ayahnya, sementara Intan berlari kecil dari dapur untuk bergabung. Mereka tampak seperti sebuah keluarga yang hangat—tanpa dirinya."Papa..." Intan memanggil dengan suara manja sambil mengulurkan tangan kecilnya, meminta digendong. Alex merendah dan meraih tubuh mungil itu, membawanya ke pelukan. Bibirnya tersenyum tipis, meski kelelahan jelas terlukis di wajahnya."Maafkan kalau Papa sering lembur ya." "Iya, Pa, gak papa. Di rumah ada bibik sama tante."Suci mengalihkan pandangannya. Dadanya bergemuruh, marah bercampur sedih. Kata-kata Alex tadi masih menggema di benaknya. Tamu? Aku hanya tamu di rumah ini? Padahal aku yang menjaga anak-anak ini, aku yang memastikan semuanya berjalan seperti semestinya.Ia menggeretakkan gigi. Matanya basah, tapi ia menahan diri untuk tidak menangis di depan Alex. Ia menegakkan bahu, mencoba mempertahankan sisa-sisa martabat y
Langit Bandung sore itu kelabu, seperti hati yang sedang muram. Hujan turun rintik-rintik, membasahi dedaunan dan jalanan yang masih ramai kendaraan. Udara dingin merayap masuk ke dalam rumah mewah di kawasan Dago, tempat Suci duduk bersandar santai di sofa ruang keluarga. Suara televisi menyala pelan, menayangkan program komedi, tapi perhatiannya setengah saja tertuju ke layar. Di sebelahnya, dua anak kecil, Izzam dan Intan, duduk diam, menikmati cemilan sambil sesekali melirik televisi.Izzam, delapan tahun, mengenakan kaos biru dengan celana pendek. Wajahnya serius, mungkin karena ia tahu bahwa satu gerakan yang salah bisa memancing amarah Suci. Adiknya, Intan, hanya terpaku pada mainan di tangannya, tak banyak bicara.Ini pemandangan yang berbeda dari biasanya. Dua anak itu dulu kerap membuat rumah berantakan—berlarian ke sana kemari, bertengkar, atau berteriak memanggil papa mereka, Alex. Tapi, setelah ancaman serius dari Suci beberapa minggu lalu, semuanya berubah. "Kalau kalia
Dhuha berdiri di balkon apartemennya, pandangannya menembus pemandangan kota Bandung yang mulai dihiasi lampu-lampu malam. Angin dingin berembus lembut, membawa aroma hujan yang tersisa sejak sore tadi. Tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya. Melainkan bayangan seorang perempuan, dengan senyum lembut yang selalu berhasil membuat hatinya berdebar. Aini.Wanita yang dulunya ia tak sudi menyentuhnya, tapi sekarang, dia bisa mati jika berjauhan dengannya. Ada sebuah kalimat petuah bertuliskan, membencilah sewajarnya, karena suatu saat kalian bisa jadi sangat mencintainya. Kini ia tidak tahu kapan tepatnya jatuh cinta lagi kepada mantan istrinya itu. Mungkin sejak pertama kali Aini datang kembali ke kehidupannya, meminta bantuan untuk menyelesaikan perceraian dengan Alex. Atau mungkin sejak mereka mulai berbagi ruang lagi di apartemen ini, saat Dhuha melihat sisi rapuh Aini yang selama ini jarang ia perhatikan. Namun, situasi mereka jauh dari kata sederhana. Aini masih terikat dalam per
Pagi-pagi sekali, bik Emi sudah sampai di apartemen Dhuha dengan membawa bahan masakan. Semalam Dhuha mengirimkan pesan pada wanita itu agar bisa datang lebih pagi dan membawa bahan masakan. Wanita itu sudah sibuk di dapur, sambil terus melihat ke arah ruang tengah, dimana bosnya sedang tidur pulas. Mendengar suara sedikit berisik di dapur, Dhuha terbangun. "Oh, udah datang, Bik," sapanya. "Sudah, Pak. Bapak tidur di luar? Lagi ada tamu ya?" Dhuha mengangguk "Iya, ada mama dan saudara saya. Makanya kamu semalam saya suruh datang cepat untuk masak. Biar Aini gak usah masak.""Baik, Pak, saya masak kwetiau kuah seafood, nasi goreng, dan ada jus buah. Apa itu cukup, Pak?""Cukup, Bik. Lanjutkan saja pekerjaan kamu." Dhuha berjalan masuk ke kamar mandi yang berada di luar. Ia tidak mau menganggu tidur mamanya dan juga Monic. Suara gemericik air dari wastafel dan aroma tumisan bawang putih memenuhi dapur apartemen Dhuha. Bik Emi sibuk mengaduk wajan sambil memotong sayuran di sampingn
Tok! Tok! Anton menoleh ke arah pintu kamar yang diketuk dua kali. Siapa lagi kalau bukan Luna. Pria itu menekan layar ponselnya untuk melihat jam. Sudah jam dua belas malam. Di luar hujan dan saat ini baru saja mati lampu. "Anton." Pria itu menghela napas. "Kenapa?""Maaf, apa kamu punya lilin lagi? Lilin di kamar udah mau habis." Anton melirik lilin yang ada di lantai kamar yang juga tinggal kurang lebih lima senti saja. Pria itu akhirnya membuka pintu kamar. "Di dapur gak ada?" Luna menggelengkan kepala. "Ya sudah, tunggu sebentar." Anton berjalan ke dapur, sedangkan Luna masuk ke kamar yang dulu pernah ia tiduri selama empat tahun lamanya. Kamarnya masih sama, ranjangnya juga. Ia bisa melihat keadaan kamar itu dari temaram cahaya lilin. Lalu ia melihat ke arah dinding yang biasanya ada foto pernikahannya, tetapi kini sudah tidak ada. Foto pernikahan di mana posenya seperti singa yang hendak menerkam mangsa. Beda dengan Anton yang tersenyum. "Ngapain kamu di sini?" tanya Anto
"Jadi, lo berangkat malam ini ke Surabaya?" Dhuha mengaduk latte-nya dengan malas, matanya mengamati Hakim yang tampak sibuk memeriksa pesan di ponselnya. Kedua sepupu itu ketemu di sebuah kafe dekat dengan kantor Hakim. "Iya, gue udah pesen tiket tadi pagi," jawab Hakim tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. "Resepsi pernikahannya Kinanti kan besok pagi. Gue nggak mungkin datang telat. Mama, papa, sama Amel udah di sana dari jumat karena menyaksikan aksi nikah. Lo beneran gak datang?" "Kayaknya bakal rame, ya. Semua keluarga ngumpul," Dhuha menyesap minumannya."Iya, kalau lagi ada momen nikahan, emang selalu kumpul kan. Mami Maria juga gak datang kayaknya karena masih belum pulih ya?" tanya Hakim. Dhuha pun mengangguk. Ia yang melarang mamanya terbang ke Surabaya karena kondisi kesehatan. "Gue udah transfer langsung ke Kinanti. Dari gue sama mama. Mungkin kalau mama udah enakan, baru ke sana." Hakim pun mengangguk mafhum. "By the way, gimana kabar Amel? Udah lama gue n
“Amel, kamu yakin nggak mau mencoba mengenal Levi lebih jauh?” suara Viona terdengar lembut, tapi tetap mendesak.Amel menatap ibunya dengan alis bertaut. Ia baru saja turun ke ruang makan untuk sarapan, tapi Viona sudah memulai lagi topik yang sama. “Ma, aku sudah bilang, aku masih sama Anton. Aku nggak tertarik untuk mengenal siapa pun lagi. Mama tahu kan, aku perempuan yang jarang sekali pacaran dan baru kali ini aku senang sama lelaki dewasa yang bertanggung jawab."Viona menghela napas panjang, menahan diri agar tidak meledak. Fahri yang duduk di sebelahnya ikut menimpali. “Amel, kami hanya ingin yang terbaik buat kamu. Anton itu... ya, kamu tahu sendiri, dia punya banyak masalah. Dia duda dengan satu anak. Kami nggak yakin dia bisa membuatmu bahagia. Apalagi dia duda bercerai, bukan ditinggal meninggal istrinya. Mama dan papa harap, kamu mau memikirkan perkenalan dengan Levi. Just friends, girl!"“Papa, Mama, aku tahu kalian nggak setuju sama hubungan kami,” jawab Amel, suaranya
“Mas, Luna masih di sana?” suara Amel terdengar di ujung telepon, nadanya penuh kehati-hatian namun sarat kecurigaan.Anton menghela napas panjang sebelum menjawab, “Iya, Sayang. Luna masih di sini. Tapi, percayalah, dia cuma di sini sampai urusan perceraian kami selesai.”“Tapi kenapa dia harus tinggal di rumahmu? Bukankah itu bisa diselesaikan tanpa harus tinggal bersama?” suara Amel sedikit bergetar. “Aku ini cemburu, Mas. Aku nggak bisa bohong soal itu. Aku takut kalau kalian berdua jadi rujuk. Apalagi, aku harus di Surabaya sampai tiga hari. Ck, ingin banget aku buru-buru pulang, tapi gak bisa. Acara nikahan sodaraku rumit."“Amel, dengarkan aku.” Anton menekankan suaranya, mencoba meyakinkan Amel. “Aku dan Luna sudah selesai. Tidak ada lagi apa-apa di antara kami selain tanggung jawab sebagai orang tua untuk Aris. Dia hanya di sini demi anak kami. Aku mohon, percayalah padaku. Kamu masih gak percaya sama aku?"Namun, jawaban itu tidak sepenuhnya membuat hati Amel tenang. Ia ter