Beranda / Romansa / Cinta sang Asmara / Bab 1 - Bab 10

Semua Bab Cinta sang Asmara: Bab 1 - Bab 10

24 Bab

Chapter 1. Ikatan yang kusut

“Ara mohon jangan pergi! Kenapa Om Nanda tidak bisa melihat ketulusan Ara? Ara sudah memberikan segalanya untuk Om, bahkan diri Ara sendiri. Kenapa Om tidak bisa menerima perasaan Ara? Ara mencintai Om!”Asmara meraung kencang. Kemarahan dan kesedihan di hatinya membuat gadis yang saat ini hanya berselimut sebuah kain itu tak mempedulikan kondisinya sendiri. Matanya menyorot nyalang pada sesosok lelaki dewasa yang kini tengah berdiri di seberang ranjang. Penampilan lelaki itu sama berantakannya dengan Asmara. Kemeja putih yang ia kenakan tidak dikancingkan seluruhnya, ujung kainnya juga tampak kusut bernoda.Tapi tidak sekusut ekspresinya sekarang.Berkali-kali laki-laki itu mengerang berat, mengacak-ngacak rambutnya dan bahkan menyuarakan sumpah serapah. Seolah beban yang amat berat telah mendera hidupnya. Membuat Asmara bertanya-tanya, apakah menghabiskan malam dengannya begitu sulit diterima?Semua bermula ketika Asmara menghadiri pesta wisuda yang diadakan di sebuah bar di salah s
Baca selengkapnya

Chapter 2. Memulai pertengkaran

“Darimana saja kamu? Kenapa baru pulang sekarang? Kamu tahu betapa khawatirnya Ibu ketika nomor kamu tidak bisa dihubungi?”Cecaran Ibu menjadi hal pertama yang Asmara dengar saat ia memasuki apartemennya. Biasanya Asmara akan segera membujuk Ibu setiap kali perempuan itu marah padanya. Seperti memeluk atau mengecup pipinya sembari melontar beragam kalimat manis. Akan tetapi kali ini Asmara tidak segera melakukannya. Perasaannya benar-benar tengah hancur lebur sekarang. Bahkan Asmara tidak memiliki kekuatan hanya untuk sekedar membuka suaranya. Mengabaikan pertanyaan dari sang Ibu, Asmara melangkah lunglai menuju kamarnya.Sayangnya pengabaian Asmara membuat Ibu naik pitam. Perempuan yang telah berkepala empat itu mencekal lengan Asmara dan menariknya sehingga Asmara terhuyung mundur.“Jawab Ibu, Asmara! Dari mana saja kamu?!”Asmara menghembuskan nafas lelah. Berusaha sebisa mungkin menahan nyeri di kepalanya. “Bisa tolong jangan sekarang, Bu? Aku lelah.”“Lelah? Kalau kamu bisa meng
Baca selengkapnya

Chapter 3. Ulang tahun Nenek

Asmara memperhatikan beberapa mobil yang terparkir di halaman depan rumah bergaya joglo. Hari ini adalah hari ulangtahun Neneknya dan seperti kebiasaan lama hampir semua kerabatnya akan berkumpul di kediaman sang Nenek sebagai perayaan. Bukan semacam pesta yang megah namun lebih mengarah kepada acara kumpul keluarga biasa dimana semua orang menghabiskan waktu dengan makan bersama dan mengobrol santai. Bedanya khusus untuk hari ini masing-masing dari mereka akan membawa satu pot bunga sebagai hadiah.Ya, Nenek suka sekali berkebun. Ada banyak sekali jenis tanaman yang tumbuh di halaman depannya dan mungkin akan selalu bertambah setiap tahunnya. Kebiasaan ini muncul setelah Kekek meninggal 8 tahun silam, sehingga guna meredam kesedihannya Nenek hanya menghabiskan waktu dengan bercocok tanam. Menghias kediamannya dengan berbagai bunga indah yang memanjakan mata.Sepanjang hidupnya Nenek hanya memiliki tiga orang anak saja. Satu anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak laki-lakinya yan
Baca selengkapnya

Chapter 4. Mempertanggungjawabkan

Asmara menyesap sebatang rokok yang terselip di sela-sela jarinya. Membiarkan asap beraroma tajam itu memenuhi rongga mulut. Baru saat nafasnya telah dirasa penuh, Asmara menghembuskan asap yang ia sesap seluruhnya. Membiarkan asap berwarna putih gelap melayang menutupi pandangan. Asmara terus melakukan hal itu sembari menatap tak fokus ke kejauhan. Memandang langit malam yang membentang di atas jutaan kelip cahaya. Tanpa sadar sudut matanya mulai terasa basah. Asmara tidak merepotkan diri untuk menghapusnya. Dia hanya membiarkan tetesan air jatuh mengenai pipinya. Mungkin dengan cara seperti itu keresahannya bisa sedikit memudar. Berkebalikan dengan kebisuan Asmara, Layina justru begitu was-was. Gadis itu berkali-kali melirik Asmara dan begitu mendapati kalau Asmara tak sedikitpun merubah posisi sejak senja beberapa waktu lalu, Layina hanya mampu menghela nafas berat. “Sebenarnya apa yang terjadi? Ini pertama kalinya aku melihatmu sekacau ini, Asmara." Pada akhirnya Layina tidak
Baca selengkapnya

Chapter 5. Dia pergi

Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Pernikahan yang sudah direncanakan akhirnya terlaksana di kediaman sang Nenek. Akan tetapi, pada kenyataannya pernikahan itu tidak tergelar selayaknya pesta pernikahan yang dipenuhi gegap-gempita. Acara pernikahan digelar dengan sangat tertutup dan sederhana dengan hanya dihadiri oleh sebagian keluarga Afsana. Tidak ada resepsi meriah ataupun suasana syahdu yang seharusnya dirasakan ketika pernikahan dilaksanakan. Bahkan berbagai ornamen cantik yang menghiasi area taman rumah bergaya Joglo itu seakan tak menjadikan suasana menjadi penuh gembira. Nyatanya semua orang menyadari akan suasana membeku di antara kedua pengantin. Seakan tidak ada sedikitpun kebahagiaan yang menyelimuti keduanya. Asmara, yang hanya mengenakan kebaya putih sederhana, duduk termenung dengan mata memerah dan Nanda juga tak jauh berbeda. Kedua wajah mereka tak sedikitpun mengandung senyuman. Tepat setelah pengucapan ijab kabul selesai, Nanda dan Asmara memilih untuk lang
Baca selengkapnya

Chapter 6. Tepi Jurang

Asmara menatap layar ponselnya yang menunjukkan sederet pesan yang telah ia kirimkan kepada Nanda sejak beberapa waktu lalu. Semuanya sudah terbaca, hanya saja satu balasan singkat yang mengatakan bahwa Nanda masih sibuk adalah satu-satunya yang ia terima. Beberapa hari telah berlalu sejak Nanda memutuskan untuk pergi ke Singapura—dengan alasan untuk bekerja. Selama itu Ibu sudah mengabari hal ini kepada sang Nenek. Alhasil perempuan tua itu seketika mendatangi Asmara dan meminta maaf. Nenek sama sekali tidak menyangka jika Nanda akan berlaku sekejam itu padanya. Asmara hanya mampu berbohong kala itu. Mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Meski mereka mungkin menyadari betapa hancurnya ia kini. Pada hari kelima Asmara mendapat kabar jika Nanda sudah pulang. Namun karena beberapa urusan mendesak Nanda harus langsung pergi ke kantor. Nanda adalah seorang spesialis keamanan dibidang cyber pada salah satu perusahaan besar yang berkembang di bidang teknologi. Dan karena sebelumnya Asmara
Baca selengkapnya

Chapter 7. Gambaran yang Familiar

Hal pertama yang Asmara lihat sejak membuka matanya adalah langit-langit luas dengan ornamen bunga berwarna putih. Pencahayaan yang sedikit temaram membuat Asmara harus beberapa kali menajamkan penglihatannya. Akan tetapi, rasa ngilu di sekujur tubuh jauh lebih menarik atensinya. Asmara mengerang tertahan, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dia tengah berbaring di atas ranjang, berselimut kain putih polos yang kusut. Di sekelilingnya, Asmara bisa melihat beragam perabotan sederhana yang ditata amat rapi. Tapi mengapa Asmara merasa familiar dengan tempat ini? Tempat ini sama persis dengan kamar hotel yang Asmara tempati saat dia menghabiskan waktu bersama Nanda malam itu. Tunggu! Asmara memaksa dirinya untuk bangkit. Kenapa Asmara tiba-tiba bisa berada di kamar hotel ini? Bukankah Asmara baru saja bertengkar hebat dalam ruangan kantor Nanda sebelum akhirnya berlari pergi dan mengalami kecelakaan tunggal? Asmara bahkan masih bisa mengingat dengan sangat jelas tatkala mo
Baca selengkapnya

Chapter 8. Kesempatan Kedua

Asmara mengalami mimpi yang sangat panjang hari ini. Setiap kenangan menyakitkan yang ia alami sebelumnya terus saja berkelebat dalam waktu cepat. Bagaimana Asmara bertengkar dengan Nanda, kekacauan di hari ulangtahun Nenek, pernikahannya dengan Nanda dan rasa sakit yang ia alami dalam kecelakaan itu. Segalanya menyatu dalam tempo yang membuat Asmara menderita. Jantungnya serasa berdetak amat cepat. Napasnya terengah-tengah dan sekujur tubuhnya bergetar dalam peluh yang terus menetes tanpa henti. Asmara memohon agar kenangan buruk itu berhenti bermunculan. Akan tetapi, apa yang ia hadapi hanyalah kerunyaman yang semakin nyata. Di tengah kegelisahan, Asmara tiba-tiba saja merasakan sentuhan lembut di pucuk kepalanya. Asmara mendongak. Mencoba mencari tahu siapa sang pemilik telapak tangan lembut itu. “Tidurlah Asmara, aku disini.” Suara hangat itu mengaung di telinganya. Menghentikan segala derita yang Asmara rasakan kini. Secara ajaib rentetan kenangan buruk itu juga turut
Baca selengkapnya

Chapter 9. Berbeda

Meski Asmara telah membulatkan tekadnya untuk tidak terkurung dalam kehidupan masa lalu dan menjadikan segalanya sebagai tolak ukur untuk melangkah maju, nyatanya Asmara masih tidak bisa melepaskan efek dari kejadian tersebut. Salah satunya adalah trauma yang ia alami setelah mengalami kecelakaan mobil itu. Sejenak setelah Asmara duduk di kursi kemudi dan menyalakan mesin, Asmara bisa merasakan gemetar hebat di sekujur tubuhnya. Peluh dingin mulai bercucuran, membasahi punggungnya. Asmara langsung terjatuh tepat setelah ia keluar dari dalam mobil. Dia memuntahkan isi perutnya di sisi pagar kediaman sang Nenek. “Asmara, ada apa?” Layina yang menyadari kedatangan Asmara seketika berlari mendekat. Asmara mengusap bibirnya menggunakan selembar tisu yang Layina berikan sebelum akhirnya duduk bersandar di tanah. Wajahnya pucat pasi. “Mabuk perjalanan," jawabnya. Layina mengernyitkan keningnya, jelas tak mempercayai ucapan Asmara. “Mabuk perjalanan? Kita bahkan pernah berkendara sela
Baca selengkapnya

Chapter 10. Cinta adalah Keteguhan Hati

Asmara merogoh tas selempangnya, mengeluarkan sebatang rokok yang ia sembunyikan di dalam dompet kecil sebelum akhirnya duduk di salah satu kursi yang diletakkan di depan teras. Kedua maniknya menyorot ke arah berbagai bunga yang tengah bermekaran sempurna. Asmara cukup tertarik dengan sekumpulan bunga melati yang harumnya paling tercium. Juga jenis bunga yang Nanda bilang paling dia sukai.Terkadang Asmara merasa cemburu dengan mereka. Terdengar aneh namun itulah kenyataannya. Jika Asmara terlahir sebagai bunga melati, Nanda mungkin saja akan memuji keindahannya dan menyukai keharumannya. Jika Asmara hanyalah setangkai melati, Nanda tidak perlu merasa terbebani oleh keberadaannya. Dan Asmara juga tidak perlu merasakan cinta mendalam yang menyakiti dirinya sendiri. Siklus hidupnya mungkin akan jauh lebih pendek, tapi setidaknya Asmara pernah dikagumi.Haha. Asmara tertawa nanar mendengar pikirannya sendiri. Tanpa bermaksud, Nanda masih saja munc
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status