Enak, beneran enak," kata Viona jujur. "Ya, kan, Mbak Mar?" tanya Viona sengaja. Maria hanya tersenyum saja karena menghargai Asma. Semua makan dengan lahap, kecuali ibu dari Dhuha. Wanita itu tidak bisa menelan nasi di dalam mulutnya. Ia bahkan sudah menghabiskan dua gelas jus jeruk, tetapi nasi dan menu lainnya tak bisa ia telan dengan baik. "Permisi!" Aini masuk kembali, lalu berbisik pada bu Asma. "Ma, Aini ada urusan. Jadi gak bisa nemenin sampai selesai ya." "Mau ke mana?" "Ke Jakarta, Ma. Teman Aini yang namanya Anton sakit." Bu Asma langsung mengingat nama pria yang sering disebut Aini maupun cucunya. "Oh, ya? Oke, salam dari Mama ya. Jangan lupa kamu belikan oleh-oleh khas di sini untuk Anton. Anak-anak biar sama Mama. Dari sini, Mama akan jemput anak-anak." Aini mengangguk sambil tersenyum. "Makasih, Ma." "Om, Tante, saya ijin tidak menemani sampai selesai ya. Masih ada pekerjaan lain. Silakan dinikmati hidangannya. Jika kurang, panggil saja pelayan say
"Kalian berdua ini, bisa tidak, jangan berdebat di dalam mobil? Kita masih di tol. Ada anak kecil yang harus kita urus dahulu. Kalian berdua jangan egois. Benar-benar pernikahan bikin aku takut. Kalau gak ada yang mau ngalah, ya udah gak ada lagi namanya suami istri di bumi ini, tapi janda dan duda! Dua-duanya egois dan gak mau ngalah!" Teguran Hakim membuat Dhuha dan Aini terdiam, tetapi membuat Aris terbangun. "Ada apa, Om?" tanya Aris. "Kita sudah sampe Jakalta?" tanya anak itu lagi sambil menguap lebar. Ia masih mengantuk, tetapi suara perdebatan di dalam mobil membuatnya terbangun. "Belum, masih satu jam lagi sampai ketemu ayah Anton. Sabar ya. Aris mau makan? Ini ada roti dan minuman." Dhuha mengeluarkan bekal snack yang tadi sempat ia beli di rest area. Aris mengangguk "Mau minum, Om." Dhuha membukakan tutup botol minuman untuk Aris. Anak kecil itu meneguknya dengan cepat. Ia benar-benar haus. "Ada yang beltengkal ya? Alis denger. Sama kayak ibu di lumah, tapi bapak gak ga
"Apa kabar Aini?" wanita bernama bu Nikmah itu memeluk Aini dengan erat, di luar kamar perawatan Anton. Bu Nikmah menangis sedih karena mengingat Aini dan nasib keponakannya saat ini. "Makasih udah bawa Aris kembali, Ai." "Bukan saya, Bu, tapi Dhuha dan Hakim. Mereka berdua yang menemukan Aris di lampu merah." Suara Aini pun bergetar. Wanita itu sembari menoleh ke kiri, tempat di mana Dhuha dan Hakim tengah duduk. "Kalian sama-sama orang baik." Bu Nikmah menyentuh pipi Aini, lalu berjalan menuju Dhuha dan Hakim yang berdiri cepat saat melihat Aini dan saudara dari Anton ingin menghampiri mereka. "Yang mana namanya Dhuha?" tanya bu Nikmah. "Saya, Bu." Dhuha mengulurkan tangannya sambil tersenyum. "Oh, berarti kamu Hakim." Pandangan bu Nikmah kini beralih pada Hakim. Hakim mengangguk juga sambil mengulurkan tangannya. "Terima kasih ya, kalian udah bawa Aris kembali ke Jakarta. Anton jika sudah sembuh, pasti sangat berterima kasih pada kalian.""Sama-sama Bu. Semoga Anton lekas se
"Ada apa ini? Eh, I-ibu." Luna melotot saat mengenali suara wanita yang berteriak-teriak di rumahnya. "Heh, kamu ini istri yang gak tahu diri ya? Suami sakit, gak pernah sekali pun kamu ke sana!" Bu Ami berkacak pinggang. "Sabar, Bu, kita bisa bicara baik-baik!" Ujar bu Mira, menenangkan besannya. "Mana bisa saya sabar melihat menantu gak tahu diuntung seperti anak kamu ini. Udah bikin anak hilang, jadi pengamen. Suami sakit gak peduli, masih ngambil ATM anakku lagi. Kembalikan! Kembalikan!" Luna menelan ludah. "Tidak, Bu, itu adalah hak Luna.""Itu hak istri dan kamu bukan istri, kamu itu nyonya. Gak pernah masak, gak nyapu, gak setrika, semua dibawa ke laundry. Kamu makan, anak kamu gak kamu kasih makan. Ibu macam apa kamu?!" Kali ini bu Mira yang terkejut mendengar ucapan besannya. Bahkan warga yang saat ini sudah berkumpul di depan rumah wanita itu, menjadi tahu semuanya. Karena bu Mira tidak pernah tahu bagaimana kehidupan Luna dengan cucunya karena Luna tidak pernah bercerit
"Halo, Dhu, lo udah sampe Bandung?""Iya, udah. Kenapa, Kim?""Lo sekarang di mana?" "Di apartemen. Kenapa?""Ada nyokap lo nginep di rumah kakek yang di Margahayu. Lo bilang gak, kalau udah pulang ke Indo?""Nggak, nanti aja. Gue gak mau bertemu mama kalau yang diperdebatkan masalah Aini terus. Tapi dalam beberapa hari ini, gue bakalan balik ke Jakarta.""Oh, gitu, iya, gimana juga Mami Maria, ibu yang udah lahirin lo, Dhu. Lo jangan makin membangkang. Pendekatan lo sama mami harus benar-benar lembut biar lo bisa diterima kalau kembali sama Aini.""Gue juga mikirnya gitu, cuma untuk sekarang belom ada niat. Tiga harian lagi mungkin dan kayaknya gue mau menetap di sini saja. Gue mau kerja di sini sambil liat-liatin Aini dari jauh.""Lo gak mau balik ke perusahaan?""Nggak untuk sekarang. Lo bantu urus dulu dah. Katanya Fani mau balik dari Kanada. Lo gak jemput?""Nggak, besok mama yang jemput Fani. Lagian adek gue itu mandiri. Ketemu gue yang ada ribut mulu." "Lu enak ada sodara bia
"Nenek, Bapak sakit ya? Kapan Bapak sembuh?" tanya Aris pada neneknya; ibu dari Anton. Wanita itu dan suaminya tinggal di rumah yang pernah dikontrak Aini untuk sementara waktu, sampai Anton benar-benar pulih. Lagian, Aris adalah cucu lelaki pertama mereka, sedangkan adik dari Anton anaknya perempuan tiga orang. "Doakan bapak lekas sembuh ya. Aris tinggal sama nenek dan mbah kung dulu sampai bapak sembuh." Aris mengangguk paham. Anak kecil itu kembali menyeruput susu kotak yang baru dibelikan neneknya. "Ibu ke mana?" tanya Aris lagi. Bu Ami dan suaminya saling pandang. "Ibu lagi pergi, gak tahu ke mana. Kata ibu, Aris sama Mbahkung dan nenek saja dulu.""Iya, makasih ya Nek. Alis mau sama nenek saja. Kalau sama ibu nanti Alis dimalahin. Sama gak dimasakin. Alis juga gak papa kalau di kampung.""Tapi nanti bapak gak ada temennya kalau Aris ikut Nenek di kampung.""Ya sudah, di sini saja sama bapak deh." Aris pun berjalan masuk ke kamar untuk mengambil mainan. Bu Ami menghela napas.
Amel mendengar suara di luar yang memanggilnya, langsung membuka pintu. Ia baru saja mengganti pakaian, menjadi lebih santai. Setelan piyama bergaris berwarna marun. "Ada apa, Pak?" tanya Amel. "Di depan Ada tamu, Bapak minta tolong, apapun yang Bapak dan ibu katakan, Nak Amel cukup jawab iya. Apapun itu, jawab iya!" Amel mengangguk kaku. "Ayo, Nak, orangnya ada di depan!" Amel pun mengikuti langkah pak Mul. Menyadari kedatangan Amel, bu Ami langsung tersenyum dan menyambut Amel dengan pelukan, tapi tidak dengan wajah kaku Luna. Kakinya bahkan tidak bisa digerakkan karena sebuah kejutan yang tidak disangka-sangka. "Oh, iya, Nak Amel, kenalkan ini Luna. Luna, ini Amel, istri kedua Anton. Ya, kan, Amel?" Amel menatap suami istri itu bergantian, lalu mengangguk. "Bohong, gak mungkin Anton nikah lagi. Dia sibuk mulung sampah di sini. Pasti gak ada wanita yang mau nikah sama dia, kecuali aku!" "Mungkin saja karena poligami diperbolehkan. Ada masalah?" Pak Mul tersenyum dari balik tu
Aini sebenarnya malas pergi ke restoran karena ia ingin menghindari Alex, tetapi karena salah satu karyawan kepercayaaannya resign tiba-tiba, tentu saja di restoran tidak punya pasukan lain. Hingga ia pun harus turun tangan. Anak-anak masih menginap di rumah bu Asma. Wanita itu yang meminta karena ia rindu cucunya. Anak-anak pun sudah terbiasa dengan bu Asma dan Alex, serta beberapa orang keluarga Alex lainnya. Pagi ini, Aini makan tanpa semangat karena rumah sepi tanpa anak-anak. "Makanannya gak dihabiskan, Bu?" tanya bibik. "Nggak, Bi, lagi gak selera makan. Saya mau ke restoran ya.""Baik, Bu. Anak-anak hari ini pulang dari rumah omanya?" tanya bibik lagi. "Saya belum tahu, mungkin saja. Tapi pulang sekolah. Saya juga udah kabari jemputan sekolah untuk tidak perlu menjemput Izzam dan Intan. Ya sudah, saya naik ya, Bik. Mau siap-siap dulu." Aini pun naik ke kamarnya untuk berganti pakaian. Tadi subuh ia sudah mandi dan sempat berolahraga sebentar sebelum mandi. Begitu tiba di
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang
Alex menatap Zita dalam-dalam. Wanita itu terlihat tenang, tidak terpengaruh dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan. Ia menghela napas panjang, merasa sedikit lega bahwa setidaknya ada seseorang yang akan menjaga anak-anaknya di rumah."Baiklah, kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu," ucap Alex sebelum melangkah pergi. Namun, sebelum ia benar-benar keluar dari kamar Izzam, ia menambahkan, "Kalau ada masalah atau sesuatu yang mencurigakan, segera beri tahu saya. Jangan sungkan untuk bertanya apapun itu tentang anak-anak dan semoga kamu pandai menempatkan diri sebagai baby sitter Intan dan Izzam."Zita mengangguk patuh. "Tentu, Pak. Pesan Bapak akan saya ingat."Alex berjalan menuju ruang kerjanya, menutup pintu, lalu melemparkan dirinya ke sofa. Pikirannya masih dipenuhi oleh pembicaraannya dengan Rio di kafe tadi. Ia mengeluarkan dokumen tes DNA yang diberikan oleh Rio, menatapnya dalam diam.Bagaimana bisa? Bagaimana Diana bisa melakukan ini? Selama ini, ia selalu berpikir bahwa
Alex mengeratkan genggaman pada ponselnya, napasnya memburu. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan telepon dari seseorang yang mengaku sebagai kakak almarhum Erwin. Lebih dari itu, apa yang dikatakan pria bernama Rio barusan benar-benar membuatnya terpukul. Erwin sudah lama meninggal, begitu juga kakaknya dan ia sama sekali tidak tahu tentang Rio. "Dimana kita bisa bertemu?" tanya Alex cepat."Saya di kafe Sudut Senja. Saya tunggu Anda di sini," jawab Rio dengan suara datar."Izzam kembali ke kelas. Kita bicara nanti malam, setelah Papa pulang dari kantor. Tolong, jangan buat keributan lagi, paham!" Izzam mengangguk pelan. Tanpa berpikir panjang, Alex kembali masuk ke mobilnya dan melaju ke arah kafe yang disebutkan Rio. Pikirannya masih kalut. Bagaimana mungkin? Kenapa selama ini dia tidak tahu? BSaat tiba di kafe, Alex segera masuk dan melihat seorang pria yang langsung ia kenali lewat ciri-ciri yang dikirimkan sebagai Rio. Pria itu duduk di sudut ruangan dengan secangkir ko
“Alex, kamu lihat ini!” suara Asma meninggi, tangannya gemetar memegang ponselnya.Alex, yang baru saja selesai mandi dan hendak turun untuk sarapan, mengerutkan kening. “Apa, Ma?” tanyanya, sambil berjalan mendekati ibunya yang duduk di ruang tamu.Asma mengangkat ponselnya, memperlihatkan layar yang menampilkan sebuah foto dari status WhatsApp temannya. Sebuah foto pernikahan. Aini, mantan istrinya, bersanding dengan pria lain di pelaminan. Namun yang membuat darah Alex mendidih adalah sosok pria itu—Dhuha.“Ini… ini nggak mungkin,” Alex meraih ponsel Asma dan menatap layar lebih lama. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. Berkali-kali ia memperbesar gambar agar bisa melihat dengan jelas dan benar saja, Aini bersanding dengan Dhuha. “Baru saja dia menerima akte cerai dan sekarang sudah menikah lagi?” suara Asma dipenuhi kejijikan. “Perempuan macam apa dia? Tak tahu malu! Mana mungkin secepat itu menikah lagi? Ini benar-benar keterlaluan! Jangan-jangan saat Aini masih istri kamu,
Hujan gerimis menyelimuti pagi yang sejuk. Rintik-rintik air turun dengan lembut, membasahi dedaunan dan jalanan di sekitar gedung pernikahan. Udara terasa segar dengan aroma tanah basah yang khas. Hari ini adalah hari yang istimewa. Hari di mana Dhuha dan Aini akhirnya kembali dipersatukan dalam ikatan suci, kali ini tidak hanya secara agama tetapi juga diakui oleh negara.Kini, mereka kembali, dengan hati yang lebih dewasa dan luka yang perlahan sembuh oleh waktu. Aini tampak anggun dalam balutan kebaya putih sederhana yang memperlihatkan kelembutan dirinya. Sementara Dhuha, dengan jas abu-abu yang pas di tubuhnya, tampak gagah namun tak bisa menyembunyikan gugupnya."Terima kasih Mama udah mau mendampingi Dhuha di sini." Maria hanya tersenyum samar. Pria itu tahu, mamanya belum sepenuhnya ikhlas, tetapi mau tidak mau, harus hadir dalam acara pernikahannya. Tamu undangan sudah mulai berdatangan. Kebanyakan dari pihak Dhuha, karena Aini hanyalah seorang anak panti yang tidak punya b