Kulihat bibir Meysa nampak bergetar seiring dengan air mata yang mengalir di pipi mungilnya. "Maksudnya apa, Ma?"Gegas aku memeluk tubuh mungil putriku. Bulir bening di sudut mataku pun turut serta menetes. "Mama dan Papa sudah berpisah. Kami tidak bisa bersama-sama lagi, Mey," terangku lagi dengan berat hati."Kenapa, Ma? Aku tidak mau melihat Mama dan Papa berpisah," lirih Meysa.Air mata kami berdua tumpah tak terbendung, pun dengan Gina yang mungkin turut pilu dengan keadaanku."Mama tidak bisa menjelaskan. Mama harap kamu bisa mengerti, Mey. Meski pun ini terlalu dini buat kamu," bisikku tepat di dekat telinga Meysa yang masih dalam dekapanku.Meysa hanya diam dalam tangisan sendunya. Ia melonggarkan pelukan kemudian menatap wajahku lekat."Aku gak mau jauh-jauh dari Mama. Aku juga gak bisa jauh dari Papa," lirihnya. Tatapan Meysa nampak hancur dan aku bisa merasakan itu."Maafkan Mama, Mey. Kamu harus tetap memilih diantara kami." Aku mengusap lembut rambut Meysa. "Mey, maafkan
Read more