Seketika, Adrian tersentak. Tangannya terkepal erat, amarah berkobar di matanya. "Kalau benar ini ulahnya, dia benar-benar keterlaluan! Kalau aku bertemu dengannya sekali lagi, aku akan membuat perhitungan dengannya!" geramnya."Mas, jangan berbuat yang aneh-aneh," Anisa memperingatkan, suaranya penuh kekhawatiran. "Dia itu punya uang dan kekuasaan. Aku tidak mau Mas kenapa-kenapa. Kalau itu terjadi, bagaimana dengan aku dan anak-anak kita?"Mendengar itu, amarah Adrian perlahan surut. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Iya, kamu benar, Nis. Maafkan aku. Aku hanya terbawa emosi."Setelah hening sejenak, Adrian bertanya, "Oh ya, Nis, besok kamu kerja pagi apa siang?""Besok aku kerja siang, Mas. Memang kenapa?" Anisa balik bertanya."Kebetulan kalau begitu," ujar Adrian, secercah harapan muncul di matanya. "Jadi paginya aku punya waktu mencari pekerjaan."Anisa tersenyum lembut, tangannya menggenggam tangan Adrian erat. "Iya, Mas. Kamu semangat ya. Aku dan anak-anak selalu
Baca selengkapnya