"Aku Hakim, bukan Dhuha, Mbak. Astaghfirullah, kamu hampir saja celaka." Aku tersentak. "H-hakim, t-tapi... ini saya gerah! Mas Hakim, t-tolong saya!""Iya, sebentar.""Kita mau kemana? Saya sudah gak tahan, gerah tolong!" Aku tidak tahu harus melakukan apa karena tubuhku gelisah. Aku belum pernah seperti ini sebelumnya. Ini benar-benar tersiksa. Aku haus, aku gerah, dan tidak tahu bagaimana melukiskannya. Kepalaku juga pusing. Tubuhku seolah-olah ingin disentuh. Kenapa ini? Apa aku alergi makanan yang tadi aku makan. "Kita ke sini, Mbak Aini masuk ke dalam kamar mandi. Guyur dengan air dingin yang lama! Tolong, saya akan segera panggil dokter. Mbak Aini tolong bantu saya. Mbak Aini baru saja minum obat perang sang dan itu bisa berakibat fatal jika bertemu dengan lelaki hidung belang. Masuk, Mbak! Cepat!" Hakim mendorong tubuhku masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar hotel. Tanganku gemetar menggeser kran air ke arah kanan yang bertanda biru. "Assh!" Aku mendesis, tapi juga i
"Alhamdulillah, sudah sadar juga Mbak Putri kita," ucap Hakim diikuti senyuman yang melebar di wajahnya. Aku membuang muka. Jelas saja malu bertemh Dhuha dan Hakim disaat aku bangun tidur seperti ini. Sudah pasti rambutku seperti singa dan air liur ku mengering di pinggir bibir ini. Ish! Pertemuan empat tahun yang sangat tidak perlu untuk diingat. "Kalian berdua dari tadi di kamar ini melihat aku tidur?" tanyaku kesal, tanpa mau melihat keduanya. "Iya." Mereka menjawab serentak. "Kenapa?""Gak papa." Keduanya lagi-lagi menjawab serentak. "Terus sekarang aku udah bangun, kenapa masih di situ? Keluar sana!" Kataku lagi. Aku segera menarik selimut hanya untuk mengendurkan rasa grogi ku saja. "Lo keluar, Kim. Gue mau.... ""Kamu juga keluar! Kalian berdua keluar! Kenapa malah liat-liatan? Gak denger kupingnya?" "Dengar!""Ya udah, sana!" Aku pun bergerak turun dari ranjang, tapi kakiku tidak hati-hati sehingga... Hap! "Hampir nyium lantai'kan kepalanya! Hati-hati, Ai!""Lepas, bu
"Kenapa sih, hobi banget jadi janda? Biar dapat berondong, iya? Berondong kayak Alex yang hampir ambil kesempatan atas diri kamu yang dikuasai obat? Untung ada Hakim datang, coba kalau aku, bisa sama aku kan! Bukan malah diguyur air dingin. Kamu gak sakit, Ai? Gak masuk angin kena guyur air shower lama banget?" "Udah selesai ngomongnya?! Sekarang keluar!""Gak mau! Mau di sini saja. Kenapa sih, lagian kita masih suami istri?"Itu-itu terus alasan pria ini bila aku usir. "Aku lapar, aku mau pulang. Izzam dan Intan pasti cariin aku, Dhuha. Aku mau pulang." Suaraku yang setengah memohon membuat pria itu tertawa pelan. "Sama suami gak boleh panggil nama, dosa!" Katanya santai. "Panggil, Mas Dhuha kayak sebelumnya atau panggil sayang juga boleh," tambahnya lagi. "Bodo amat! Saya gak punya suami, titik!" Balasku tidak mau kalah. "Terus saya apa? Ini suaminya Ibu Aini, S.E." Aku berhasil menjauh dari Dhuha. Jika kami terus saja berasa dalam satu ruangan yang sama, maka kami akan berten
"Gimana?" Hakim menghampiri Dhuha di apartemen yang pria itu sewa untuk beberapa hari ke depan. "Baru aja nganter Aini. Masih begitu. Dia kayaknya gak mudah maafin gue," jawab Dhuha tanpa semangat. "Ya, wajar, Dhu. Lu tiba-tiba nongol disaat dia mau nikah," balas Hakim. "Ya, karena lu yang ngabarin gue. Mungkin kalau lu gak ngabarin gue, maka selamanya emang gue anggap Aini itu udah nikah." Dhuha memberikan satu cangkir kopi susu pada sepupunya itu. Hakim menerimanya, menyesapnya pelan-pelan karena masih sangat panas. "Tapi lu seneng kan, ternyata Aini belum jadi istri orang? Secara agama, lo masih suami Aini. Mending lo jumpai Alex. Gue mau nemenin. Gue di sini sampa lusa. Ada kerjaan juga emang." "Benar juga ide lu. Mending gue aja Alex ketemu ya.""Gak usah ditelepon, langsung samperin aja ke kantornya. Kalau lo ajak ketemu, belum tentu mau!" Dhuha berpikir sejenak. Pria itu menyesap kopinya perlahan. "Bener sih, mending kita samperin aja ke sana. Tunggu ya, gue mandi dulu."
"Hei, mau ke mana lo?!" Hakim dan Dhuha berhenti melangkah. Aris mengeratkan pelukan pada Dhuha dengan wajah yang ia sembunyikan di bahu pria itu. "Anak saya mau dibawa ke mana? Mau nyulik lo ya? Sini!" Pria berperawakan kurus tinggi itu hendak mengambil Aris dari gendongan Dhuha, tetapi tidak mudah. Dhuha menahan tubuhnya dan Hakim pun turut menepis tangan pria yang berpenampilan seperti pengamen itu. "Ini anak gue, lo yang nyulik, bang zat!" Sebelah tangan Dhuha menarik baju pria itu dengan kuat. "Sini, lo, ikut gue ke kantor polisi. Ikut gue ke rumah sakit, biar tahu lo adalah penculik sebenarnya! Ikut!""Lepas!" Pria itu berhasil lepas dan berlari sekencang mungkin meninggalkan Dhuha dan Hakim yang kini menjadi pusat perhatian orang banyak. Aris menangis sesegukan karena takut. "Maaf, Pak, Bu, ini anak saya. Pria tadi yang menculiknya. Saya akan bawa ke rumah sakit. Bapak Ibu ada yang mau ikut saya untuk memastikan ucapan saya tidak bohong!" Ajakan Dhuha tentu saja membuat ora
Dhuha akhirnya membawa Aris ke apartemen yang sudah ia sewa. Anak kecil itu mandi dengan bersih karena sengaja dimandikan oleh Dhuha. Setelah mandi, Aris pun makan nasi dengan lahap. Begitu kenyang, anak umur empat tahun itu tertidur. Wajahnya sangat lelah . Dhuha memperhatikan Aris yang terlelap, hingga sesekali anak kecil itu sesegukan. "Udah tidur?" tanya Hakim setengah berbisik. Dhuha mengangguk. Lalu Dhuha keluar dari kamarnya bersama Hakim. "Lu kabari Aini. Minta Aini hubungi Anton. Aini pasti pegang nomor teman baiknya itu. Aris malam ini sampai besok, biarkan dahulu di sini. Kita gak tahu keadaan di Jakarta sana seperti apa. Kehidupan berat apa yang dijalani Aris saat bersama Luna," ujar Dhuha sedih. "Gue percaya ucapan Aris. Anak kecil gak mungkin bicara omong kosong," komentar Hakim. "Iya, makanya lo telepon Aini atau lo datang ke rumahnya sekalian cari tahu kabarnya. Telepon gue soalnya udah di blokir. Kalau gue yang datang, gue gak bakalan dibukain pintu. Kalau, lu, mu
"Lex, kamu mau pulang jam berapa? Ini sudah sore. Kita mau ke rumah Aini.""Alex ada lemburan, Ma. Besok saja kita ke sana. Alex udah mastiin keadaan Aini. Aink baik-baik saja. Cuma lagi healing katanya lagi gak pengen diganggu.""Masa, sih? Bukannya Aini yang minta kita berdua ke rumahnya?""Iya, Ma, tapi masih bisa besok. Alex ada lemburan. Besok siang kita ke sana, oke?" Bu Asma tidak punya pilihan lain, selain setuju dengan ucapan putranya. Sebenarnya ia sangat penasaran dengan apa yang akan disampaikan Aini, tetapi ia harus bersabar sampai besok. Bu Asma pun mengetik pesan untuk Aini yang mengabarkan bahwa ia dan Alex tidak bisa berkunjung malam ini karena putranya itu lembur. Namun, pesan yang ia kirimkan hanya ceklis satu saja. Apa aku sendirian saja ke sana? Tapi kata Aini, dia minta aku dan Alex. Duh, ada apa sih, benar-benar penasaran jadinya. Batin bu Asma. Kring! Kring! Ponselnya pun berdering. Muncul nama salah satu temannya di layar ponsel. "Halo, iya, Mbak.""Halo,
"Makasih udah selamatin Aris." Aini tersenyum tipis. Wanita itu merapikan selimut Aris yang tersingkap. "Aris pernah aku anggap anakku, Ai, sebelum tes DNA." Aini tertawa. "Ya, hanya bayiku saja yang tak pernah dianggap anak." Dhuha merasa sudah mengucapkan kalimat yang salah. Keinginan untuk rujuk dengan Aini tidak mudah. Ada banyak hal yang sangat menyinggung wanita itu baik sebagai istri, maupun ibu. Dhuha berjalan masuk dan duduk di dekat Aini. "Tidak seperti itu maksudnya, Ai. Kamu selalu saja salah paham denganku. Aku minta maaf jika ucapanku menyinggung kamu, tapi aku gak bermaksud. Aku suka anak-anak Ai. Sebagaimana aku dekat dengan Izzam dan Intan." Aini membuang pandangannya. Ia lekas berdiri dan keluar dari kamar Dhuha. Sudah ada Hakim yang menunggu di kursi tamu. "Bagaimana, Mbak?" tanya Hakim. "Besok akan kita bawa ke Jakarta. Aris harus segera dipertemukan dengan Anton." "Mbak Aini ikut nganter?" Aini mengangguk. "Apa gak papa anak-anak ditinggal ke Jakarta?" "Bi
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang
Alex menatap Zita dalam-dalam. Wanita itu terlihat tenang, tidak terpengaruh dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan. Ia menghela napas panjang, merasa sedikit lega bahwa setidaknya ada seseorang yang akan menjaga anak-anaknya di rumah."Baiklah, kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu," ucap Alex sebelum melangkah pergi. Namun, sebelum ia benar-benar keluar dari kamar Izzam, ia menambahkan, "Kalau ada masalah atau sesuatu yang mencurigakan, segera beri tahu saya. Jangan sungkan untuk bertanya apapun itu tentang anak-anak dan semoga kamu pandai menempatkan diri sebagai baby sitter Intan dan Izzam."Zita mengangguk patuh. "Tentu, Pak. Pesan Bapak akan saya ingat."Alex berjalan menuju ruang kerjanya, menutup pintu, lalu melemparkan dirinya ke sofa. Pikirannya masih dipenuhi oleh pembicaraannya dengan Rio di kafe tadi. Ia mengeluarkan dokumen tes DNA yang diberikan oleh Rio, menatapnya dalam diam.Bagaimana bisa? Bagaimana Diana bisa melakukan ini? Selama ini, ia selalu berpikir bahwa
Alex mengeratkan genggaman pada ponselnya, napasnya memburu. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan telepon dari seseorang yang mengaku sebagai kakak almarhum Erwin. Lebih dari itu, apa yang dikatakan pria bernama Rio barusan benar-benar membuatnya terpukul. Erwin sudah lama meninggal, begitu juga kakaknya dan ia sama sekali tidak tahu tentang Rio. "Dimana kita bisa bertemu?" tanya Alex cepat."Saya di kafe Sudut Senja. Saya tunggu Anda di sini," jawab Rio dengan suara datar."Izzam kembali ke kelas. Kita bicara nanti malam, setelah Papa pulang dari kantor. Tolong, jangan buat keributan lagi, paham!" Izzam mengangguk pelan. Tanpa berpikir panjang, Alex kembali masuk ke mobilnya dan melaju ke arah kafe yang disebutkan Rio. Pikirannya masih kalut. Bagaimana mungkin? Kenapa selama ini dia tidak tahu? BSaat tiba di kafe, Alex segera masuk dan melihat seorang pria yang langsung ia kenali lewat ciri-ciri yang dikirimkan sebagai Rio. Pria itu duduk di sudut ruangan dengan secangkir ko
“Alex, kamu lihat ini!” suara Asma meninggi, tangannya gemetar memegang ponselnya.Alex, yang baru saja selesai mandi dan hendak turun untuk sarapan, mengerutkan kening. “Apa, Ma?” tanyanya, sambil berjalan mendekati ibunya yang duduk di ruang tamu.Asma mengangkat ponselnya, memperlihatkan layar yang menampilkan sebuah foto dari status WhatsApp temannya. Sebuah foto pernikahan. Aini, mantan istrinya, bersanding dengan pria lain di pelaminan. Namun yang membuat darah Alex mendidih adalah sosok pria itu—Dhuha.“Ini… ini nggak mungkin,” Alex meraih ponsel Asma dan menatap layar lebih lama. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. Berkali-kali ia memperbesar gambar agar bisa melihat dengan jelas dan benar saja, Aini bersanding dengan Dhuha. “Baru saja dia menerima akte cerai dan sekarang sudah menikah lagi?” suara Asma dipenuhi kejijikan. “Perempuan macam apa dia? Tak tahu malu! Mana mungkin secepat itu menikah lagi? Ini benar-benar keterlaluan! Jangan-jangan saat Aini masih istri kamu,
Hujan gerimis menyelimuti pagi yang sejuk. Rintik-rintik air turun dengan lembut, membasahi dedaunan dan jalanan di sekitar gedung pernikahan. Udara terasa segar dengan aroma tanah basah yang khas. Hari ini adalah hari yang istimewa. Hari di mana Dhuha dan Aini akhirnya kembali dipersatukan dalam ikatan suci, kali ini tidak hanya secara agama tetapi juga diakui oleh negara.Kini, mereka kembali, dengan hati yang lebih dewasa dan luka yang perlahan sembuh oleh waktu. Aini tampak anggun dalam balutan kebaya putih sederhana yang memperlihatkan kelembutan dirinya. Sementara Dhuha, dengan jas abu-abu yang pas di tubuhnya, tampak gagah namun tak bisa menyembunyikan gugupnya."Terima kasih Mama udah mau mendampingi Dhuha di sini." Maria hanya tersenyum samar. Pria itu tahu, mamanya belum sepenuhnya ikhlas, tetapi mau tidak mau, harus hadir dalam acara pernikahannya. Tamu undangan sudah mulai berdatangan. Kebanyakan dari pihak Dhuha, karena Aini hanyalah seorang anak panti yang tidak punya b