“Hanya saja ....”
Ocha mengerutkan dahi menunggu Karin melanjutkan kalimatnya.“Hanya saja apa, Ma?” tanya Ocha tak sabaran ketika Karin belum kunjung menjelaskan, justru menatapnya dengan Yaya bergantian.“Yaya juga baru tahu kemarin kalau kamu adalah anak kandung Mama. Jadi, masalah ini adikmu gak ada sangkut pautnya, Nak. Kamu jangan benci Yaya, ya.” Karin memberikan nasihat pada Ocha.Ocha pun menunduk sejenak, mengakui diri kalau memang sempat kesal pada Yaya karena pria itu tak mengatakan dari awal tentang status mereka.Ocha berpikir bahwa Yaya terlibat menyembunyikan hal sepenting itu darinya.Tapi, sekarang Ocha sudah tahu, kalau sebenarnya Yaya juga korban. Dia tidak menahu soal hubungan kekeluargaan dengan dirinya.“Mama sebenarnya juga sangat menyesal karena gak memberitahu Yaya dari awal sampai-sampai dia menjatuhkan hati pada kakak kandungnya sendiri.” Karin menarik napas frustrasi. Merasa bersalah, jugaBRAK!“Astagfirullah!” pekik Wina. “Bu kenapa?”Wina mendekati Ocha yang tiba-tiba menjatuhkan ponsel ke lantai. Pengasuh Aqil itu pun sigap memungut ponsel majikannya dan meletakkan di atas nakas.Sementara Ocha, ia masih melongo kaget dan bingung sambil tetap mendekap Aqil yang sedang menyusu dengan eratnya.Ocha terhenyak, matanya perlahan berair. Tak pernah membayangkan kalau akhirnya akan seperti ini? Papanya, tak merestuinya kembali bersama dengan Aksa. Padahal sekarang, Ocha sudah yakin bahwa hatinya benar-benar sudah tertambat dalam pada Aksa. “Bu, apa yang terjadi?” tanya Wina lagi. Akan tetapi, hanya dibalas dengan gelengan pelan oleh Ocha. Setelah Aqil kenyang dengan air susunya, Ocha menyerahkan bocah mungil itu pada Wina, kemudian mengambil ponsel, lantas keluar kamar. Duduk di ruang tamu dengan pikiran yang kalang kabut.Ia mencoba membalas pesan papanya.
Ocha menggelengkan kepalanya pelan sambil menunduk sedih. Nyatanya, ia memang tak tahu apa alasan papanya tak merestui hubungan dengan Aksa, bahkan sebelum mereka sempat meminta izin untuk menikah. Paul hanya mengklaim kalau Aksa tak baik untuk Ocha tanpa menjelaskan kenapa memberikan penilaian seperti itu? Meski terlihat kecewa dan berat untuk menerima, Aksa tetap mencoba tenang. Dia menarik kursi di samping Ocha, lalu mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan wanita yang dicintainya sambil menatapnya lekat. Dia berusaha menenangkan lewat sorot mata teduhnya. Walau nyatanya, Aksa juga tengah rapuh dan kebingungan sekarang. Entah di mana masalahnya, mengapa niat baiknya tiba-tiba terhalang izin orang tua? “Kita cari jalan keluarnya sama-sama ya. Om Paul orangnya sangat tegas dan berwibawa. Jadi, gak mungkin memutuskan sesuatu tanpa alasan. Jadi, kamu tenang dulu. Nanti kita temui Papa dan bicara baik-baik,” tutur Aksa lembut. Berusaha tersenyum sambil menghapus air
“Pa ... udah, Pa. Cukup!” teriak Ocha seraya mendorong tubuh papanya itu agar melepas cengkeramannya dan menjauh dari Aksa. Untungnya, karena usahanya kali ini berhasil. Sang papa menjauh, walau masih terlihat belum puas dengan apa yang telah dilakukan? Sudah sangat lama Paul ingin menghantam Aksa untuk membayarkan sakit hati putrinya. Hanya saja, selama itu pula, ia tak pernah bertemu dengan Aksa secara langsung. Baru sekarang bertemu setelah kejadiannya sudah lewat beberapa bulan, tapi Paul tetap merasa tak bisa menyia-nyiakan kesempatan untuk membayar kontan perbuatan Aksa pada Ocha. Sementara Aksa, dia memilih tak melawan, meski dirasa mampu. Dia berpikir mungkin Paul sengaja melampiaskan sakit hati Ocha padanya atas perbuatannya selama ini yang telah menyakiti Ocha. Lagian, ayah mana yang tak kecewa dan marah melihat putri yang sangat disayangi justru disakiti oleh pria lain yang justru bergelar suami? Aksa sadar telah menyakiti Ocha dan pantas untuk mendapatkan
Ketiga pasang mata yang berada di ruang tamu itu sontak menoleh ke arah sumber suara. Nathan pun juga perlahan melangkah masuk ke rumah dengan raut penuh tanya. Dia menatap Ocha dan Paul bergantian. Seolah meminta penjelasan atas apa yang baru saja didengar?“Kenapa diam, Pa?” tanya Nathan menatap tajam papanya yang seakan langsung kehilangan kata-kata begitu melihatnya. “Apa benar yang dikatakan Mbak Ocha?”Paul menggelengkan kepalanya pelan. Berjalan meraih tubuh Nathan untuk menenangkannya. “Nathan, mana mungkin Papa seperti itu? Kakakmu hanya salah paham dengan semua ini.”Di sisi lain, Ocha menyeringai miris. Bahkan, saat seperti ini pun sang papa masih mengelak dan berusaha membela dirinya. Entah seperti apa warna asli sang papa? Ocha jadi merasa tak mengenal papanya sendiri.Sementara itu, Nathan menatap Ocha dan bertanya penuh penekanan. “Mbak, tolong katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Apa benar Papa
Karin yang semula berdiri menggendong cucu pertamanya itu, lantas beralih duduk di sebelah Ocha. “Loh, kenapa tanya Mama? Yang perlu kamu tanya itu dirimu sendiri. Hatimu berkenan gak buat rujuk sama dia?” tanya Karin lembut. Ocha diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Mas Aksa walaupun ngeselin waktu kami kecil, tapi dia punya sisi baiknya, Ma. Meskipun juga terkadang dingin sama orang, tapi kalau misal kami cuma berdua, dia juga bisa lembut,” ungkap Ocha.“Aku berpikir, gak ada salahnya untuk memberinya kesempatan. Apalagi, sekarang aku gak bisa mikirin diri sendiri, Ma. Ada Aqil yang butuh papanya,” imbuh Ocha.Karin mengangguk paham. “Kalau kamu sudah yakin, lalu tunggu apa lagi? Dilanjutkan saja. Kamu yang berhak menentukan mau apa gak sama dia? Orang lain gak bisa mencampuri, sekalipun orang tua kamu.”“Kamu bukan lagi seorang gadis pertama kali nikah, yang harus butuh izin orang tua, Nak. Sekarang, orang tuamu yang haru
Paul baru saja tiba di rumahnya setelah pulang dari rumah Ocha.Tadinya, ia hendak menuju kantor, tetapi Laras menghubunginya kalau Nathan datang ke rumah dan marah besar.Paul tahu pasti kalau Nathan marah persoalan di rumah Ocha tadi. Pria berkacamata bening tersebut terpaku sejenak begitu membuka pintu dan menemukan rumah dalam keadaan berantakan.Asisten rumah tangga mereka sudah mulai membersihkan kepingan bekas pecahan kaca dan pas bunga yang berserakan di mana-mana.Paul merasa marah dengan perbuatan Nathan, tapi juga tak dapat melakukan apa-apa sekarang, selain menenangkan dirinya. “Pa, kau sudah pulang?” Laras menghampiri sang suami dengan raut cemas. “Nathan tadi marah dan membuat rumah berantakan seperti ini. Tapi, aku mohon ... kamu gak perlu memarahinya nanti ketika pulang,” mohon Laras. Dia tahu betul, Paul akan marah jika Nathan berbuat onar.Ah, anak itu memang selalu memancing amarah papanya
Ketika jam pulang kerja tiba, seperti biasa Yaya akan langsung pulang dan istirahat. Namun, saat dia hampir sampai di parkiran, langkahnya tiba-tiba terhenti begitu melihat seorang gadis yang dikenalinya tengah duduk di atas motornya tepat di sebelah motor Yaya. “Astaga, gadis itu. Ngapain lagi dia di sini?” gerutu Yaya sambil mengusap wajah dengan kasar. Ayub yang juga hendak pulang tak sengaja melihat Yaya dengan pandangan lurus ke depan bak orang tertekan.Dia pun menghampiri Yaya. “Ditungguin, tuh! Sekali-kali ditanggepin. Takutnya lu baru nanti nyesel kalau dia berhenti ngejar lu,” goda Ayub.“Gue bingung harus gimana?” Yaya bertanya dengan nada suara yang sangat pelan, tetapi masih sampai terdengar di telinga Ayub. Ayub pun tersenyum nakal. “Bingung kenapa? Bingung mulainya dari mana?”“Gak, bingung gimana biar dia berhenti gangguin idup gue!” geram Yaya.“Why? Lu gak suka dia atau gimana? Di
Lily masih duduk gelisah pada salah satu meja di sudut kafe yang ramai, tapi ia justru sepi karena hanya duduk seorang diri.Kedua matanya terus-menerus melirik ke arah pintu. Jarum jam berputar dan pasti akan semakin larut nantinya, dan Yaya masih juga belum datang. “Di mana dia?” gumam Lily sambil memeriksa ponsel untuk kesekian kali. Tidak ada pesan baru dari Yaya. “Setidaknya kalau gak mau datang, berkabar dong.” Lily mulai kesal, tapi juga berusaha untuk tenang.Dia terdengar menarik napas putus asa. Mengambil ponsel dan tasnya dari atas meja, berniat untuk pulang. “Mungkin dia memang gak berniat untuk datang,” bisiknya pada diri sendiri. Lily bangkit dari kursinya. Namun, tepat saat ia hendak melangkah sebuah suara juga memanggilnya.“Lily!” Suara Yaya terdengar jelas.Sontak, Lily berbalik dan melihat Yaya berdiri tak jauh dari belakangnya.Sesaat, pandangan keduanya beradu dalam kejauhan.
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok