Home / CEO / Pengawal Misterius Nona Pewaris / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Pengawal Misterius Nona Pewaris: Chapter 11 - Chapter 20

111 Chapters

11. Perhatian Prince

"Maaf, tolong jangan salah paham. Aku tidak bermaksud menggodamu. Itu hanya reaksi spontan. Wajahmu memerah dan berkeringat. Aku hanya membantumu untuk tetap tampil maksimal di depan orang-orang. Dan jangan khawatir. Sapu tangan ini bersih. Aku belum sempat memakainya." Prince menunjukkan sapu tangan hitamnya sekilas sebelum menyimpannya ke dalam saku. Melihat kecanggungan pria itu, Emily cepat-cepat memalingkan wajah. Sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga, ia menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, aku bisa memaklumi itu. Oh lihat! Rombongan wisatawan tadi sudah naik. Ayo cepat kita susul!" Melihat Emily berjalan malu-malu, Prince mengulum senyum. "Jadi," ia berjalan di sisinya, "siapa yang kau cari, Nona? Bagaimana ciri-cirinya? Siapa tahu, aku bisa membantu. Pengamatanku ini tajam, kau tahu?" Emily melirik tipis. Selang perenungan singkat, ia akhirnya membeberkan, "Namanya Sky. Matanya hijau. Rambutnya keriting. Dia sedikit lebih pendek dariku, tapi tenaganya jauh lebi
Read more

12. Pesona Prince

Selama duduk di restoran, Emily lebih banyak termenung dan terpaku. Prince tidak berani mengganggunya. Ia lebih memilih untuk menunggu sampai Emily kembali ceria. Beruntung, saat salad datang, senyum manis kembali terbit di wajah cantiknya. "Merci," ucap Emily seraya mengamati piring-piring yang baru diletakkan di meja. Setelah pelayan pergi, ia langsung berdoa dan menikmati suapan pertama dengan mata terpejam. "Oh, aku tidak salah pilih," gumamnya sembari menggeleng samar. Ketika matanya kembali membuka, ia langsung menunjuk piring di depan Prince. "Cobalah! Ini enak. Kau harus makan yang banyak agar bisa menjagaku dengan baik." Prince tersenyum simpul. "Meskipun aku lapar, aku akan tetap menjaga bosku dengan baik." Ia mencicipi saladnya. "Tapi kau butuh tenaga untuk melawan penjahat kalau-kalau dia muncul tiba-tiba. Apa perlu kupesankan steak untukmu? Kamu butuh protein." Kali ini, Prince gagal menyembunyikan tawa. "Itu memang kesukaanku. Bagaimana kalau kita pesan satu po
Read more

13. Kabar Buruk

"Terima ini, Perempuan Tak Tahu Diri!" Emily terbelalak. Ia cepat-cepat memalingkan muka. Sebisa mungkin, ia berusaha menghalau kopi dengan lengannya. Namun, detik berikutnya, bukan rasa panas yang ia terima, melainkan pekikan si wanita muda. "Hei! Apa-apaan ini? Dia sudah berpaling darimu. Kenapa kau malah melindunginya? Lihat gaunku! Kau merusaknya!" Emily menoleh. Baki yang sebelumnya dipegang oleh si pelayan kini telah berada di tangan Prince. Kopi menetes dari tepiannya. Mengetahui pria itu telah berhasil melindunginya lagi, rasa hangat memenuhi hati Emily. "Nona Harper, Anda baik-baik saja?" Suara lembut Prince membuyarkan lamunan. Setelah mengerjap, Emily tertunduk memeriksa pakaian. Tidak ada setitik kopi pun mengenainya. "Ya, aku baik-baik saja." Prince menghela napas samar. Emily dapat dengan jelas melihat kelegaannya. Sementara itu, suami si wanita muda akhirnya bangkit dari kursi. Ia mendekat sembari meringis. "Baby, sudahlah. Jangan membuat masalah lagi. B
Read more

14. Terjatuh

"Nona Harper, kau baik-baik saja?" tanya Prince lirih. Emily mengerjap. Ia sadar butiran air mulai mengganjal matanya. "Anda yakin, Monsieur? Berdasarkan informasi yang saya punya, Sky seharusnya masih bekerja di sini." Emily mengabaikan pertanyaan Prince. Sorot mata sendunya hanya tertuju pada si penjaga kastil. "Ya, saya juga heran mengapa dia berhenti begitu mendadak. Kemarin pagi, dia masih memandu timnya dan menyapa saya dengan ceria. Tapi siang harinya, dia malah berpamitan." Emily spontan memegang kepala. Pikirannya mendadak penuh dan terasa berat. "Ke mana ...." Suaranya tersekat. "Ke mana dia pergi?" Sang Monsieur menggeleng samar. Matanya menyipit, memeriksa ingatan. "Saya kurang tahu, Mademoiselle. Tapi sepertinya, ini ada hubungannya dengan Summer. Sejak cuaca semakin dingin, dia terlihat kurang sehat. Mungkin, Sky membawanya ke ...." Pria itu menghentikan bicaranya. Ia merasa tidak ada simpati di mata Emily. Gadis cantik itu hanya tertarik dengan keberadaan Sky.
Read more

15. Terjebak Badai

"Monsieur," Emily mengetuk pintu untuk yang kesekian kali. "Apakah Anda di dalam? Saya mohon, bukalah pintu. Dengarkan penjelasan saya. Monsieur?" Sama seperti sebelumnya, tidak ada jawaban yang terdengar. Emily menghela napas pasrah. "Inikah tempat tinggalnya? Kenapa seperti tidak ada orang?" desahnya sembari memperhatikan bangunan kokoh di depan mereka. Tangannya sesekali bergerak merapikan rambut yang tertiup angin ke depan muka. Prince beralih dari ponselnya. Ia mengangkat pandang, bergumam, "Jendela atas kelihatan gelap. Sepertinya Madame tadi salah memberikan arah. Bagaimana kalau kita lanjut mencari Monsieur itu besok pagi?" Emily merenung sesaat. Ia mendongak ke langit malam. Tidak ada satu pun bintang di sana. Yang ada justru kilatan cahaya yang datang dari arah lautan. "Kau benar. Kita sebaiknya melanjutkan misi besok pagi. Ayo kembali ke hotel sebelum hujan tiba," angguknya lemah. "Bukan hujan, tapi badai," celetuk Prince sembari menyimpan ponsel ke dalam sak
Read more

16. Berbagi Kehangatan

Sekeluarnya dari kamar mandi, Emily langsung merapatkan jubah. Ia tidak mengenakan apa pun di balik kain putih itu. Saat pandangan Prince tertuju padanya, sekujur sarafnya menegang. "Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?" tanya pria itu sembari menghampiri. Emily spontan menarik napas lebih dalam. Ia khawatir detak jantungnya meningkat. Entah mengapa, wajah si pengawal terlihat lebih tampan dengan pencahayaan yang kurang. "Airnya dingin, jubah mandinya tipis, dan hair dryer-nya tidak berfungsi dengan baik. Rambutku jadi tidak benar-benar kering," gerutu Emily sebelum melipat tangan di depan dada. Ia menyesal telah memberikan pernyataan kedua. "Kita punya stok handuk lebih. Gunakan saja sebanyak yang kau butuh. Aku hanya perlu satu. Kau bisa membungkus tubuh atau mengeringkan rambut dengan itu." Sementara Emily mengangguk-angguk, Prince meruncingkan telunjuk. "Bagaimana kakimu? Sudah sembuh?" Mata Emily sontak melebar. "Aku bahkan lupa kalau aku sempat jatuh. Lihat! Ka
Read more

17. Buaya Vegetarian

"Aku melakukan ini demi bertahan hidup, bukan untuk mengkhianati Cayden. Lagi pula, kami hanya akan bersentuhan. Tidak akan terjadi apa-apa," batin Emily selama melucuti jubah. Setelah mempersiapkan posisi, ia berkata, "Masuklah!" Ia berbalik memunggungi Prince. Tangannya terkepal erat di depan dada, berjaga-jaga kalau ada jemari nakal yang hendak melewati batas. Namun, begitu kulit Prince menyentuhnya, kekhawatirannya lenyap. Pria itu hanya menempelkan dada ke punggungnya. Masih ada jarak untuk bagian bawah. Tangannya yang menyelinap di ceruk leher Emily berakhir di lengan sang gadis. Sementara tangannya yang lain dengan sopan menangkup kedua tangan Emily seolah melindunginya dari dingin. "Apakah begini sudah cukup? Kau merasa nyaman?" bisiknya, membuat bulu kuduk Emily meremang. "Y-ya." Bola mata Emily bergerak-gerak sementara dirinya mengatur napas. "S-sekarang tidurlah. Kita harus melanjutkan misi begitu badai reda." "Ya. Semoga badainya tidak berlangsung lama. Selam
Read more

18. Mengandalkan Prince

Selesai mandi, Emily keluar dengan canggung. Ia tidak tahu harus bagaimana berinteraksi dengan Prince. Ia bahkan berlari saat memasuki kamar mandi tadi. Namun, mendapati kamar yang kosong, ia terperangah. "Ke mana dia pergi? Kenapa tidak meminta izin dariku?" gumam Emily heran. Ia tidak sadar kalau bibirnya cemberut. Dengan langkah lesu, Emily menghampiri meja. Secarik kertas tertempel pada cangkir di sana. "Minumlah cokelat ini selagi hangat. Aku akan kembali sebelum sarapan tiba. Jangan membuka pintu untuk siapa pun selain aku." Sudut bibir Emily terangkat tipis. "Dia itu pengawal atau suami? Kenapa pesannya manis sekali?" Setelah mencopoti kertas, Emily menikmati cokelatnya dengan perlahan. Ia merasa begitu damai hingga tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar. "Siapa?" Emily beranjak dari kursinya. "Sarapan, Mademoiselle." Mata Emily seketika berbinar. Tangannya bergerak santai menuju gagang pintu. Namun, teringat akan pesan dari Prince, ia tidak jadi membukanya. "Me
Read more

19. Perhatian Emily

"Tanganmu berdarah?" Emily cepat-cepat mendudukkan pengawalnya di kursi. "Apakah jahitannya terbuka?" Prince mengedikkan bahu. "Entahlah. Mungkin karena aku terlalu banyak bergerak. Mungkin juga karena basah." "Apakah sakit?" "Tidak. Akh ...." Prince meringis karena Emily menekan lukanya. "Sekali lagi kau membohongiku, aku akan menggigit jarimu sampai putus." Prince tertawa mendengar ancaman tersebut. "Kurasa kau tidak akan tega melakukan itu. Hatimu terlalu lembut, Princess." "Jangan coba-coba merayuku. Aku tidak akan luluh," tegas Emily sebelum merebut salep Prince dan mempelajari petunjuk penggunaannya. Meskipun tertulis dalam bahasa Perancis, ia tetap mengerti. "Kau membeli perban dan plesternya juga, kan?" Ia memeriksa plastik belanjaan. Prince mengangguk. "Kalau begitu, cepat ganti baju. Setelah itu, biar aku merawat lukamu." Prince tertegun. Untuk pertama kalinya, ia merasa Emily perhatian kepadanya. Tak ingin Emily melihat senyumnya, ia cepat-cepat
Read more

20. Pegangi Aku

"Kenapa, Monsieur? Kenapa aku tidak boleh mengetahui keberadaan Sky?" tanya Emily dengan raut resah. "Karena dia tidak menginginkan hal itu." Pundak Emily bertambah berat. Napasnya juga. "Tapi aku sangat ingin bertemu dengan Sky. Ada beberapa hal penting yang harus kutanyakan kepadanya. Tidak bisakah Anda membantu saya, Monsieur?" Mendengar suara serak Emily, si pria tua mulai merasa iba. "Memangnya apa yang mau kau tanyakan kepadanya?" Napas Emily tersendat. Ia melirik ke arah Prince, ragu sejenak. "Hanya Sky yang tahu di mana Cayden berada," jawabnya kemudian dengan kepala tertunduk dan mata terpejam. Prince seketika terbelalak. Kerongkongannya tersekat. Namun, ia berusaha keras untuk tidak menampakkan keheranan. Sementara itu, sang Monsieur mengernyitkan dahi. "Siapa Cayden?" Emily tersenyum pahit. Sambil menegakkan kepala, tatapannya berubah nanar. "Dia adalah pria masa depanku. Kami berjanji untuk bertemu lagi. Tapi sampai sekarang, dia belum juga datang.
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status