Emily mulai salting sama buaya vegetarian niiiih. Apa yang terjadi selanjutnya? Tunggu nanti sore. Thanks for reading!
Selesai mandi, Emily keluar dengan canggung. Ia tidak tahu harus bagaimana berinteraksi dengan Prince. Ia bahkan berlari saat memasuki kamar mandi tadi. Namun, mendapati kamar yang kosong, ia terperangah. "Ke mana dia pergi? Kenapa tidak meminta izin dariku?" gumam Emily heran. Ia tidak sadar kalau bibirnya cemberut. Dengan langkah lesu, Emily menghampiri meja. Secarik kertas tertempel pada cangkir di sana. "Minumlah cokelat ini selagi hangat. Aku akan kembali sebelum sarapan tiba. Jangan membuka pintu untuk siapa pun selain aku." Sudut bibir Emily terangkat tipis. "Dia itu pengawal atau suami? Kenapa pesannya manis sekali?" Setelah mencopoti kertas, Emily menikmati cokelatnya dengan perlahan. Ia merasa begitu damai hingga tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar. "Siapa?" Emily beranjak dari kursinya. "Sarapan, Mademoiselle." Mata Emily seketika berbinar. Tangannya bergerak santai menuju gagang pintu. Namun, teringat akan pesan dari Prince, ia tidak jadi membukanya. "Me
"Tanganmu berdarah?" Emily cepat-cepat mendudukkan pengawalnya di kursi. "Apakah jahitannya terbuka?" Prince mengedikkan bahu. "Entahlah. Mungkin karena aku terlalu banyak bergerak. Mungkin juga karena basah." "Apakah sakit?" "Tidak. Akh ...." Prince meringis karena Emily menekan lukanya. "Sekali lagi kau membohongiku, aku akan menggigit jarimu sampai putus." Prince tertawa mendengar ancaman tersebut. "Kurasa kau tidak akan tega melakukan itu. Hatimu terlalu lembut, Princess." "Jangan coba-coba merayuku. Aku tidak akan luluh," tegas Emily sebelum merebut salep Prince dan mempelajari petunjuk penggunaannya. Meskipun tertulis dalam bahasa Perancis, ia tetap mengerti. "Kau membeli perban dan plesternya juga, kan?" Ia memeriksa plastik belanjaan. Prince mengangguk. "Kalau begitu, cepat ganti baju. Setelah itu, biar aku merawat lukamu." Prince tertegun. Untuk pertama kalinya, ia merasa Emily perhatian kepadanya. Tak ingin Emily melihat senyumnya, ia cepat-cepat
"Kenapa, Monsieur? Kenapa aku tidak boleh mengetahui keberadaan Sky?" tanya Emily dengan raut resah. "Karena dia tidak menginginkan hal itu." Pundak Emily bertambah berat. Napasnya juga. "Tapi aku sangat ingin bertemu dengan Sky. Ada beberapa hal penting yang harus kutanyakan kepadanya. Tidak bisakah Anda membantu saya, Monsieur?" Mendengar suara serak Emily, si pria tua mulai merasa iba. "Memangnya apa yang mau kau tanyakan kepadanya?" Napas Emily tersendat. Ia melirik ke arah Prince, ragu sejenak. "Hanya Sky yang tahu di mana Cayden berada," jawabnya kemudian dengan kepala tertunduk dan mata terpejam. Prince seketika terbelalak. Kerongkongannya tersekat. Namun, ia berusaha keras untuk tidak menampakkan keheranan. Sementara itu, sang Monsieur mengernyitkan dahi. "Siapa Cayden?" Emily tersenyum pahit. Sambil menegakkan kepala, tatapannya berubah nanar. "Dia adalah pria masa depanku. Kami berjanji untuk bertemu lagi. Tapi sampai sekarang, dia belum juga datang.
"Prince," Emily mengguncang lengan pengawalnya, "jawab aku. Siapa sebenarnya nama aslimu? Apakah kau Cayden?" Prince bergeming dalam hening. Bola matanya bergetar menyelami manik abu milik Emily. "Jawab, Prince. Siapa kamu sebenarnya? Kamu adalah Cayden, kan?" Suara Emily semakin penuh tekanan. Tiba-tiba saja, Prince mendesahkan tawa. "Kau menganggapku Cayden lagi? Apakah kau berharap cinta pertamamu setampan diriku?" "Aku sedang tidak bercanda, Prince! Kalau kamu bukan Cayden, mustahil kamu tahu tentang janji itu." Melihat mata merah Emily, Prince mengembalikan raut seriusnya. Ia menyesal telah berusaha mengalihkan pembicaraan dengan candaan. "Maaf kalau aku mengecewakanmu, Nona Harper. Tapi, kau sendiri yang memberitahuku soal itu." "Tidak! Aku tidak pernah memberitahumu!" "Ya," angguk Prince dengan tatapan dalam. "Kau menyebut itu saat mengigau semalam. Kau terus bertanya mengapa Cayden masih belum menepati janjinya. Aku tahu dari situ." Emily menghela napas t
"Maaf." Lidah Prince terasa kelu. "Aku hanya ingin menghiburmu. Sekarang, apakah kau masih ingin melanjutkan misi?" Emily melirik sinis. "Tentu saja. Aku akan menemui Sky, bertanya di mana Cayden. Begitu dia menunjukmu, aku akan langsung mencekikmu sampai kau kehabisan oksigen." Prince tidak lagi membalas. Ia hanya menghela napas, menginjak pedal gas lebih dalam. Ia tidak tahu bahwa sikapnya justru membuat Emily semakin kesal. Setibanya di tujuan, Prince membuka pintu mobil untuk Emily. Ia menawarkan tangan seperti biasa. Akan tetapi, Emily tidak menyambut ulurannya. Gadis itu turun sendiri, masih dengan raut jengkel. "Kalau kau bukan Cayden, jangan terlalu peduli padaku," gumamnya sinis. Prince hanya bisa mendesah pasrah. Namun, melihat ke mana arah Emily melangkah, ia bergegas menutup pintu dan mengejarnya. "Nona Harper." Emily tidak menyahut. "Nona Harper!" "Apa?" Emily berbalik dengan mata terpelotot. Prince menelan ludah dibuatnya. "Rumahnya ada di sebelah sana
"Dear Emily, Maaf aku menghindar lagi darimu. Aku sebetulnya juga ingin bertemu denganmu, tapi nanti. Bukan sekarang. Masih ada hal yang harus kubereskan. Begitu semuanya selesai, aku pasti akan menemuimu lagi. Jadi tolong, jangan mengikutiku lagi. Pulang dan selesaikan urusanmu. Kasihan Louis kalau kau kabur begini. Lalu tentang Cayden, kalau boleh aku memberimu saran, jangan menunggu ataupun mencarinya lagi. Kau sebaiknya membuka hati untuk pria lain yang lebih pasti." Emily menghela napas tak percaya. Kekesalan terbit di matanya. "Apakah Louis membayarnya untuk menyampaikan pesan ini? Bagaimana mungkin Sky sependapat dengannya? Dia yang sejak dulu paling mendukungku dengan Cayden," gerutu Emily. Prince yang sedari tadi mengintip cepat-cepat meluruskan punggung lagi. Tarikan napasnya berat, kepalan tangannya mengerat. Ia kini semakin yakin dengan apa yang telah Sky temukan. "Nyonya, benarkah Sky yang menulis ini? Ini tidak seperti dirinya." Emily memajukan posisi d
"Bicara apa kau ini? Kau adalah pengawalku. Selama misi ini belum berakhir, tentu saja kau harus pergi ke mana pun aku pergi. Di samping itu, aku tidak akan membiarkan kau kabur. Setelah bertemu Cayden nanti, aku akan melemparmu ke hadapannya. Biar dia yang memberimu pelajaran karena sudah berpura-pura menjadi dirinya," tutur Emily ketus. Prince sampai terbelalak dibuatnya. "Aku tidak berpura-pura. Kau saja yang menyimpulkan—" "Jadi, kau punya visa NZ atau tidak?" potong Emily. Bibir Prince mengerucut. "Kebetulan sekali, tahun lalu, aku sempat hunting foto di sana. Visaku masih berlaku." Mata Emily membulat. Tahun lalu, ia juga pergi ke NZ. Tak ingin menambah asumsi, ia beranjak dari kursi. "Kalau begitu, ayo berangkat. Jangan menyia-nyiakan waktu. Perjalanan ke sana cukup lama. Waktuku terbatas." Belum sempat Emily melangkah, Prince menahan lengannya. "Kau mau kugendong lagi?" Mata Emily melebar. Ia tidak menyangka Prince berani meledeknya. "Kau pikir aku ini anak kecil?
"Prince, apakah kau punya saudara laki-laki?" tanya Emily lirih. Alis Prince meninggi. Tubuhnya mematung sejenak. Ia seperti tidak menyangka datangnya pertanyaan itu. Namun, selang satu kedipan, ia mendengus. "Kau menggali informasi tentangku lagi? Kau sepenasaran itu terhadapku?" "Jangan bertele-tele. Jawab saja apa yang kutanyakan." "Akan kujawab kalau kau bersedia—" Tiba-tiba, Emily menggebrak dasbor. Prince sampai tersentak dibuatnya. "Kenapa kau selalu mengalihkan pembicaraan setiap aku menanyakan tentang keluargamu? Apa susahnya menjawab pertanyaanku?" Bibir Prince mengerucut. Rautnya lugu. "Aku bukan tipe orang yang suka menyebarkan informasi pribadi. Kalau kau mau tahu banyak tentangku, kau harus dekat dulu denganku. Apakah kau bersedia menjadi orang spesial itu?" Emily mendengus. Sebelah pipinya berkedut. "Jadi kau tidak mau memberitahuku?" Prince menggeleng lambat. Melihat itu, Emily mendadak merasa lelah. Sangat lelah. Terlalu banyak perasaan bercampur ad
Setibanya di ketinggian 186 meter dari muka jalan, mata Emily langsung berbinar. Ruangan yang baru dimasukinya itu berdinding kaca. Pemandangan kota Auckland terpampang indah di baliknya. "Selamat datang di menara tertinggi di NZ, Paman dan Bibi. Menara ini adalah ikon kota Auckland, dibangun pada tahun 1994 dengan ketinggian total mencapai 328 meter. Dari lantai ini, Paman dan Bibi bisa menikmati pemandangan kota sejauh 360 derajat. Makan malam kalian pasti akan menjadi sangat romantis dan mengesankan," terang Summer dengan penuh antusiasme. Emily tersenyum manis. Sambil merangkul pinggang Cayden, ia berbisik, "Kita tidak salah memilih pemandu." Kemudian, ia kembali menatap si pemandu cilik. "Terima kasih, Nona Hills Kecil. Aku suka sekali tempat ini." Summer mengulum senyum. Rasa bangga memenuhi hatinya. Sambil berkacak pinggang, ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam, Bibi. Silakan menempati meja yang kami siapkan khusus untuk kalian. Setelah kalian
"Paman Cayden! Bibi Emily!" sapa Summer begitu pengantin baru itu keluar dari gerbang kedatangan. Tangannya yang memegang selembar karton terayun-ayun. Nama Cayden dan Emily yang tertempel di situ nyaris melayang ke udara. Dari kejauhan, Emily melambai ke arahnya. Tawa sang balita pun bergema. Kakinya melompat-lompat girang. Namun, melihat bagaimana si pengantin baru berjalan, keceriaannya berganti menjadi keheranan. "Oh, Mama? Ada apa dengan kaki Bibi? Kenapa dia berjalan seperti itu?" Mendengar celetukan sang putri, Sky mematung. Lengkung bibirnya ikut membeku. "Mama rasa tidak ada yang salah dengan Emily," sangkalnya ragu. "Tidak, Mama. Biasanya Bibi tidak berjalan seperti itu. Dia jadi terlihat aneh. Apakah kakinya masih sakit karena terlalu banyak berdiri di pernikahannya minggu lalu? Atau mungkin, gaunnya terlalu berat? Kakinya jadi kelelahan?" Sky meringis. "Summer, bagaimana kalau kita berhenti membahas itu? Emily adalah seorang perfeksionis. Mood-nya bisa rusak kala
"My Prince, kau yakin tidak akan menyesal pulang ke sini? Kita masih bisa menyewa hotel untuk malam pertama kita kalau kau mau," bisik Emily saat Cayden menggendongnya menuju kamar. Cayden tertawa lirih. Desah napasnya terdengar menggelitik di telinga Emily. "Bukankah ini rumah kita juga? Apa salahnya pulang kemari?" "Memang tidak ada yang salah. Hanya saja," Emily tertunduk menutupi malu, "orang tua dan saudaraku juga tinggal di sini. Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya di dekat kamar mereka?" "Kita akan melakukannya di kamar kita sendiri, Emily. Mereka tidak mungkin mengintip. Lagi pula, kita sudah pernah membahas ini, kan? Kau tidak keberatan." Cayden diam-diam merasa gemas pada sang istri. Emily meringis kecil. "Ya, memang. Saat itu, aku tidak berpikir sejauh ini." "Sejauh apa?" Cayden menaikkan alis. Sekarang mereka sudah tiba di lantai atas. Melihat pintu kamar mereka, jantung Emily semakin berdebar. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Aku tidak memperhit
"Berbahagialah dalam kehidupan barumu nanti. Jangan cengeng lagi," bisik Louis. "Aku sudah tidak cengeng, Louis," sanggah Emily. "Buktinya kau sekarang menangis." Louis memeriksa mata Emily. "Kau juga menangis." Louis menggeleng. "Aku tidak menangis. Mataku terkena hawa AC." Sementara Emily mendesahkan tawa lagi, seorang staf WO datang menghampiri. "Tuan Harper, waktunya beraksi." Emily tercengang melihat boneka lemon yang diberikan staf itu kepada Louis. "Kenapa Yemon ada di sini?" Louis tersenyum usil. "Bukankah dia boneka kesayanganmu? Dia akan sedih kalau melewatkan momen spesialmu. Jadi, dia juga harus ikut andil." "Ikut andil bagaimana?" Louis mengeluarkan kotak cincin dari sakunya. Setelah menggoyang-goyangkannya sejenak, ia masukkan kedua cincin ke dalam saku rahasia Yemon. "Kantong ajaibnya selalu berguna." Ia kedipkan sebelah mata. Emily mendesah tak percaya. Saat Louis mengenakan kacamata hitamnya dan pergi menjalankan tugas, ia hanya bisa menggeleng-geleng t
"Bagaimana kalau kita menepati janji yang sempat tertunda?" bisik Emily, membuat Cayden mengangkat alis. "Maksudmu NZ?" Emily mengangguk. Cayden pun tersenyum. Ia menoleh ke arah ponsel. "Apakah kau keberatan kalau mengunjungi cacing yang menyala dalam gua lagi, Summer?" tanyanya. "Paman dan Bibi mau berbulan madu di NZ?" Suara Summer semakin ringan. Mendapat anggukan dari kedua calon pengantin, tawanya mengudara. "Aku suka pilihan itu. Paman dan Bibi bisa berfoto bersama cacing yang menyala. Lalu, aku akan mengajak kalian menjelajahi pulau utara dan selatan. Kita bisa rafting, bungee jumping, hiking. Semua hal seru bisa kita lakukan bersama. Maksudku, kalian berdua sedangkan aku dan Mama. Kita lakukan bersama-sama tapi secara terpisah!" Emily tersenyum manis membayangkan keseruan itu. "Oh, aku jadi tidak sabar ingin bulan madu." "Menikah saja dulu, baru pikirkan bulan madu," celetuk Sky geli. "Tapi, kuharap kalian tidak menyesal memilih Summer sebagai pemandu." "Kenapa haru
Begitu giliran Louis yang diinterogasi, Emily bergegas masuk ke mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Alice. Hatinya tidak tenang semenjak polisi mengatakan bahwa Sky dan Summer tidak jadi terbang. "Nyonya Hills?" Perasaannya semakin tidak karuan saat melihat Alice berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi? Di mana Sky dan Summer? Mengapa mereka tidak jadi terbang ke sini?" Alice tersenyum kecil. "Maaf kalau putri dan cucuku terpaksa membatalkan janji. Sesuatu terjadi tadi, tapi kau jangan khawatir. Masa kritisnya sudah lewat." Emily terkesiap. "Siapa yang kritis?" "Summer. Seseorang memberinya susu almond di bandara. Alerginya kambuh. Epipennya mendadak hilang, tapi untunglah, Sky cepat membawanya ke ruang medis. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit." Emily menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dadanya sesak. Air matanya nyaris tumpah. Cayden yang baru saja masuk ke mobil terbelalak melihatnya. Sambil memegangi pundak Emily, ia berbisik, "Ada apa?" Emily pun men
"Berani-beraninya kau melukai calon istriku?" hardik Cayden dengan kebencian yang membara. Seth membalas tatapan Cayden dengan sorot mata yang lebih tajam. Rahangnya berdenyut-denyut. Ia geram rencananya tak satu pun berjalan lancar. "Mengapa nasib tidak pernah berpihak kepadaku? Mengapa?" Putus asa, Seth akhirnya mengeluarkan pistol dari saku. Melihat itu, Cayden dan Emily terkesiap. "Hei? Tolong jangan gegabah. Hukumanmu bisa bertambah berat kalau kau membunuh kami dengan senjata," tutur Cayden sembari mengangkat sebelah tangan ke depan. Tawa Seth semakin terdengar menyeramkan. "Kau pikir aku peduli? Apa bedanya membunuh kalian dengan tongkat, racun, atau peluru? Semuanya sama saja. Semuanya sama-sama bisa mengirim kalian ke neraka!" Seth mengacungkan pistol ke arah Emily. Jarinya sudah siap menekan pelatuk. Menyaksikan hal itu, Cayden menelan ludah. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa melindungi Emily. Sekarang, ia hanya bisa berharap kalau Seth membidiknya saja. "Kau pi
Tiba-tiba, Cayden menyentak seluruh badan. Ia berusaha bangkit dari kursi. Sayangnya, tali yang mengikatnya terlalu kuat. "Dasar pengecut! Lawanmu adalah aku, bukan Emily. Kenapa kau terus melibatkan dia dalam urusan kita, heh? Lepaskan dia!" Emily hanya bisa menghela napas iba di tempat persembunyiannya. Sementara itu, Seth yang sempat diam kini tertawa terpingkal-pingkal. "Kau pikir ancamanku selama ini main-main? Menghancurkanmu adalah tujuan hidupku. Aku tidak akan pernah berhenti sampai kau mendapatkan apa yang seharusnya kau dapatkan. Glen ...." Seth melirik rekan kejahatannya. "Biarkan pertunjukan dimulai." "Oke, Bro." Pria berseragam layaknya petugas kebersihan itu kembali mengotak-atik laptop. Napas Cayden semakin menderu dibuatnya. Sementara itu, Seth menempati sofa bekas. Ia sudah siap menyaksikan kemarahan Cayden. Senyum jahatnya terus merekah sampai akhirnya, alis Glen berkerut dan wajah Cayden berubah bingung. "Hei! Apakah ini tayangan yang dijeda? Kenapa ka
Begitu keluar dari lift, Emily langsung menghampiri petugas keamanan. Ia ceritakan kejadian secara singkat, lalu bertanya di mana ruang CCTV. Tim keamanan pun langsung berbagi tugas. Sebagian mengamankan pria yang menyamar sebagai Cayden. Sebagian lagi mulai menyisir area. Sisanya mengawal Emily ke ruang CCTV. "Bagaimana?" tanya Emily yang sudah tak sabar. Orang-orang di situ terlalu lambat. "Maaf, Nona. Semua CCTV di lantai 3 mati. Kami memeriksa CCTV di lantai lain, tapi tidak ada yang mencurigakan." "Bagaimana dengan tangga darurat?" "Maaf, Nona. Kami tidak memasang CCTV di area tersebut." Emily meringis. "Bagaimana dengan tempat parkir di basement? Kalian tidak mungkin membiarkan area itu tidak terpantau, kan?" Petugas itu mengotak-atik lagi. Belum sempat ia menemukan petunjuk, rekannya buka suara. "Nona, saya menemukan kejanggalan." Emily bergeser ke monitor yang ditunjuk petugas yang lebih muda. Dua orang pria sedang mendorong troli yang memuat beberapa plastik sampa