Semua Bab Luka Perselingkuhan: Bab 21 - Bab 30

40 Bab

Bara Dendam

Fatma berjalan tak tentu arah. Dia hanya mengikuti ke mana kaki membawanya pergi. Pandangan perempuan itu kosong ke depan dengan mata sembab. Kata-kata yang diucapkan Buk Ratih seolah-olah mer0bek jantungnya tanpa ampun. Apalagi kedatangan Iman, membuat semua kacau-balau. Dia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan putrinya andai tabir masa lalu terbuka.Langkah Fatma berhenti di sebuah taman. Kakinya tak mampu lagi melangkah. Bukan bobot tubuh yang berat, tetapi pikiran kalut membuat semuanya menjadi tak berdaya. Di bangku besi di bawah naungan pohon lansano perempuan itu duduk termenung. Kenapa takdir begitu kejam pada putrinya? Apakah kesalahan yang dilakukan kedua orang tua harus anak yang menebusnya? Inikah hukum tabur-tuai yang dimuntahkan oleh Laila? Mau tidak mau kenangan silam menyapa benaknya.Laila ... wajah perempuan malang itu melintas di ruang mata Fatma. Dia ingat kedatangan si perempuan ke hotel tempatnya menginap saat menemani sang suami mencari dagangan di Kota Pada
Baca selengkapnya

Rencana

Iman merasa dunia jatuh tepat di hadapan, saat mendengar sang nenek berkisah. Lelaki itu terpaku duduk di atas kursi dengan kedua tangan terkepal. Ada yang berderak patah di dadanya. Sakit, tetapi tak berdarah. Ada gemuruh yang menggulungnya dalam amarah. Namun, amarah itu surut berganti dengan denyut pilu saat wajah Farida melintas di ruang mata. Bagaimana bisa, perempuan yang bertahta di hati adalah adik tirinya sendiri?Detik itu juga Iman mengutuk rasa yang terpatri di relung paling palung. Semua impian yang dia bangun dengan segenap cinta runtuh seketika. Seperti tsunami yang meluluhlantakkan apa saja yang dihantamnya. "Mungkin mereka belum menceritakan hal ini pada Farida. Tentu saja, mana mungkin kedua orang itu membuka aib sendiri." Suara Buk Ratih memecah kebisuan yang membekukan suasana di sekitar cucu dan nenek itu.Iman tak merespon. Sebenarnya dia tak tahu harus bagaimana. Lelaki itu masih berharap semua mimpi. Namun, suara neneknya membuat Iman harus mengemasi sisa cint
Baca selengkapnya

Fakta yang Menghancurkan

Waktu seminggu terasa sangat lambat bagi Farida. Tak ada lagi tawa, canda menghiasi hari-harinya. Hubungan bak musim semi, tiba-tiba beku begitu saja, seperti musim salju yang datang sebelum waktunya. Semua pesan yang dia kirim hanya dijawab seperlunya oleh Iman, itu pun setelah berjam-jam. Bukan kebiasaan si lelaki membiarkan dia menunggu. Dulu, lebih sering lelaki tersebut mengabari.Berkali-kali Farida menilas, apa yang salah dalam hubungan mereka. Berkali-kali memikirkan, tak ada yang aneh. Bahkan, pertemuan Iman dengan keluarganya berakhir hangat. Lalu apa yang membuat lelaki itu beku dan membentangkan jarak darinya? Ingin rasanya dia ke Padang, mencari tahu langsung. Sesak rasanya hanya menunggu tanpa pernah diberi jawaban.Seperti hari ini, keinginan Farida menyusul Iman ke Padang menggebu-gebu. Setelah melihat postingan si lelaki yang berfoto dengan seorang perempuan yang akhir-akhir ini sering berbalas komentar dengannya. Mereka bahkan saling men-tag akun masing-masing. Dan y
Baca selengkapnya

Hancur

Farida berjalan mondar-mandir di kamar. Larangan Fatma cukup menciutkan nyalinya. Namun, sisi hati yang lain terus menghasut agar si perempuan menemui Iman dan mempertanyakan kejelasan hubungan mereka. Tiga tahun bukan sebentar untuk menjalin sebuah kisah. Berawal dari keyakinan setipis kulit ari, perlahan menguat hingga nama si lelaki terhunjam dalam ke relung paling hati. Lalu bagaiman bisa dia menjadi sedingin kutub?Kalah oleh rasa penasaran, Farida meraih tas selempangnya. Dia tak peduli jika nanti mendapat amarah dari kedua orang tuanya, yang penting tanya mengusik hati mendapat jawaban. Perlahan dia membuka pintu kamar, melongok mencari keberadaan Fatma dan Datuk Sinai. Mendapati keadaan sepi, Farida berjalan mengendap-endap menuju pintu keluar. Sempat mendengar suara gaduh dari dalam kamar orang tuanya, tapi dia memilih untuk tetap melanjutkan rencana menemui Iman. Farida memilih jalan pintas melalui pematang sawah. Setelah menunggu beberapa menit, ojek yang menjadi alat trans
Baca selengkapnya

Menilas Masa Lalu

Fatma mera-ba dadanya yang berdetak sangat kencang. Dia gelisah melihat ke jalanan melalui kaca mobil. Cuaca yang awalnya sangat tenang, tiba-tiba berubah mendung. Perlahan gerimis mulai berjatuhan menimpa kaca bagian depan mobil. Semakin lama semakin menderas membuat Datuk Sinai harus menghidupkan 'wiper' mobil untuk membersihkan air yang menghalangi pandangan."Ya, Allah, Uda ... mengapa jantungku berdetak sangat kencang. Apa yang terjadi pada Farida?" lirih Fatma dengan raut cemas. Mata perempuan itu mulai berkabut, serupa dengan langit yang diselimuti awan kelabu. Matahari yang semula gagah bersinar, hanya bisa bersembunyi di balik punggung payoda yang semakin mengelam."Tidak akan terjadi apa-apa. Farida anak yang kuat." Datuk Sinai mencoba membesarkan hati sang istri, meski sebenarnya dia juga ketar-ketir. Mendengar keluhan Fatma mungkin saja itu firasat seorang ibu yang memiliki hubungan batin dengan anaknya."Tapi, Uda ... aku benar-benar cemas. Rasa-rasanya ingin menangis, te
Baca selengkapnya

Kabut Itu Masih Ada

"Aku minta maaf atas kejadian tadi." Iman tersenyum canggung kepada Elisa, si perempuan berambut panjang sebahu, sembari mengulas senyum canggung. "It's okay. Hanya saja aku tak mengira kamu sekasar itu sama perempuan. Apalagi dia pernah punya hubungan denganmu." Elisa menyatakan ketidaksukaannya terhadap sikap Iman kepada Farida. "Entah apa maksud Nenek berkata seperti itu, aku sungguh terkejut."Iman terpekur menatap lantai teras, kedua tangannya terbenam di dalam saku celana. Ada sesal bertandang ke dada saat wajah sedih Farida melintas di ruang mata. Dia sendiri tak mengerti mengapa bisa berkata sekasar itu. Tatapan intimidasi dari sang nenek dan kisah sedih berulang yang memantul-mantul di benak, menyulut emosinya seketika."Aku tak punya kapasitas untuk ikut campur, tapi apa pun masalah kalian, selesaikan dengan baik. Jangan sampai menyakiti hati, apalagi pernah punya hubungan baik. Kalau orang Minang bilang, 'datang tampak muko, pai tampak punggung'."Elisa tersenyum kecil mel
Baca selengkapnya

Kabut Hitam

"Bu ... sakit. Aku ndak kuat."Laila terus bergerak li4r di atas tempat tidvr. Dia menangis menahan gelombang sakit yang terus menghant4m tanpa jeda. Laila memekik kala kontraksi itu datang. Dia merem4s apa saja yang terjangkau tangan."Sabar, Nak. Istigfar, tahan." Buk Ratih menggosok punggung sang putri untuk memberikan rasa nyaman sehingga bisa meredam rasa sakit meski sedikit."Bu, operasi saja. Aku tak tahan sakitnya. Tolong ...." Laila terus meng3rang dengan suara lirih. Pandangan perempuan muda itu tak fokus lagi. Berkali-kali dia menendang-nendang hingga suster putus asa mengingatkan. Laila terus mengejan meski jalan lahir belum terbuka sempurna.Tak tahan melihat raut kesakitan sang putri, Buk Ratih memutuskan menemui dokter yang menangani Laila di ruangannya."Dokter, apa tak bisa operasi saja? Putri saya sudah sangat kesakitan." Buk Ratih terlihat sangat panik. Sejak dulu dia paling tak bisa melihat putri semata wayangnya kesakitan hingga apapun akan dilakukan untuk kesenan
Baca selengkapnya

Amuk Datuk Sinai

Datuk Sinai menatap tubuh sang putri yang terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Hatinya bertambah remuk melihat wajah sang istri yang kusut masai. Mata perempuan berkerudung hitam itu bengkak menangisi keadaan putri mereka. Dua minggu berlalu, tetapi keadaan Farida tak juga membaik. Hanya mesin pendeteksi jantung yang berbunyi lemah, penanda Farida masih bernyawa.Beban yang kini menindih dadanya, membuat Datuk Sinai terlihat semakin tua. Penyesalan berhamburan menyerang tempurung kepalanya tanpa jeda. Kata-kata pengandaian selalu saja digumamkan dalam hati. Namun, apalah daya, penyesalan kerap datang belakangan. Nasi telah menjadi bubur, tak mungkin bisa diubah lagi."Uda ...," lirih suara Fatma memanggil Datuk Sinai. Tangan perempuan tersebut menggenggam tangan Farida erat-erat. "Bagaimana ini? Aku tak mau terjadi apa-apa pada Farida," imbuhnya dengan suara bergetar menahan tangis. Datuk Sinai mengembuskan napas berat, dia melangkah pelan mendekati sang istri."Sabar, Farida
Baca selengkapnya

Dendam Bersimpul Mati

Langkah Datuk Sinai menghentak lantai. Wajahnya tampak amat gusar menahan amarah. Dia yakin kecelakaan yang menimpa Farida ada hubungan dengan Iman. Terlihat jelas dari raut penyesalan di wajah si lelaki. Andai Datuk Sinai tak mengingat dia anak almarhumah Laila, mungkin sudah dihadiahi bogem mentah. Bukannya dia tak yakin Iman adalah putra kandungnya, hanya saja tanda-tanda genetik di diri si lelaki sangat jauh berbeda. Saat kelahiran Iman, dia mencoba menerima anak tersebut, meski lahir tanpa cinta. Dia berusaha bertanggung jawab kepada keluarga kecilnya dan berharap sifat posesif Laila berkurang. Namun, pernikahan yang sejak awal tiada cinta, amat payah untuk berbunga. Semakin lama kejenuhan itu bertandang semakin sering, hingga Datuk Sinai mulai jarang pulang ke rumah.Langkah Datuk Sinai mati ketika melihat Buk Ratih berdiri di depan ruang ICU. Penampilan mantan mertuanya itu masih elegan seperti dulu. Baju kurung malaysia berwarna limau manis, dipermanis bordiran bunga mawar, se
Baca selengkapnya

Kebahagiaan yang Mekar

Seperti malam-malam yang lalu, Fatma tak pernah lupa memunajatkan doa kepada Yang Mahakuasa. Berharap sedikit rahmat diberikan Tuhan untuk kesembuhan putrinya. Selalu berada di sisi sang putri, membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an, dia yakin kalimat suci Allah tersebut memiliki kekuatan penyembuh yang luar biasa.Dengan mata sembab Fatma mengawasi Farida yang masih terbaring lemah tak berdaya. Menurut dokter yang menangani sang putri, kemungkinan Farida untuk sembuh hanya lima puluh persen. Sebuah diagnosa yang cukup melegakan Fatma dan Datuk Sinai. Setidaknya mereka punya harapan meski hanya setengah saja. Hampir setiap malam dia terbangun, berharap rahmat itu datang di sepertiga malam. Seperti malam ini. Sehabis salat tahajud, Fatma tertidur di atas sajadah. Sayup-sayup dia mendengar suara mesin pendeteksi jantung berbunyi nyaring. Sontak perempuan tersebut bangun dan menghampiri putrinya. Dia menutup mulut dengan mata berkaca-kaca. Kelopak mata Farida perlahan-lahan terbuka. Gegas F
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status