Setelah hari itu, hidupku seakan mengabu. Tak pernah lagi Gina datang ke rumahku. Sementara aku, tak bisa menjauhi Bastian. Aku dan Bastian terikat kerja sama mengurus perusahaan Haryanto—almarhum papaku. Hingga tiba-tiba ketika hari minggu, rumahku kedatangan tamu yang tak terduga. Mantan ibu mertua datang ke rumahku sambil menangis tersedu-sedu. Beliau diantar suaminya, karena tak kuasa menahan rindu pada Meysa—cucunya.Setelah 40 hari kepergian almarhum Dani, aku dan Meysa memang sudah lama tak bertemu mantan mertua. Terlebih aku merasa tak lagi dekat dengan mereka."Meysa."Mantan ibu mertua memeluk Meysa nampak erat. Tangisannya kali ini mungkin karena terharu setelah bertemu cucunya.Setelah memastikan keadaan Mesya yang baik-baik saja, aku mempersilahkan mantan mertua masuk dan duduk di sofa yang berada di ruang tamu."Sebenarnya kedatangan kami berdua ingin menyerahkan kunci rumah pada Meysa." Kulihat mantan ibu mertua merogoh tas selempang miliknya, lalu menyodorkan beberapa
Aku menelan saliva resah. Jadi kebingungan sendiri, sebab memang tak ada satu pun pria yang dekat denganku akhir-akhir ini. "Jangan sekarang, Bas. Calon suamiku sedang tugas di luar kota," alasanku."Itu hanya alasan kamu saja, karena memang tak ada calonnya." Bastian tampak menahan gelak tawanya."Ada, Bas. Aku sudah punya calonnya. Nanti akan aku kenalkan sama kamu, tapi gak sekarang." Aku masih berusaha meyakinkan Bastian.Namun sepertinya Bastian tetap meragukan ucapanku. Dia tetap mengajakku makan bersama, sore itu. Sesekali, Bastian menatapku. Gegas aku membuang tatapan itu. Entah kenapa dadaku selalu saja bergetar setiap kali Bastian menatapku.Suatu hari, ketika Bastian tengah ke luar kota untuk urusan pekerjaannya, aku berniat menemui seorang pria yang bernama Bobi di sebuah kedai kopi.Pria bernama Bobi itu tak sengaja kukenal ketika pindahan ke rumah lamaku—rumah yang dikembalikan mantan mertua tempo lalu. Pria itu ternyata tetangga baruku. Dia baru beberapa bulan menempat
Hah! Kok suara pria memanggil sayang kepada Bobi?"Eh maaf, Tari. Aku harus segera masuk. Terima kasih untuk makanannya," ucap Bobi tergesa-gesa. Kemudian ia segera menutup pintu dan menguncinya."Sama-sama." Balasan dariku bahkan tak sempat didengarnya. Aku masih mematung, merasakan keanehan pada tetanggaku itu."Siapa itu, Sayang?" lagi, suara bariton terdengar jelas memanggil sayang pada tetanggaku—Bobi."Hanya tetangga saja, tak usah dipermasalahkan, Sayang." Suara Bobi membalas.Sepertinya Bobi tengah ada tamu. Bagaimana dengan rencana malam ini? Padahal Bastian akan ke rumahku dan menagih ucapanku.Meski pun merasa aneh dan penasaran dengan tetanggaku itu, tetap saja aku tak bisa berdiri terlalu lama di depan rumah orang.Langkahku dengan cepat kembali ke rumah. Kulihat Meysa tengah santai bersama cemilannya di depan TV. Nampaknya Meysa memang selalu terlihat nyaman setelah pindah ke rumah ini.Tak lama setelah aku kembali ke rumah, suara deru mobil terdengar berhenti di depan
"Dia pembunuhnya!" Wanita tadi berdiri di depan rumah Bobi seraya meluruskan jari telunjuknya ke arahku dan berteriak."Hah!" Aku terkejut. Mereka berlarian ke arahku kemudian memegang pergelangan tanganku."Lepas! Apa-apaan ini!" Aku memberontak, berusaha melepaskan diri."Mba Santi harus kami amankan, sampai polisi datang," kata pria yang memegang tanganku."Jangan lancang kalian ya. Apa kalian tidak mengenal saya? Saya ini warga asli yang sudah lama bermukim di sini. Jangan asal menuduh! Ini fitnah." Aku masih berusaha membela diri, melepaskan genggaman mereka yang cukup kuat, dan terasa sulit."Bukan menuduh, Mba. Mba Tari adalah saksi pertama yang menemukan mayat Bobi. Kami hanya mengamanjan saja," celoteh mereka. Padahal tetap saja mereka telah menuduhku.Dalam keadaan lutut yang masih bergetar serta perasaan yang luar biasa cemasnya, aku didudukan di kursi yang berada di depan rumah Bobi. Tak bisa memberontak atau melepaskan diri, sebab aku dijaga ketat bak seorang maling yang
Kejadian pembunuhan Bobi membuat waktuku banyak tersita. Setiap hari, aku harus bolak-balik ke kantor polisi untuk melengkapi data.Menyesal? Tentu saja. Aku tak akan mengulangi hal bodoh ini.Hidup jujur memang selalu menenangkan. Dimana pun dan dalam keadaan apa pun.Hingga akhirnya aku berhasil melewati proses itu. Ketukan hakim pada persidangan kematian Bobi telah mendapat keputusan. Hasil akhir, tetanggaku terbukti dibunuh oleh kekasih sesama jenisnya. Pelakunya bahkan telah tertangkap dan masuk ke dalam sel jeruji besi."Gak lagi-lagi deh berurusan dengan masalah seperti ini." Aku menggerutu sendirian.Hari ini aku kembali memulai pekerjaan di kantor setelah tertunda dalam beberapa hari. Perusahaan Haryanto mulai bangkit dan berkembang. Ini semua atas jasa Bastian. Tanpanya, perusahaan peninggalan orang tuaku belum tentu bisa kugenggam kembali.Triiing triiing!Ponselku berdering, pertanda ada panggilan telepon masuk. Gegas kulirik layar benda pipih itu. Rupanya Gina yang menele
Ya Tuhan, hancur rasanya hatiku melihat beberapa alat medis terpasang di tubuh Bastian.Pria yang selalu menolongku itu, akhirnya terbaring kritis masuk ruang ICU. Aku duduk di sampingnya, memakai pakaian steril. Tanganku bergetar, memegang tangan Bastian yang tak merespon.Air mataku tak mau berhenti ketika menatap Bastian. Kondisinya masih lemah, masih tak merespon."Bas, maafkan aku. Kamu harus kuat. Kamu harus berjuang," lirihku berbisik di dekat telinga Bastian."Bas, bangunlah. Aku tak mau kehilanganmu, Bas. Aku sadar, aku mencintaimu," imbuhku kemudian. Kalimat itu keluar dengan sendirinya. Bersamaan dengan itu, air mata terus saja mengalir deras, tak mau surut.Aku menggenggam tangan Bastian, berhatap pria di dekatku akan membuka mata. Telah kusadari, kalau di dalam hati teramat takut kehilangan Bastian."Bas.... Bangunlah. Aku mohon, jangan tinggalkan aku. Aku janji gak akan mempermainkan perasaanmu," lirihku lagi.Namun, suaraku seakan tak didengar Bastian. Bas tetap saja ti
Tak lama, aku merasa sesuatu membelai rambutku. Aku terkejut."Bas!" Aku mendongak. Sebelah tangan Bastian telah membelai rambutku. Mataku seketika basah dan berkaca-kaca melihat Bastian terbangun dan menatapku."Tari." Suara Bastian bergetar ketika memanggilku.Sementara itu, bulir bening dari sudut mataku menetes haru. "Akhirnya kamu bangun, Bas," desisku.Bastian masih menatapku, berkaca-kaca. Terlihat sendu. Tangannya meraih tanganku lalu dibelainya lembut."Tar, aku hampir kehilanganmu," bisiknya. Suara Bastian terdengar bergetar. Ia semakin mempererat genggamannya."Tidak, Bas. Tidak akan," balasku seraya membalas genggamannya.Bastian memejamkan mata cukup lama, kemudian kembali menatapku. "Aku pikir aku sudah mati.""Jangan bicara seperti itu, Bas." Aku meluruskan jari telunjuk di depan bibirnya.Bastian pun kembali diam seraya menatapku. Dia masih lemah. Suaranya pun berbisik lemah."Istirahat dulu ya. Jangan banyak bicara yang tidak-tidak. Aku ada di sini. Akan selalu ada d
Aku tak bisa menjawab pertanyaan Bu Yunita. Aku masih terduduk dan memilih diam sambil memotong buah yang aku beli tadi."Mama rasa, Gina terlihat marah sama kamu. Gina wanita yang baik dan sopan, Bas. Kamu jangan mengecewakannya," kata Bu Yunita pada Bastian."Tidak ada apa-apa, Ma. Itu hanyalah perasaan Mama saja. Aku dan Gina tidak ada masalah," bantah Bastian.***Hari ke empat di ruang rawat inap VVIV. Hari ke empat pula aku menemani Bastian dan tak pulang ke rumah. Meski sejujurnya sangat mengkhawatirkan Meysa di rumah.Ketika pukul delapan pagi, aku menyingkap gorden ruangan. Mentari sudah mulai naik, hingga sinarnya menembus kaca dan memberikan kehangatan ke dalam ruangan."Hari ini, Pak Bastian sudah diperbolehkan pulang," kata Dokter usai memeriksa keadaan Bastian pada pukul sepuluh siang.Mendengar itu, seketika aku menyeringai senang. Aku segera menyiapkan perlengkapan untuk dibawa pulang. Bagai hendak pulang liburan, kami berdua nampak antusias."Tar, makasi ya. Kamu suda
"Mama memang selalu memberikan kejutan." Bastian berkata dengan wajah semringah. Sepertinya dia menyukai lokasi berbulan madu yang diberikan mamanya."Kamu menyukai Turki?" Aku pun bertanya tanpa memalingkan tatapan ke arah yang lain."Aku sangat menyukai negara Turki. Itu negara favoritku sejak kecil," jawabnya sambil menganggukan kepala."Maukah kamu pergi ke sana denganku?" imbuhnya."Tentu saja, Bas." Aku menjawab segera.Bastian semakin terlihat melebarkan senyumnya. Sebelah telapak tangannya kembali mengusap pipiku dengan lembut. Sungguh kelembutan usapan tangannya bagaikan aliran listrik yang seketika membuat isi dadaku berdebar tidak karuan."Bas, aku mau mandi dulu ya." Aku pun segera meminta izin. Lagi pula, pakaian pesta pun belum sempat kuganti. Walau pun acara seharian tadi tak membuat tubuhku berkeringat tetap saja aku tidak percaya diri jika tak membersihkan terlebih dahulu.Bastian pun menganggukkan kepalanya. Dia masih tersenyum. Sementara aku segera beranjak dari tem
Sepasang manik ini meneteskan bulir bening, ketika Bastian turun dari tempat duduk kemudian menekuk lututnya di hadapanku. Posisi duduknya seperti tengah memohon padaku."Maukah kamu menikah denganku?" Bastian bertanya padaku dengan tatapan mendalam.Mana bisa aku menolak. Kepala ini segera mengangguk. Terharu dan sangat bahagia."Aku mau," jawabku segera.Laksana kemarau panjang yang diterpa hujan, aku dan Bastian saling melempar senyuman penuh rasa haru dan bahagia.Harapan yang pernah menjadi sebuah angan-angan semata, kini sudah terlihat di depan mata. Bastian benar-benar akan menikahiku. Meski ini bukanlah pernikahan yang bertama, tapi debaran yang luar biasa terasa menghujam jantungku.Setelah lamaran singkat pagi itu, Bastian benar-benar mempersiapkan lamaran yang sesungguhnya. Seperti hari ini ketika weekend dan libur kerja, aku diajak Bastian ke sebuah butik ternama di Jakarta Pusat. Bastian memilah berbagai gaun sebagai contoh untuk aku kenakan nantinya. Dia memilihkan gaun
Satu hari setelahnya, pagi-pagi sekali kendaraan Bastian sudah terparkir di depan rumahku. Tak kusangka dia terlihat seantusias itu.Begitu pintu utama kubuka lebar, Bastian langsung menyeringai senang. Dia mengukir senyuman ketika menatapku."Selamat pagi, Tari. Maaf kalau aku kepagian," sapanya begitu manis."Iya sih, untuk apa datang pagi-pagi begini? Padahal mentari baru saja muncul," sindirku."Karena aku ingin menagih janji penjelasan dari kamu," jawabnya antusias."Tapi apa kamu sudah sarapan, Bas?" Aku memastikan terlebih dahulu.Bastian pun langsung menggelengkan kepalanya. "Belum. Aku berharap bisa numpang sarapan di sini," katanya sedikit bergurau. "Itu pun kalau kamu tak keberatan," sambungnya.Bibir ini seketika melebar sendiri. Aku tersenyum bahagia mendengar gurauan Bastian pagi ini. Ya Tuhan, aku memang selalu jatuh cinta padanya."Tentu saja boleh, Bas. Kebetulan sekali aku sudah masak nasi goreng," balasku.Lagi-lagi Bastian pun menyeringai senang. "Mau banget," kata
"Siapa yang meninggal?"Aku bertanya-tanya sendirian. Mematung terkejut dalam beberapa detik. Kelopak mata pun sampai lupa untuk berkedip. Gegas aku keluar dari kendaraan. Di depan rumah Bastian nampak banyak sekali orang-orang yang memakai pakaian hitam masuk ke dalam rumah mewah nan besar itu. Sepertinya akan melayat. Dadaku bergetar resah. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Semua orang nampak sibuk keluar masuk rumah mewah milik Bastian.Kedua kaki ini hendak masuk, namun seketika harus tertahan tatkala melihat beberapa mobil pick up membawa karangan bunga masuk ke halaman rumah Bastian.Aku harus segera membaca tulisan pada karangan bunga yang baru saja datang, guna mengetahui siapa yang meninggal di rumah Bastian saat ini.Dan ternyata, yang meninggal adalah nenek dari Bastian. Ya Tuhan, kasihan sekali. Bastian pasti sangat berduka.Kemudian aku mengedarkan pandangan, hendak mencari seseorang yang bisa kutanya.Satpam. Pria berseragam secu
"Kapan mereka datang? Rasa-rasanya saya tidak mendengar deru mobil atau pun bell berbunyi." Gegas aku bertanya pada Santi."Mungkin ketika ibu berada di kamar mandi, makanya tak kedengaran suara mobilnya," kata Santi.Napas di dalam dada terasa resah. Setelah memakai pakaian yang rapih, aku keluar dari kamar guna menemui Reyno dan mamanya di ruang tamu."Selamat siang!" Aku menyapa kedua tamuku yang sudah duduk di ruang tamu."Siang, Tari." Mamanya Reyno nampak mengukir senyum padaku. Tapi tidak dengan Reyno.Wajah Reyno nampak ditekuk. Bibirnya menggaris lurus tanpa senyuman yang biasanya dia tampilkan di depanku.Gegas aku duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka, di ruang tamu rumahku."Bagaimana keadaan kamu sekarang, Tar?" Mamanya Reyno langsung bertanya padaku.Aku pun berusaha mengukir senyum pada wanita paruh baya di depanku itu. "Sudah sedikit membaik, Tante," jawabku pelan."Syukurlah." Mamanya Reyno yang ramah nampak menghela napas lega.Namun begitu pandangan beralih
"Tapi apakah Tari mencintai kamu? Masa iya, wanita yang hendak menikah malah turun berat badannya. Wajahnya sampai pucat. Sakitnya malah belum sembuh-sembuh begini. Harusnya calon pengantin itu bahagia, wajahnya bersinar. Ini malah sebaliknya." Suara mamanya Reyno terdengar protes."Aku mencintai Mba Tari, Ma. Tolong jangan persulit keadaan."Jelas terdengar di telingaku, Reyno dan mamanya seperti tengah beradu argumen. Aku tetap memilih diam dan menutup mata. Enggan untuk menimpali mereka berdua."Mama ingin bicara berdua dengan Tari. Tolong kamu keluar sebentar." Sepertinya mamanya Reyno terdengar meminta."Bicara apa, Ma? Mba Tari 'kan masih tidur." Reyno terdengar enggan menuruti permintaan mamanya."Keluar sebentar, Rey. Mama mohon. Mama ingin bicara berdua dengan Tari." Mamanya Reyno kembali meminta."Baiklah, Ma. Tapi aku harap, mama jangan bicara yang aneh-aneh. Aku akan tetap menikah dengan Mba Tari, karena aku mencintainya."Suara langkah kaki meninggalkan ruangan kamarku. S
"Lestari... Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah di dalam pesawat dalam perjalanan menuju Singapura. Untuk waktu yang cukup lama, aku akan tinggal di sana atas permintaan mamaku guna mengurus bisnis keluarga. Aku minta maaf seandainya tak bisa hadir pada pesta pernikahanmu nanti, bukan karena tak merestui, tapi memang ada kendala. Meski pahit, aku merelakanmu bersama Reyno. Aku akan selalu berdo'a pada Tuhan akan kebahagiaanmu. Karena melihatmu bahagia merupakan kebahagiaan bagiku pula. Jangan pernah menangis sendirian di tepi danau, aku tak rela melihat kesedihanmu tumpah sendirian di sana. Salam hangat. Bastian."Setelah membaca surat dari Bastian, air mataku kembali menetes. Napasku lagi-lagi terasa sesak karena isi dada yang kembali terasa sakit.'Bas, kamu benar-benar pergi. Aku minta maaf, Bas. Aku tak bisa menahan niatmu meninggalkan Indonesia,' lirihku dalam hati. Tangisanku kembali tumpah ruah seperti kemarin sore di tepi danau.'Oh, Bastian. Maafkan aku.' hati ini
"Masih apa?" tagih Bastian."Ah, bukan apa-apa." Aku mengelak. Menggelengkan kepala."Bastian, aku juga berharap, semoga kamu mendapatkan jodoh terbaikmu," imbuhku.Kami berdua saling berbalas tatapan mata dalam beberapa detik hingga akhirnya menyudahinya."Meski pun yang aku rasa hanya kamu jodoh terbaikku, tapi Tuhan pemilik kuasa," katanya. Bastian kemudian bangkit dari tempat duduk. "Aku pulang ya. Kamu juga harus segera pulang sebab ini sudah sore. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jaga diri baik-baik. Walau pun aku sudah tak berhak menerima kabar darimu, tapi aku akan merasa bahagia jika kamu masih ingin memberi kabar padaku," lanjutnya."Aku pamit." Setelah pamit, Bastian melangkah, hendak meninggalkanku. Namun baru beberapa langkah saja dia malah menjedanya. Bastian kembali menoleh padaku."Oh ya, Tar. Aku melupakan sesuatu. Aku memang berniat akan datang ke acara pernikahanmu, tapi di waktu yang sama, aku harus pergi ke Singapur dalam jangka waktu yang tak tentu. Ji
Hari berganti. Begitu cepat waktu berputar. Lamaran yang meriah telah terlewat begitu saja. Semua keluarga Reyno telah menghadiri acara yang tak pernah aku inginkan. Tak ada satu pun dari keluarga Reyno yang tak setuju denganku. Semua menyukaiku, termasuk mama papanya. Entah apa yang mereka sukai dariku yang hanya seorang janda.Saat ini, tepat satu minggu sebelum acara pernikahan dengan Reyno. Aku duduk sendirian di tepi danau. Seperti biasa, saat merasa sedih, aku akan selalu datang ke danau yang itu.Di sebuah kursi besi berwarna putih di sana aku duduk sendirian. Tak ada lagi tangisan yang luruh, kecuali saat melihat wajah Bastian.Aku memandang cincin bermatakan batu berlian di jari manisku. Berkali-kali kuusap dan kutatap. Kilauannya tak lantas membuat bibirku merekah. Nyatanya bibir ini masih saja menggaris lurus.Dalam hati risau memikirkan satu minggu yang akan datang, yakni hari pernikahanku. Semua ini nyata, sepertinya aku memang benar-benar akan menikah dengan Reyno. Pria