Home / Pernikahan / Desahan yang Didengar Anakku / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Desahan yang Didengar Anakku: Chapter 31 - Chapter 40

117 Chapters

Bab 31 Air Mata Keluarga Mantan

Setelah hari itu, tak pernah lagi kudengar gosip-gosip murahan di sekitar rumahku. Namun dampak negatifnya, tak ada yang mau berteman denganku. Tak mengapa. Bagiku saat ini fokus membesarkan Meysa. Aku juga harus fokus membesarkan perusahaan almarhum papaku. Aku berhutang budi cukup banyak pada Bastian dan mamanya—Bu Yunita yang telah menyelamatkan perusahaan Haryanto.Seperti pagi ini, aku sudah berada di kantor Bu Yunita. Bukan untuk kembali bekerja di sana, melainkan untuk mengemas barang-barang milikku yang harus kupindahkan ke kantor Haryanto."Punya pelet apa sih kamu?" Samar-samar terdenhar suara sopran bericara dari belakangu.Aku segera menoleh. Rupanya sekertaris Bu Yunita sudah berdiri di ambang pintu ruanganku. Dia berdiri seraya berpangku tangan.Aku tak mengerti maksud ucapannya. "Maaf, Anda barusan bicara apa?" tanyaku pada wanita yang berpakaian serba ketat itu. Pura-pura tak dengar.Sekertaris Bu Yunita melayangkan tatapan sinis padaku. "Tari, kamu telah berani mengam
Read more

Bab 32 Tamu Malam-malam

Air mata mantan ibu mertua kian terlihat deras. Ia melonggarkan pelukan sambil sesekali mengusap pipinya yang basah. "Mama tidak habis pikir dengan penyakit Dani. Katanya hanya penyakit jantung, tapi beberapa kulitnya hitam dan melepuh bagai terbakar api. Dosa apa yang telah diperbuatnya, hingga kemaluannya pun tercium bau busuk dan bernanah," ungkapnya sambil sesegukan.Miris mendengar cerita mantan ibu mertua yang cukup mengerikan tentang Dani. Dalam hati hanya berdo'a, semoga Tuhan mengampuni dosanya."Sabar ya, Ma. Kita berdo'a saja untuk papanya Meysa," ucapku seraya mengelus punggung tangan mantan mertua.Tak lama, mayit seselai dimandikan. Meysa nampak kembali ke dekatku sambil sesegukan. "Sabar, Mey. Kamu harus kuat. Ikhlaskan papa, agar tenang di akhirat sana," ucapku kali ini pada Meysa yang masih belum menyudahi tangisan."Semua ini gara-gara Santi!" tiba-tiba mantan ibu mertua terlihat geram ketika Santi kembali ke ruang tengah, duduk di dekat mayit.Aku segera menenangkan
Read more

Bab 33 Calon Istri

Keesokan harinya, ketika aku baru bangun dari tidur. Semua sudut rumah sudah terlihat rapih, padahal baru saja pukul setengah lima subuh.Aku melangkah ke ruangan dapur yang juga terlihat sudah rapih. Tak ada satu pun cucian piring kotor di sana."Mba Tari, sudah bangun." Santi terlihat berdiri di dekat pintu dapur. Sepertinya baru saja kembali membuang sampah. Itu terlihat dari sebelah tangan kanannya yang memegang tempat sampah yang sudah kosong."Santi, apakah kamu yang membereskan rumah ini?"Santi menganggukan kepala. "Iya, Mba." Dia mengukir senyum."Padahal kamu tak usah repot-repot. Saya sudah terbiasa mengerjakannya sendiri." Aku segera berlalu ke kamar mandi.Ketika aku hendak membuat sarapan untuk Meysa, di atas meja makan nyatanya sudah tersaji nasi goreng beserta telor ceplok.Aku kemudian menemui Santi di kamar tengah. Rupanya wanita itu tengah mengemas pakaiannya. "Kenapa kamu harus buatkan sarapan segala? Saya 'kan sudah katakan, saya bisa melakukannya sendiri," kesalk
Read more

Bab 34 Dia Menyatakan Cinta

"Kamu!" jawabnya tegas. Bastian masih melayangkan tatapan yang cukup dalam."Apa!" aku terkejut. Degup jantung seakan berhenti memompa. "Tolong jangan bercanda, Bas. Aku sedang bicara serius.""Aku juga serius, Tar. Apa kamu lihat aku sedang bercanda?"Tiba-tiba kedua tangan Bastian meraih telapak tanganku di atas meja. Di waktu yang bersamaan keringat dingin serasa membanjiri tubuhku."Calon istri yang aku inginkan adalah kamu. Tak ada yang lain. Rasa itu muncul secara tiba-tiba, setelah kebersamaan kita yang selama ini terjalin," ungkapnya.Entah kenapa dengan isi jantungku, tiba-tiba berdegup lebih kencang dari biasanya. Napasku memburu kencang. Kedua tanganku bahkan membatu, tak mau lepas dari genggaman Bastian.Apa yang terjadi dengan diriku? Jiwaku serasa terbang ka langit, bersandar di balik awan yang putih dan bersenandung di sana.Tidak, tidak boleh. Aku tak boleh begini. Hingga dengan susah payah aku menarik tangan agar terlepas dari genggamannya. Padahal genggaman Bastian c
Read more

Bab 35 Antara Aku, Kamu dan Dia.

Aku resah ketika mendengar pintu kembali diketuk. Sudah bisa ditebak kalau tamu yang datang kali ini adalah Gina.Tok tok tok!Aku masih berdiri menatap Bastian dan Meysa yang tengah asyik dengan makanannya."Bas, ada Gina di depan rumah," laporku pada Bastian."Lalu?" Sepertinya Bastian mengerti maksudku."Kita temui Gina bersama-sama," ajakku.Bastian langsung berdiri. "Boleh," balasnya tanpa ragu. Ia segera melangkah, namun aku menahannya."Tunggu, Bas," tahanku."Kenapa?" Bastian menatapku lagi."Tolong jangan bicara yang macam-macam pada Gina ya. Aku mohon," pintaku seraya menautkan kedua telapak tangan. "Kasihan Gina, Bas. Jangan buat dia bersedih," lanjutku.Bastian diam sejenak, hingga ia kembali melanjutkan langkah menuju pintu utama.Sementara aku terlebih dahulu berbisik pada Meysa. "Mey, kalau sudah selesai makan, kamu langsung ke kamar ya. Mama harus bicara serius dengan teman-teman Mama." Meysa mengangguk, menahami perintahku.Ketika Bastian membuka pintu, nampaknya Gina
Read more

Bab 36 Salah Paham

"Aku benci kondisi seperti ini, Tari!" sergah Gina lagi.Dalam kondisi perasaan yang tidak tenang, aku mendekati Gina. Aku duduk di sampingnya."Gin..." Aku meraih tangan Gina."Bastian mencintai kamu, Tar. Tak perlu kamu paksa dia mencintaiku. Aku juga punya harga diri. Kamu tak bisa mengubah perasaan orang lain!" Gina menghempaskan genggaman tanganku. Dia benar-benar terlihat sangat marah.Aku mengusap pelipis. Bastian! Mengapa kamu tak bisa memberiku waktu."Gina, aku juga terkejut begitu tahu tentang perasaan Bartian yang sebenarnya. Aku hanya tidak mau melihat kamu kecewa," terangku membela diri."Tapi tetap saja kamu membuat aku kecewa, Tar. Seandainya kamu bukan sahabat baikku, mungkin aku tak mau lagi dekat denganmu," kata Gina.Aku mendongak. Air mata ini kembali merembes di pipi. "Tidak, Gin. Jangan tinggalkan aku. Tidak ada satu pun sahabat baik di dekatku selain kamu," lirihku mengiba."Aku pun tak berniat meninggalkanmu, Tar," balas Gina datar.Gegas kupeluk tubuh Gina da
Read more

Bab 37 Serba Salah

Setelah hari itu, hidupku seakan mengabu. Tak pernah lagi Gina datang ke rumahku. Sementara aku, tak bisa menjauhi Bastian. Aku dan Bastian terikat kerja sama mengurus perusahaan Haryanto—almarhum papaku. Hingga tiba-tiba ketika hari minggu, rumahku kedatangan tamu yang tak terduga. Mantan ibu mertua datang ke rumahku sambil menangis tersedu-sedu. Beliau diantar suaminya, karena tak kuasa menahan rindu pada Meysa—cucunya.Setelah 40 hari kepergian almarhum Dani, aku dan Meysa memang sudah lama tak bertemu mantan mertua. Terlebih aku merasa tak lagi dekat dengan mereka."Meysa."Mantan ibu mertua memeluk Meysa nampak erat. Tangisannya kali ini mungkin karena terharu setelah bertemu cucunya.Setelah memastikan keadaan Mesya yang baik-baik saja, aku mempersilahkan mantan mertua masuk dan duduk di sofa yang berada di ruang tamu."Sebenarnya kedatangan kami berdua ingin menyerahkan kunci rumah pada Meysa." Kulihat mantan ibu mertua merogoh tas selempang miliknya, lalu menyodorkan beberapa
Read more

Bab 38 Mencari Calon Suami

Aku menelan saliva resah. Jadi kebingungan sendiri, sebab memang tak ada satu pun pria yang dekat denganku akhir-akhir ini. "Jangan sekarang, Bas. Calon suamiku sedang tugas di luar kota," alasanku."Itu hanya alasan kamu saja, karena memang tak ada calonnya." Bastian tampak menahan gelak tawanya."Ada, Bas. Aku sudah punya calonnya. Nanti akan aku kenalkan sama kamu, tapi gak sekarang." Aku masih berusaha meyakinkan Bastian.Namun sepertinya Bastian tetap meragukan ucapanku. Dia tetap mengajakku makan bersama, sore itu. Sesekali, Bastian menatapku. Gegas aku membuang tatapan itu. Entah kenapa dadaku selalu saja bergetar setiap kali Bastian menatapku.Suatu hari, ketika Bastian tengah ke luar kota untuk urusan pekerjaannya, aku berniat menemui seorang pria yang bernama Bobi di sebuah kedai kopi.Pria bernama Bobi itu tak sengaja kukenal ketika pindahan ke rumah lamaku—rumah yang dikembalikan mantan mertua tempo lalu. Pria itu ternyata tetangga baruku. Dia baru beberapa bulan menempat
Read more

Bab 39 Mayat!

Hah! Kok suara pria memanggil sayang kepada Bobi?"Eh maaf, Tari. Aku harus segera masuk. Terima kasih untuk makanannya," ucap Bobi tergesa-gesa. Kemudian ia segera menutup pintu dan menguncinya."Sama-sama." Balasan dariku bahkan tak sempat didengarnya. Aku masih mematung, merasakan keanehan pada tetanggaku itu."Siapa itu, Sayang?" lagi, suara bariton terdengar jelas memanggil sayang pada tetanggaku—Bobi."Hanya tetangga saja, tak usah dipermasalahkan, Sayang." Suara Bobi membalas.Sepertinya Bobi tengah ada tamu. Bagaimana dengan rencana malam ini? Padahal Bastian akan ke rumahku dan menagih ucapanku.Meski pun merasa aneh dan penasaran dengan tetanggaku itu, tetap saja aku tak bisa berdiri terlalu lama di depan rumah orang.Langkahku dengan cepat kembali ke rumah. Kulihat Meysa tengah santai bersama cemilannya di depan TV. Nampaknya Meysa memang selalu terlihat nyaman setelah pindah ke rumah ini.Tak lama setelah aku kembali ke rumah, suara deru mobil terdengar berhenti di depan
Read more

Bab 40 Membuat Tubuhku Gemetar

"Dia pembunuhnya!" Wanita tadi berdiri di depan rumah Bobi seraya meluruskan jari telunjuknya ke arahku dan berteriak."Hah!" Aku terkejut. Mereka berlarian ke arahku kemudian memegang pergelangan tanganku."Lepas! Apa-apaan ini!" Aku memberontak, berusaha melepaskan diri."Mba Santi harus kami amankan, sampai polisi datang," kata pria yang memegang tanganku."Jangan lancang kalian ya. Apa kalian tidak mengenal saya? Saya ini warga asli yang sudah lama bermukim di sini. Jangan asal menuduh! Ini fitnah." Aku masih berusaha membela diri, melepaskan genggaman mereka yang cukup kuat, dan terasa sulit."Bukan menuduh, Mba. Mba Tari adalah saksi pertama yang menemukan mayat Bobi. Kami hanya mengamanjan saja," celoteh mereka. Padahal tetap saja mereka telah menuduhku.Dalam keadaan lutut yang masih bergetar serta perasaan yang luar biasa cemasnya, aku didudukan di kursi yang berada di depan rumah Bobi. Tak bisa memberontak atau melepaskan diri, sebab aku dijaga ketat bak seorang maling yang
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status