Semakin dekat kita dengan Sky ....
"Bicara apa kau ini? Kau adalah pengawalku. Selama misi ini belum berakhir, tentu saja kau harus pergi ke mana pun aku pergi. Di samping itu, aku tidak akan membiarkan kau kabur. Setelah bertemu Cayden nanti, aku akan melemparmu ke hadapannya. Biar dia yang memberimu pelajaran karena sudah berpura-pura menjadi dirinya," tutur Emily ketus. Prince sampai terbelalak dibuatnya. "Aku tidak berpura-pura. Kau saja yang menyimpulkan—" "Jadi, kau punya visa NZ atau tidak?" potong Emily. Bibir Prince mengerucut. "Kebetulan sekali, tahun lalu, aku sempat hunting foto di sana. Visaku masih berlaku." Mata Emily membulat. Tahun lalu, ia juga pergi ke NZ. Tak ingin menambah asumsi, ia beranjak dari kursi. "Kalau begitu, ayo berangkat. Jangan menyia-nyiakan waktu. Perjalanan ke sana cukup lama. Waktuku terbatas." Belum sempat Emily melangkah, Prince menahan lengannya. "Kau mau kugendong lagi?" Mata Emily melebar. Ia tidak menyangka Prince berani meledeknya. "Kau pikir aku ini anak kecil?
"Prince, apakah kau punya saudara laki-laki?" tanya Emily lirih. Alis Prince meninggi. Tubuhnya mematung sejenak. Ia seperti tidak menyangka datangnya pertanyaan itu. Namun, selang satu kedipan, ia mendengus. "Kau menggali informasi tentangku lagi? Kau sepenasaran itu terhadapku?" "Jangan bertele-tele. Jawab saja apa yang kutanyakan." "Akan kujawab kalau kau bersedia—" Tiba-tiba, Emily menggebrak dasbor. Prince sampai tersentak dibuatnya. "Kenapa kau selalu mengalihkan pembicaraan setiap aku menanyakan tentang keluargamu? Apa susahnya menjawab pertanyaanku?" Bibir Prince mengerucut. Rautnya lugu. "Aku bukan tipe orang yang suka menyebarkan informasi pribadi. Kalau kau mau tahu banyak tentangku, kau harus dekat dulu denganku. Apakah kau bersedia menjadi orang spesial itu?" Emily mendengus. Sebelah pipinya berkedut. "Jadi kau tidak mau memberitahuku?" Prince menggeleng lambat. Melihat itu, Emily mendadak merasa lelah. Sangat lelah. Terlalu banyak perasaan bercampur ad
"Nona Harper? Ada apa? Nona Harper?" Prince kebingungan melihat Emily berlari sembari menutup mulut. Tanpa menunggu jawaban, ia ikut berlari, mengejar hingga ke depan toilet. "Nona Harper? Kau baik-baik saja?" Prince mengetuk. Ternyata, pintu tidak tertutup rapat. Khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Emily, ia pun ikut masuk. Di dalam, Emily sedang terbatuk-batuk. Beberapa kali ia meludah. Tangannya yang mencengkeram botol minum tampak gemetar, takut. "Nona Harper, apa yang terjadi? Apakah ada sesuatu yang aneh di dalam makananmu?" Prince meraih pundak gadis yang membungkuk itu. Emily bergegas mengelap mulut. "Udang .... Ada udang dalam bola-bola itu." Sementara Emily kumur-kumur, Prince membeku. "Kau alergi udang?" bisiknya ketika mendapat kesimpulan. Emily mengangguk. "Apakah biasanya reaksimu parah?" Prince memperhatikan wajah Emily dengan lebih saksama. "Aku pernah dilarikan ke IGD saat berumur dua tahun dulu," jawab sang gadis sebelum mengecap-ngec
"Kau belum mau tidur?" tanya Prince membuat Emily semakin gugup. "B-belum. Pekerjaanku masih banyak dan aku belum mengantuk. Kau tidur saja dulu." Emily melirik malu-malu. Prince pun mendesah samar. "Baguslah. Dengan begitu, kita bisa gantian berjaga. Bangunkan aku kalau kau sudah mau tidur." Kecanggungan Emily seketika tergantikan oleh keheranan. "Bukankah di sini aman? Untuk apa kita gantian berjaga?" "Ada baiknya kalau kita tetap waspada. Jangan lengah, mengerti? Segera bangunkan aku kalau ada sesuatu yang mencurigakan." Emily mengangguk kecil. Kemudian, sementara Prince mengatur posisi berbaring, ia berpura-pura fokus pada tabletnya. Setelah pria itu terpejam, barulah ia berani menoleh. "Bagaimana mungkin dia bisa bersikap sesantai itu? Apakah kejadian tadi sama sekali tidak berdampak padanya? Apakah karena dia sudah sering mencium—menyentuh bibir para gadis?" pikir Emily, sedikit kesal. Tiba-tiba, matanya tertuju pada bibir Prince. Tangannya tanpa sadar bergerak meny
"Kau tahu?" Prince berbisik di sela desah napasnya yang menggoda. "Aku sudah berusaha menahan diri sebaik mungkin, tapi kau terus mendesakku untuk melewati batas." "Apa?" balas Emily lirih. "Apa yang membatasimu untuk mendekatiku? Apa yang membuatmu ragu?" Prince menyelami manik abu Emily dengan tatapan sayu. Ibu jarinya mengelus pipi sang gadis dengan lembut. "Bisakah kau bersabar?" Emily mendengus. Sambil memalingkan pandangan, ia menyibak tangan Prince dari lengannya. "Kenapa kau terus memintaku bersabar? Aku benar-benar sudah lelah, Prince. Aku tidak bisa lagi menahan rasa penasaranku lebih lama. Kenapa kau tidak mengaku saja bahwa kau adalah Cayden?" Prince menggertakkan geraham. "Aku tidak bisa. Aku bukan—" "Kau Cayden, kan?" desak Emily, dengan raut paling serius. Prince menelan ludah pahit. "Maaf, Nona Harper. Tolong jangan menganggapku Cayden." Emily sontak melayangkan pukulan ke arah Prince. Beberapa kali ia menghantam dada bidang itu dengan kepalan ta
"Maaf, saya sedang ingin sendiri. Saya harap Anda bersedia memberi saya ruang. Terima kasih," tutur Emily, dingin dan cenderung ketus. Sayangnya, hal itu justru membuat si pria asing merasa tertantang. "Karena itukah Anda bepergian seorang diri?" Ia menaruh tangan di atas meja Emily. Sambil bersandar, ia memainkan alis. "Jarang ada wanita seberani Anda, Nona. Saya salut pada Anda." Emily memutar bola mata. Ia benar-benar malas menanggapi pria itu. Sambil membawa tablet dan bukunya, ia bergeser ke kursi Prince. Namun, tepat ketika ia hendak meraih tas, si pria asing sudah lebih dulu menempati kursinya tadi. "Hei? Kenapa kau duduk di kursiku?" Emily tidak lagi menaruh respek. Tatapannya berubah sinis. Bukannya merasa bersalah, sang pria malah bertopang dagu dan memperhatikan wajah Emily dengan senyum tipis. "Bukankah ini yang kau mau? Kau sengaja bergeser untuk memberiku tempat di sampingmu." Sudut bibir Emily berkedut jijik. "Tolong jangan macam-macam. Aku tidak akan se
"Apakah sakit? Dia mencengkeram pergelangan tanganmu begitu erat tadi," tanya Prince dengan suara yang sangat lembut. Emily pun melirik. Prince ternyata sedang memeriksa tangannya dengan teliti. Ia sama sekali tidak seperti sedang berakting. Di kursi lain, seorang pria sedang mengamati mereka dengan tatapan iri. Rautnya masam, bibirnya mencibir. Tiba-tiba, Prince mengecup pergelangan tangannya. Emily pun tersentak. Matanya melebar. Hatinya seketika memanas. Ia merasa Prince mencuri kesempatan. Namun, melihat senyum tulus di wajah tampan itu, omelannya tertahan. "Kenapa tidak kau tinju saja mukanya? Kau terlalu baik saat melawan. Lain kali, jangan hanya menggertak. Hajar saja setiap laki-laki yang kurang ajar padamu. Mengerti?" Emily berkedip-kedip menahan air mata. Bibirnya gemetar. Gejolak dalam hati yang sempat reda kini kembali bangkit. Namun, ia tidak mau membahasnya. Penyamaran mereka bisa terbongkar kalau mereka bertengkar. "Kaulah yang terlambat datang. Kau seharu
Selang satu anggukan, Jasper pergi lebih dulu ke lift. Tampak jelas bahwa dirinya memang pemilik hotel. Sementara itu, Prince berbisik, "Kau yakin mau memenuhi undangan laki-laki itu? Dia bisa saja mengetahui identitasmu, dan kalau ada orang yang mengenalimu di ruang makan, kita bisa viral. Seluruh dunia bisa gempar kalau mereka tahu kau punya calon suami sepertiku." "Tenang. Kita berada di negara paling terisolasi secara geografis di muka bumi. Tidak akan ada yang mengenaliku. Sekarang yang terpenting adalah membungkam mulut pria sombong itu. Aku paling tidak suka kalau seseorang membuatku malu." "Dia meremehkan aku. Kenapa kau yang malu?" Mata Prince menyipit. Emily membalas tatapannya dengan mata bulat. "Apakah kau lupa? Kau sedang berperan sebagai calon suamiku. Dengan dia menghinamu, itu artinya dia menghina seleraku. Aku tidak bisa membiarkan itu. Sebelum melanjutkan misi, aku perlu memberinya pelajaran terlebih dahulu." Sementara Prince tersenyum simpul, Emily menep