“Kamu tenang dulu ya, Sayang.” Aksa mengulas senyum tipisnya, menangkup wajah Ocha sembari menghapus pelan air mata Ocha dengan jempolnya. “Kamu jelek kalau menangis,” kata Aksa menyentil hidung Ocha dan tersenyum berusaha menghiburnya. Ocha mengerang sebal, mengalihkan pandangan ke arah lain dan sedikit mendorong tubuh Aksa agar menjauh darinya. Walau pada kenyataannya, Aksa masih berdiri di hadapannya sambil mesem-mesem. Detik berikutnya, pria tampan itu meraih tangan Ocha dan memandanginya iba. “Kita pulang ya. Aku akan mengobati lukamu di rumah.” “Ini gak apa-apa, Mas,” lirih Ocha, ikut memandangi telapak tangannya yang terluka. “Nanti infeksi, Sayang.” “Gak ada yang perlu dikhawatirkan, Mas. Antar aku ke rumah Yaya dulu aja.” Aksa mengernyit. “Dengan keadaan terluka seperti ini? Kita ke klinik dulu membersihkan lukamu, sekalian untuk memastikan itu bahaya apa gak? Setelah itu, kita baru ke rumah Yaya. Deal?” Aksa memberikan pilihan yang tetap ditolak mentah-mentah
Read more