Home / CEO / Pengawal Misterius Nona Pewaris / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Pengawal Misterius Nona Pewaris: Chapter 21 - Chapter 30

111 Chapters

21. Siapa Prince Sebenarnya?

"Prince," Emily mengguncang lengan pengawalnya, "jawab aku. Siapa sebenarnya nama aslimu? Apakah kau Cayden?" Prince bergeming dalam hening. Bola matanya bergetar menyelami manik abu milik Emily. "Jawab, Prince. Siapa kamu sebenarnya? Kamu adalah Cayden, kan?" Suara Emily semakin penuh tekanan. Tiba-tiba saja, Prince mendesahkan tawa. "Kau menganggapku Cayden lagi? Apakah kau berharap cinta pertamamu setampan diriku?" "Aku sedang tidak bercanda, Prince! Kalau kamu bukan Cayden, mustahil kamu tahu tentang janji itu." Melihat mata merah Emily, Prince mengembalikan raut seriusnya. Ia menyesal telah berusaha mengalihkan pembicaraan dengan candaan. "Maaf kalau aku mengecewakanmu, Nona Harper. Tapi, kau sendiri yang memberitahuku soal itu." "Tidak! Aku tidak pernah memberitahumu!" "Ya," angguk Prince dengan tatapan dalam. "Kau menyebut itu saat mengigau semalam. Kau terus bertanya mengapa Cayden masih belum menepati janjinya. Aku tahu dari situ." Emily menghela napas t
Read more

22. Tidak Mau Digigit

"Maaf." Lidah Prince terasa kelu. "Aku hanya ingin menghiburmu. Sekarang, apakah kau masih ingin melanjutkan misi?" Emily melirik sinis. "Tentu saja. Aku akan menemui Sky, bertanya di mana Cayden. Begitu dia menunjukmu, aku akan langsung mencekikmu sampai kau kehabisan oksigen." Prince tidak lagi membalas. Ia hanya menghela napas, menginjak pedal gas lebih dalam. Ia tidak tahu bahwa sikapnya justru membuat Emily semakin kesal. Setibanya di tujuan, Prince membuka pintu mobil untuk Emily. Ia menawarkan tangan seperti biasa. Akan tetapi, Emily tidak menyambut ulurannya. Gadis itu turun sendiri, masih dengan raut jengkel. "Kalau kau bukan Cayden, jangan terlalu peduli padaku," gumamnya sinis. Prince hanya bisa mendesah pasrah. Namun, melihat ke mana arah Emily melangkah, ia bergegas menutup pintu dan mengejarnya. "Nona Harper." Emily tidak menyahut. "Nona Harper!" "Apa?" Emily berbalik dengan mata terpelotot. Prince menelan ludah dibuatnya. "Rumahnya ada di sebelah sana
Read more

23. Petunjuk Penting

"Dear Emily, Maaf aku menghindar lagi darimu. Aku sebetulnya juga ingin bertemu denganmu, tapi nanti. Bukan sekarang. Masih ada hal yang harus kubereskan. Begitu semuanya selesai, aku pasti akan menemuimu lagi. Jadi tolong, jangan mengikutiku lagi. Pulang dan selesaikan urusanmu. Kasihan Louis kalau kau kabur begini. Lalu tentang Cayden, kalau boleh aku memberimu saran, jangan menunggu ataupun mencarinya lagi. Kau sebaiknya membuka hati untuk pria lain yang lebih pasti." Emily menghela napas tak percaya. Kekesalan terbit di matanya. "Apakah Louis membayarnya untuk menyampaikan pesan ini? Bagaimana mungkin Sky sependapat dengannya? Dia yang sejak dulu paling mendukungku dengan Cayden," gerutu Emily. Prince yang sedari tadi mengintip cepat-cepat meluruskan punggung lagi. Tarikan napasnya berat, kepalan tangannya mengerat. Ia kini semakin yakin dengan apa yang telah Sky temukan. "Nyonya, benarkah Sky yang menulis ini? Ini tidak seperti dirinya." Emily memajukan posisi d
Read more

24. Kemungkinan Lain

"Bicara apa kau ini? Kau adalah pengawalku. Selama misi ini belum berakhir, tentu saja kau harus pergi ke mana pun aku pergi. Di samping itu, aku tidak akan membiarkan kau kabur. Setelah bertemu Cayden nanti, aku akan melemparmu ke hadapannya. Biar dia yang memberimu pelajaran karena sudah berpura-pura menjadi dirinya," tutur Emily ketus. Prince sampai terbelalak dibuatnya. "Aku tidak berpura-pura. Kau saja yang menyimpulkan—" "Jadi, kau punya visa NZ atau tidak?" potong Emily. Bibir Prince mengerucut. "Kebetulan sekali, tahun lalu, aku sempat hunting foto di sana. Visaku masih berlaku." Mata Emily membulat. Tahun lalu, ia juga pergi ke NZ. Tak ingin menambah asumsi, ia beranjak dari kursi. "Kalau begitu, ayo berangkat. Jangan menyia-nyiakan waktu. Perjalanan ke sana cukup lama. Waktuku terbatas." Belum sempat Emily melangkah, Prince menahan lengannya. "Kau mau kugendong lagi?" Mata Emily melebar. Ia tidak menyangka Prince berani meledeknya. "Kau pikir aku ini anak kecil?
Read more

25. Terlalu Gegabah

"Prince, apakah kau punya saudara laki-laki?" tanya Emily lirih. Alis Prince meninggi. Tubuhnya mematung sejenak. Ia seperti tidak menyangka datangnya pertanyaan itu. Namun, selang satu kedipan, ia mendengus. "Kau menggali informasi tentangku lagi? Kau sepenasaran itu terhadapku?" "Jangan bertele-tele. Jawab saja apa yang kutanyakan." "Akan kujawab kalau kau bersedia—" Tiba-tiba, Emily menggebrak dasbor. Prince sampai tersentak dibuatnya. "Kenapa kau selalu mengalihkan pembicaraan setiap aku menanyakan tentang keluargamu? Apa susahnya menjawab pertanyaanku?" Bibir Prince mengerucut. Rautnya lugu. "Aku bukan tipe orang yang suka menyebarkan informasi pribadi. Kalau kau mau tahu banyak tentangku, kau harus dekat dulu denganku. Apakah kau bersedia menjadi orang spesial itu?" Emily mendengus. Sebelah pipinya berkedut. "Jadi kau tidak mau memberitahuku?" Prince menggeleng lambat. Melihat itu, Emily mendadak merasa lelah. Sangat lelah. Terlalu banyak perasaan bercampur ad
Read more

26. Ciuman Pertama Emily

"Nona Harper? Ada apa? Nona Harper?" Prince kebingungan melihat Emily berlari sembari menutup mulut. Tanpa menunggu jawaban, ia ikut berlari, mengejar hingga ke depan toilet. "Nona Harper? Kau baik-baik saja?" Prince mengetuk. Ternyata, pintu tidak tertutup rapat. Khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Emily, ia pun ikut masuk. Di dalam, Emily sedang terbatuk-batuk. Beberapa kali ia meludah. Tangannya yang mencengkeram botol minum tampak gemetar, takut. "Nona Harper, apa yang terjadi? Apakah ada sesuatu yang aneh di dalam makananmu?" Prince meraih pundak gadis yang membungkuk itu. Emily bergegas mengelap mulut. "Udang .... Ada udang dalam bola-bola itu." Sementara Emily kumur-kumur, Prince membeku. "Kau alergi udang?" bisiknya ketika mendapat kesimpulan. Emily mengangguk. "Apakah biasanya reaksimu parah?" Prince memperhatikan wajah Emily dengan lebih saksama. "Aku pernah dilarikan ke IGD saat berumur dua tahun dulu," jawab sang gadis sebelum mengecap-ngec
Read more

27. Melampiaskan Kerinduan

"Kau belum mau tidur?" tanya Prince membuat Emily semakin gugup. "B-belum. Pekerjaanku masih banyak dan aku belum mengantuk. Kau tidur saja dulu." Emily melirik malu-malu. Prince pun mendesah samar. "Baguslah. Dengan begitu, kita bisa gantian berjaga. Bangunkan aku kalau kau sudah mau tidur." Kecanggungan Emily seketika tergantikan oleh keheranan. "Bukankah di sini aman? Untuk apa kita gantian berjaga?" "Ada baiknya kalau kita tetap waspada. Jangan lengah, mengerti? Segera bangunkan aku kalau ada sesuatu yang mencurigakan." Emily mengangguk kecil. Kemudian, sementara Prince mengatur posisi berbaring, ia berpura-pura fokus pada tabletnya. Setelah pria itu terpejam, barulah ia berani menoleh. "Bagaimana mungkin dia bisa bersikap sesantai itu? Apakah kejadian tadi sama sekali tidak berdampak padanya? Apakah karena dia sudah sering mencium—menyentuh bibir para gadis?" pikir Emily, sedikit kesal. Tiba-tiba, matanya tertuju pada bibir Prince. Tangannya tanpa sadar bergerak meny
Read more

28. Melewati Batas

"Kau tahu?" Prince berbisik di sela desah napasnya yang menggoda. "Aku sudah berusaha menahan diri sebaik mungkin, tapi kau terus mendesakku untuk melewati batas." "Apa?" balas Emily lirih. "Apa yang membatasimu untuk mendekatiku? Apa yang membuatmu ragu?" Prince menyelami manik abu Emily dengan tatapan sayu. Ibu jarinya mengelus pipi sang gadis dengan lembut. "Bisakah kau bersabar?" Emily mendengus. Sambil memalingkan pandangan, ia menyibak tangan Prince dari lengannya. "Kenapa kau terus memintaku bersabar? Aku benar-benar sudah lelah, Prince. Aku tidak bisa lagi menahan rasa penasaranku lebih lama. Kenapa kau tidak mengaku saja bahwa kau adalah Cayden?" Prince menggertakkan geraham. "Aku tidak bisa. Aku bukan—" "Kau Cayden, kan?" desak Emily, dengan raut paling serius. Prince menelan ludah pahit. "Maaf, Nona Harper. Tolong jangan menganggapku Cayden." Emily sontak melayangkan pukulan ke arah Prince. Beberapa kali ia menghantam dada bidang itu dengan kepalan ta
Read more

29. Pria Genit

"Maaf, saya sedang ingin sendiri. Saya harap Anda bersedia memberi saya ruang. Terima kasih," tutur Emily, dingin dan cenderung ketus. Sayangnya, hal itu justru membuat si pria asing merasa tertantang. "Karena itukah Anda bepergian seorang diri?" Ia menaruh tangan di atas meja Emily. Sambil bersandar, ia memainkan alis. "Jarang ada wanita seberani Anda, Nona. Saya salut pada Anda." Emily memutar bola mata. Ia benar-benar malas menanggapi pria itu. Sambil membawa tablet dan bukunya, ia bergeser ke kursi Prince. Namun, tepat ketika ia hendak meraih tas, si pria asing sudah lebih dulu menempati kursinya tadi. "Hei? Kenapa kau duduk di kursiku?" Emily tidak lagi menaruh respek. Tatapannya berubah sinis. Bukannya merasa bersalah, sang pria malah bertopang dagu dan memperhatikan wajah Emily dengan senyum tipis. "Bukankah ini yang kau mau? Kau sengaja bergeser untuk memberiku tempat di sampingmu." Sudut bibir Emily berkedut jijik. "Tolong jangan macam-macam. Aku tidak akan se
Read more

30. Menerima Tantangan

"Apakah sakit? Dia mencengkeram pergelangan tanganmu begitu erat tadi," tanya Prince dengan suara yang sangat lembut. Emily pun melirik. Prince ternyata sedang memeriksa tangannya dengan teliti. Ia sama sekali tidak seperti sedang berakting. Di kursi lain, seorang pria sedang mengamati mereka dengan tatapan iri. Rautnya masam, bibirnya mencibir. Tiba-tiba, Prince mengecup pergelangan tangannya. Emily pun tersentak. Matanya melebar. Hatinya seketika memanas. Ia merasa Prince mencuri kesempatan. Namun, melihat senyum tulus di wajah tampan itu, omelannya tertahan. "Kenapa tidak kau tinju saja mukanya? Kau terlalu baik saat melawan. Lain kali, jangan hanya menggertak. Hajar saja setiap laki-laki yang kurang ajar padamu. Mengerti?" Emily berkedip-kedip menahan air mata. Bibirnya gemetar. Gejolak dalam hati yang sempat reda kini kembali bangkit. Namun, ia tidak mau membahasnya. Penyamaran mereka bisa terbongkar kalau mereka bertengkar. "Kaulah yang terlambat datang. Kau seharu
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status