Ehem .... Senyum-senyum aja nih.
"Aku melakukan ini demi bertahan hidup, bukan untuk mengkhianati Cayden. Lagi pula, kami hanya akan bersentuhan. Tidak akan terjadi apa-apa," batin Emily selama melucuti jubah. Setelah mempersiapkan posisi, ia berkata, "Masuklah!" Ia berbalik memunggungi Prince. Tangannya terkepal erat di depan dada, berjaga-jaga kalau ada jemari nakal yang hendak melewati batas. Namun, begitu kulit Prince menyentuhnya, kekhawatirannya lenyap. Pria itu hanya menempelkan dada ke punggungnya. Masih ada jarak untuk bagian bawah. Tangannya yang menyelinap di ceruk leher Emily berakhir di lengan sang gadis. Sementara tangannya yang lain dengan sopan menangkup kedua tangan Emily seolah melindunginya dari dingin. "Apakah begini sudah cukup? Kau merasa nyaman?" bisiknya, membuat bulu kuduk Emily meremang. "Y-ya." Bola mata Emily bergerak-gerak sementara dirinya mengatur napas. "S-sekarang tidurlah. Kita harus melanjutkan misi begitu badai reda." "Ya. Semoga badainya tidak berlangsung lama. Selam
Selesai mandi, Emily keluar dengan canggung. Ia tidak tahu harus bagaimana berinteraksi dengan Prince. Ia bahkan berlari saat memasuki kamar mandi tadi. Namun, mendapati kamar yang kosong, ia terperangah. "Ke mana dia pergi? Kenapa tidak meminta izin dariku?" gumam Emily heran. Ia tidak sadar kalau bibirnya cemberut. Dengan langkah lesu, Emily menghampiri meja. Secarik kertas tertempel pada cangkir di sana. "Minumlah cokelat ini selagi hangat. Aku akan kembali sebelum sarapan tiba. Jangan membuka pintu untuk siapa pun selain aku." Sudut bibir Emily terangkat tipis. "Dia itu pengawal atau suami? Kenapa pesannya manis sekali?" Setelah mencopoti kertas, Emily menikmati cokelatnya dengan perlahan. Ia merasa begitu damai hingga tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar. "Siapa?" Emily beranjak dari kursinya. "Sarapan, Mademoiselle." Mata Emily seketika berbinar. Tangannya bergerak santai menuju gagang pintu. Namun, teringat akan pesan dari Prince, ia tidak jadi membukanya. "Me
"Tanganmu berdarah?" Emily cepat-cepat mendudukkan pengawalnya di kursi. "Apakah jahitannya terbuka?" Prince mengedikkan bahu. "Entahlah. Mungkin karena aku terlalu banyak bergerak. Mungkin juga karena basah." "Apakah sakit?" "Tidak. Akh ...." Prince meringis karena Emily menekan lukanya. "Sekali lagi kau membohongiku, aku akan menggigit jarimu sampai putus." Prince tertawa mendengar ancaman tersebut. "Kurasa kau tidak akan tega melakukan itu. Hatimu terlalu lembut, Princess." "Jangan coba-coba merayuku. Aku tidak akan luluh," tegas Emily sebelum merebut salep Prince dan mempelajari petunjuk penggunaannya. Meskipun tertulis dalam bahasa Perancis, ia tetap mengerti. "Kau membeli perban dan plesternya juga, kan?" Ia memeriksa plastik belanjaan. Prince mengangguk. "Kalau begitu, cepat ganti baju. Setelah itu, biar aku merawat lukamu." Prince tertegun. Untuk pertama kalinya, ia merasa Emily perhatian kepadanya. Tak ingin Emily melihat senyumnya, ia cepat-cepat
"Kenapa, Monsieur? Kenapa aku tidak boleh mengetahui keberadaan Sky?" tanya Emily dengan raut resah. "Karena dia tidak menginginkan hal itu." Pundak Emily bertambah berat. Napasnya juga. "Tapi aku sangat ingin bertemu dengan Sky. Ada beberapa hal penting yang harus kutanyakan kepadanya. Tidak bisakah Anda membantu saya, Monsieur?" Mendengar suara serak Emily, si pria tua mulai merasa iba. "Memangnya apa yang mau kau tanyakan kepadanya?" Napas Emily tersendat. Ia melirik ke arah Prince, ragu sejenak. "Hanya Sky yang tahu di mana Cayden berada," jawabnya kemudian dengan kepala tertunduk dan mata terpejam. Prince seketika terbelalak. Kerongkongannya tersekat. Namun, ia berusaha keras untuk tidak menampakkan keheranan. Sementara itu, sang Monsieur mengernyitkan dahi. "Siapa Cayden?" Emily tersenyum pahit. Sambil menegakkan kepala, tatapannya berubah nanar. "Dia adalah pria masa depanku. Kami berjanji untuk bertemu lagi. Tapi sampai sekarang, dia belum juga datang.
"Prince," Emily mengguncang lengan pengawalnya, "jawab aku. Siapa sebenarnya nama aslimu? Apakah kau Cayden?" Prince bergeming dalam hening. Bola matanya bergetar menyelami manik abu milik Emily. "Jawab, Prince. Siapa kamu sebenarnya? Kamu adalah Cayden, kan?" Suara Emily semakin penuh tekanan. Tiba-tiba saja, Prince mendesahkan tawa. "Kau menganggapku Cayden lagi? Apakah kau berharap cinta pertamamu setampan diriku?" "Aku sedang tidak bercanda, Prince! Kalau kamu bukan Cayden, mustahil kamu tahu tentang janji itu." Melihat mata merah Emily, Prince mengembalikan raut seriusnya. Ia menyesal telah berusaha mengalihkan pembicaraan dengan candaan. "Maaf kalau aku mengecewakanmu, Nona Harper. Tapi, kau sendiri yang memberitahuku soal itu." "Tidak! Aku tidak pernah memberitahumu!" "Ya," angguk Prince dengan tatapan dalam. "Kau menyebut itu saat mengigau semalam. Kau terus bertanya mengapa Cayden masih belum menepati janjinya. Aku tahu dari situ." Emily menghela napas t
"Maaf." Lidah Prince terasa kelu. "Aku hanya ingin menghiburmu. Sekarang, apakah kau masih ingin melanjutkan misi?" Emily melirik sinis. "Tentu saja. Aku akan menemui Sky, bertanya di mana Cayden. Begitu dia menunjukmu, aku akan langsung mencekikmu sampai kau kehabisan oksigen." Prince tidak lagi membalas. Ia hanya menghela napas, menginjak pedal gas lebih dalam. Ia tidak tahu bahwa sikapnya justru membuat Emily semakin kesal. Setibanya di tujuan, Prince membuka pintu mobil untuk Emily. Ia menawarkan tangan seperti biasa. Akan tetapi, Emily tidak menyambut ulurannya. Gadis itu turun sendiri, masih dengan raut jengkel. "Kalau kau bukan Cayden, jangan terlalu peduli padaku," gumamnya sinis. Prince hanya bisa mendesah pasrah. Namun, melihat ke mana arah Emily melangkah, ia bergegas menutup pintu dan mengejarnya. "Nona Harper." Emily tidak menyahut. "Nona Harper!" "Apa?" Emily berbalik dengan mata terpelotot. Prince menelan ludah dibuatnya. "Rumahnya ada di sebelah sana
"Dear Emily, Maaf aku menghindar lagi darimu. Aku sebetulnya juga ingin bertemu denganmu, tapi nanti. Bukan sekarang. Masih ada hal yang harus kubereskan. Begitu semuanya selesai, aku pasti akan menemuimu lagi. Jadi tolong, jangan mengikutiku lagi. Pulang dan selesaikan urusanmu. Kasihan Louis kalau kau kabur begini. Lalu tentang Cayden, kalau boleh aku memberimu saran, jangan menunggu ataupun mencarinya lagi. Kau sebaiknya membuka hati untuk pria lain yang lebih pasti." Emily menghela napas tak percaya. Kekesalan terbit di matanya. "Apakah Louis membayarnya untuk menyampaikan pesan ini? Bagaimana mungkin Sky sependapat dengannya? Dia yang sejak dulu paling mendukungku dengan Cayden," gerutu Emily. Prince yang sedari tadi mengintip cepat-cepat meluruskan punggung lagi. Tarikan napasnya berat, kepalan tangannya mengerat. Ia kini semakin yakin dengan apa yang telah Sky temukan. "Nyonya, benarkah Sky yang menulis ini? Ini tidak seperti dirinya." Emily memajukan posisi d
"Bicara apa kau ini? Kau adalah pengawalku. Selama misi ini belum berakhir, tentu saja kau harus pergi ke mana pun aku pergi. Di samping itu, aku tidak akan membiarkan kau kabur. Setelah bertemu Cayden nanti, aku akan melemparmu ke hadapannya. Biar dia yang memberimu pelajaran karena sudah berpura-pura menjadi dirinya," tutur Emily ketus. Prince sampai terbelalak dibuatnya. "Aku tidak berpura-pura. Kau saja yang menyimpulkan—" "Jadi, kau punya visa NZ atau tidak?" potong Emily. Bibir Prince mengerucut. "Kebetulan sekali, tahun lalu, aku sempat hunting foto di sana. Visaku masih berlaku." Mata Emily membulat. Tahun lalu, ia juga pergi ke NZ. Tak ingin menambah asumsi, ia beranjak dari kursi. "Kalau begitu, ayo berangkat. Jangan menyia-nyiakan waktu. Perjalanan ke sana cukup lama. Waktuku terbatas." Belum sempat Emily melangkah, Prince menahan lengannya. "Kau mau kugendong lagi?" Mata Emily melebar. Ia tidak menyangka Prince berani meledeknya. "Kau pikir aku ini anak kecil?