Aku menelan saliva resah. Tanpa kusadari Mas Dani tiba-tiba kembali ke rumah. Aku, Bastian dan Gina panik tanpa bisa bersuara.Tok tok tok! "Tari, buka pintunya!" Mas Dani mengulangi.Bastian segera masuk ke dalam lemari, sementara Gina bersembunyi di toilet kamar.Aku memperbaiki napas yang memburu lebih kencang. Dadaku bergetar. Mas Dani tak boleh mengetahui keberadaan dua sahabatku sebab rencana kami belum terealisasi."Tari, sedang apa kamu? Buka pintunya!" Teriak Mas Dani lagi."Se-sebentar, Mas." sahutku seraya mengacak-acak rambut agar terlihat bagaikan orang yang baru saja bangun tidur.Ceklek!Mas Dani memutar handle pintu setelah aku membuka kuncinya. Tatapan mata suamiku cukup nanar, ia bergegas masuk ke kamar melewati tubuhku. Mas Dani mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar seperti tengah mencari sesuatu."Ada apa, Mas? Bukankah kamu sudah berangkat kerja?" tanyaku sekedar basa-basi."Aku kembali karena mengambil ponsel yang tertinggal. Aku mendengar kamu tengah berbic
"Ini rumahku, Mas. Kamu yang harus pergi!" sergahku. Mas Dani telah jauh berubah menjadi pria kejam."Itu dulu, Tari! Sekarang bukan lagi milikmu. Jika kamu pernah berniat mengusirku, maka hari ini kamu yang harus pergi tanpa membawa apa-apa. Aku berikan waktu satu jam untuk kamu berkemas dan pergi. Jangan sampai aku mengusirmu dengan kekerasan!" Tubuh gempal pria yang detik ini telah menjadi mantan suamiku tampak berlalu meninggalkan kamar. Saat ini hanya ada aku, Gina dan Bastian di kamar. Tangisanku kembali tumpah di pipi. "Aku tak punya apa-apa lagi," lirihku.Gina kemudian memelukku dari samping sambil mengusap punggungku. "Kamu masih punya aku. Bahkan kamu masih memiliki berlian yang sangat berharga, yakni Meysa," tuturnya."Aku tidak terima ini. Mas Dani mengambil semua aset-aset peninggalan orang tuaku," lirihku lagi."Aku bingung harus berbuat apa, saat semua aset kamu telah beralih atas nama Dani," timpal Bastian memperlihatkan wajah sendu. Mungkin dia turut sendu dengan ke
Kesedihanku bagai tak bertuan, aku tak tahu harus kemana bersandar. Tapi aku harus kuat demi Meysa—putriku. Kutelan air mata duka di hati. Hidup harus tetap berjalan walau kembali dari nol. Saat ini aku dan dua sahabatku tak lagi membahas masalah Mas Dani sebab ada Meysa yang harus diperhatikan sikisnya. Hingga perjalanan telah sampai di rumah Gina yang bernuansa minimalis modern. Rumah Gina memang tak semewah milikku sebelumnya, tapi sahabatku itu telah berbesar hati mau menampungku yang malang ini. Aku tak punya apa-apa. Semua aset telah dipindah alihkan menjadi milik Mas Dani—mantan suamiku. Tapi meski pun begitu aku harus tetap bersyukur karena Mas Dani tak mengambil Meysa dari sisiku. Beberapa hari kemudian setelah aku tinggal di rumah Gina, suhu tubuh Meysa tiba-tiba panas. Putriku demam tinggi. Saat itu aku panik dan bergegas membawa Meysa ke klinik. "Papa..." Dari mulut mungilnya terus saja mengingau nama papanya. Aku yang kini tengah berada di perjalanan dengan men
"Meysa juga anakku. Dia sakit deman yang cukup tinggi. Tega sekali kamu meninggalkannya di klinik seperti ini," protes Mas Dani. Ia kembali mendorong kursi roda yang diduduki Meysa. Kulihat Santi tersenyum mengejek di sampingnya."Tunggu, Mas! Kamu tidak berhak membawa Meysa!" cegahku. Tubuh ini sudah berdiri menghadang jalan Mas Dani."Aku ini papahnya, aku lebih berhak atas Meysa. Aku akan membawa Meysa ke rumah sakit yang lebih bagus," paksa Mas Dani."Cukup, Mas!" Air mataku tumpah detik itu juga. "Kamu sudah mengambil semuanya dariku. Aset, rumah dan perusahaan. Lalu, kamu mau mengambil Meysa dariku? Manusia macam apa kamu, Mas? Di mana hati nuranimu?" pekikku tak dapat lagi menahan rasa sakit di hati. Napas di dalam dada terasa memburu panas.Sementara kulihat Santi masih tersenyum mengejek sambil memutar bola matanya. Ya Tuhan, Santi tega sekali kepadaku, padahal aku tak pernah menyakitinya.Kutatap kembali bola mata Mas Dani. Tak nampak tatapan yang pernah kutemukan dulu. Tata
Ketika Meysa dirawat inap di klinik, ia terus saja merengek minta pulang ke rumah. Artinya Mesya menginginkan pulang ke rumah yang kini ditempati Mas Dani dan Santi. Sulit rasanya, tapi aku belum siap menjelaskan pada anakku. Hingga setelah dua hari berlalu Meysa sudah pulih dan diperbolehkan pulang. "Ma, kita pulang ke rumah kita 'kan?" Meysa menatap wajahku seolah memastikan. Saat ini aku dan Meysa tengah dalam perjalanan pulang diantar Bastian. Ya, Bastian menemaniku sampai Meysa diperbolehkan pulang. Aku tak pernah menyangka kalau sabatku itu benar-benar tulus. "Ma..." Meysa kembali merengek ketika aku belum menjawab pertanyaannya. "Iya, kita pulang ke rumah," jawabku terpaksa. Kulihat Meysa tampak menyeringai senang. Sementara Bastian menoleh ke arahku tampak cemas. Aku bingung tanpa bisa berdiskusi. Bastian sempat menyarankanku untuk merebut kembali aset-asetku, namun sulit karena kini Mas Dani telah memiliki kekuasaan. Perjalanan kami telah sampai di depan gerbang.
"Aku gak mau ikut sama Mama!" Ucap Meysa mengejutkan jantungku."Kenapa, Mey?" Keadaan jantungku seakan berhenti berdegup."Aku gak mau tinggal di rumah Tante Gina, Ma. Di sana gak ada AC. Aku kepanasan. Di rumah Tante Gina juga kamarnya sempit. Aku merasa sesak." Meysa mengungkapkan protesnya.Napasku semakin sesak mendengar itu. Selama ini kehidupan Meysa memang bergelimang kemewahan. Aku tak sadar akan hal itu. Meysa pasti tak nyaman."Mey, kita harus bicara tapi tidak di gerbang ini karena sangat penting. Ikut dengan Mama sekarang." Kuraih sebelah tangan Meysa."Kita bisa bicara di dalam, Ma. Kenapa Mama enggan masuk ke rumah ini?" Meysa nampak keheranan.Aku menatap manik putriku dalam-dalam. "Mey, Mama mohon. Ikut dengan Mama sekarang. Nanti akan Mama jelaskan," pintaku memelas.Meysa mengangguk meski pun raut wajahnya penuh tanda tanya."Tunggu! Meysa mau dibawa kemana?" Suara sopran menahan langkahku dan Meysa ketika hendak pergi.Aku menoleh ke sumber suara. Terlihat Santi te
Kulihat bibir Meysa nampak bergetar seiring dengan air mata yang mengalir di pipi mungilnya. "Maksudnya apa, Ma?"Gegas aku memeluk tubuh mungil putriku. Bulir bening di sudut mataku pun turut serta menetes. "Mama dan Papa sudah berpisah. Kami tidak bisa bersama-sama lagi, Mey," terangku lagi dengan berat hati."Kenapa, Ma? Aku tidak mau melihat Mama dan Papa berpisah," lirih Meysa.Air mata kami berdua tumpah tak terbendung, pun dengan Gina yang mungkin turut pilu dengan keadaanku."Mama tidak bisa menjelaskan. Mama harap kamu bisa mengerti, Mey. Meski pun ini terlalu dini buat kamu," bisikku tepat di dekat telinga Meysa yang masih dalam dekapanku.Meysa hanya diam dalam tangisan sendunya. Ia melonggarkan pelukan kemudian menatap wajahku lekat."Aku gak mau jauh-jauh dari Mama. Aku juga gak bisa jauh dari Papa," lirihnya. Tatapan Meysa nampak hancur dan aku bisa merasakan itu."Maafkan Mama, Mey. Kamu harus tetap memilih diantara kami." Aku mengusap lembut rambut Meysa. "Mey, maafkan
Aku menelaah satu persatu karyawan yang menundukan kepala saat langkah kakiku melewati mereka."Selamat pagi!"Begitu sapaan mereka dengan ramah terdengar merdu di telingaku."Pagi," balasku setengah merasa aneh. Gegas aku masuk ke ruanganku. Ruangan yang kemarin sudah diperlihatkan oleh HRD. Sempat terpukau dengan ruangan baruku sebab terlihat bagus bagaikan ruangan manager saja. Ruangan berAC serta memiliki furnitur yang masih terlihat baru.Meninggalkan rasa takjubku, aku segera memulai pekerjaan baruku.Tok tok tok!Pintu ruangan terdengar diketuk seseorang dari luar. "Masuk!" perintahku dari dalam.Pintu itu dibuka menampilkan wajah pria yang tak asing lagi dalam pandanganku."Bas!"Aku tercengang melihat Bastian berdiri seraya mengukir senyuman."Pagi, Tari!" sapa Bastian begitu ramah. Ia mendekat ke arahku membawa paper bag coklat di tangan kirinya."Bas, kok ada di sini? Kamu kerja di sini juga?" Aku yang masih keheranan, segera bertanya."Jangan dulu banyak tanya, sarapan du
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria